Lihat ke Halaman Asli

Orisinalitas

Diperbarui: 20 April 2019   01:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pexel.com 

Oleh: Rami Musrady Zaini 

Orisinalitas, sudah sangat sukar didapati. Seperti berlian yang tertanam di dasar samudra. Entah mengapa hal ini sering terjadi.

Dahulu, waktu saya di bangku SD ada nama mata pelajaran keterampilan. Satu contohnya, membuat sapu lidi. Waktu yang diberikan untuk menyelesaikannya biasanya seminggu. 

Di kampung saya pohon enau dan pohon kelapa banyak tersedia. Waktu seminggu itu, tentu ada waktu untuk membuat sapu lidi orisinil alias hand made, buatan sendiri.

Di bangku SMP juga demikian, ada mata pelajaran pertanian. Kebetulan ayah saya yang mengasuh. Kami diajari cara menanam sawi. Setelah teori, Kami masing-masing diberi benih untuk di rawat sendiri di rumah, tiba waktu ulangan sawi yang telah ranum hasil perawatan sendiri itu yang dibawa kembali di Sekolah. Dinilai, dan itulah yang menjadi nilai ulangan pertanian Kami ditambah sedikit nilai teori.

Sekarang saya juga telah memiliki anak, keduanya masih di Sekolah dasar. Saya tidak tahu persis mata pelajaran apa yang sebenarnya di ajarkan di Sekolah. Tetiba saja ada tugas di suruh Buat Pot, Buat layangan, Buat permainan enggrang, saya lupa yang lain lagi apa.

Saya tanya? Kapan di kumpul, jawab mereka "besok." Tahu kan apa yang terjadi, swalayan jadi pelarian. Tentu membuat Pot dalam sehari ini tidak mudah, membuat layangan dan enggrang dalam sehari di sini, di kota saya agak sulit. Di tambah tak ada panduan dari Guru bagaimana cara membuatnya. Sudah pasti dikemepetan itu orang tua yang memfinisingnya. Bukan murid lagi.

Dari saya yang SD sampai sekarang anak saya SD, ada nilai-nilai yang terpinggirkan dimana sebuah orisinalitas atau menjadi orisinalitas sudah sulit didapati, di mulai dari pendidikan yang serba instan - membuat segalanya berakhir instan. Hasil lebih diutamakan ketimbang proses. Ada rantai yang hilang.

Di lain tempat, di ruang-ruang sosial budaya, sebutlah di media sosial. Di Wa grup,  seorang Doktor yang sebentar lagi profesor, setiap hari membagikan tulisan pendek ukuran dua paragraf ke dalam Grup, yang tidak jelas sumbernya atau penulisnya. Suatu ketika ada seorang yang mendebat WA yang di sharing tersebut, sang Doktor itu marah dan membela mati-matian apa yang telah di sharingnya. Seolah-olah itu hasil pemikirannya.

Saya berharap dengan doktornya ia semestinya membagikan Buah-buah pemikirannya ke dalam grup, ketimbang membagi-bagikan pemikiran orang lain yang tidak jelas sumber kepustakaannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline