Lihat ke Halaman Asli

Merintis Usaha Sepatu Berkualitas

Diperbarui: 10 Maret 2019   13:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ismail (64), warga Siantar. Ia ahli membuat sepatu produk lokal tapi kualitas internasional.

Mereka ahli di bidang sepatu. Belasan tahun bekerja di rumah produksi perusahaan sepatu ternama, bahkan sudah wara-wiri di perusahaan sepatu di Jawa dan Sumatera. Namun kedua lelaki ini, tersendat modal mewujudkan cita-citanya: jadi pengusaha sepatu. Bagaimanakah dua warga Siantar ini bisa bertarung di tengah kencang kompetisi bisnis sepatu hari ini?

***

"Saya tahu kualitas sepatu merek terkenal. 14 tahun saya bekerja di dapur produksinya," beber Ismail (64) diaminkan saudaranya Iskandar Nadi (54), dua ahli pembuat sepatu asal Pematangsiantar, tempo hari.

Meski usia mereka tidak lagi muda, kedua lelaki ini masih saja cekatan membuat sepatu. Mereka tim yang kompak. Bisa mendesain sampai membentuk sepatu jadi. Keterampilan membuat sepatu itu mereka dapatkan dari sang Ayah yang sudah lebih dulu menghadap sang Pencipta.

"Sejak kecil saya sudah hidup dengan sepatu-sepatu buatan ayah," kenang Ismail.

Ditemui di kediamannya Jalan Setia Negara 1 Ujung, Kelurahan Setia Negara, Kecamatan Sitalasari, Kota Pematangsiantar, Ismail dan Iskandar menyambut dengan hangat. Mereka bercerita banyak tentang ayah mereka selaku sosok inspirasi.

Bagi dua bersaudara ini, sepatu bukan sekadar alas kaki. Tetapi kenangan akan ayah dan semangat berkarya bagi negeri. Melalui sepasang sepatulah, dua lelaki ini bisa terus menghidupkan kenangan akan ayah mereka. Lewat sepatu pula, mereka berkiprah untuk mengharumkan negeri. "Soal mutu, sepatu buatan kami tak kalah unggul dari merek luar negeri. Kami bisa diuji," tantangnya.

Sayangnya kehebatan dan keterampilan menciptakan sepatu belum cukup untuk membuat keduanya dapat bertahan hidup. Apalagi kalau mau berkompetisi. Diperlukan topangan modal dan jejaring pertemanan yang luas supaya sepatu yang mereka produksi bisa sampai ke tangan pembeli.

Lantaran tak memahami tantangan zaman yang bergeser ke era digital/online, dua pembuat sepatu ini kelimpungan memasarkan sepatunya. Tak pelak, usaha mereka sempat mangkrak karena ketiadaan modal pada tahun 2000. Keduanya terpaksa alih profesi menjadi buruh bangunan dikarenakan tuntutan biaya sekolah anak-anaknya, sementara sepatu tak laku jual.

Selama bekerja sebagai kuli bangunan, keduanya makin menyadari betapa tidak enaknya bekerja bagi orang lain. Mereka merindukan masa-masa berkarya tanpa diperintah orang lain. Kenangan itu memamksa mereka untuk berpikir kembali membuat sepatu.

"Membuat sepatu adalah bagian dari diri kami, sehingga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Sudah melekat di hati," beber Iskandar Nadi, ayah tujuh anak ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline