Lihat ke Halaman Asli

Buku Pelajaran (BSE) Tidak Relevan dengan SK/KD?

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Proses pembelajaran adalah sebuah upaya proses perubahan perilaku siswa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari belum biasa menjadi terbiasa, dari amatir menjadi ahli, dan seterusnya. Harapannya, dari proses pembelajara tersebut maka target-target yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dalam kurikulum yang berupa Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) dapat tercapai bahkan terlampaui.

Guna mencapai target-target di atas, maka diperlukan sebuah mekanisme pembelajaran yang terencana, sistematis, kontekstual, dan terintegrasi yang akan menjadi bagianpenting dalam kehidupan siswa di masa yang akan datang. Salah satu ornamen penting yang sering digunakan oleh guru adalah buku pelajaran. Bahkan ketika pemerintah menetapkan program Buku Sekolah Elektronik supaya digunakan di sekolah agar dapat menekan biaya pendidikan yang semakin mahal, sekolah masih saja memilih buku pelajarannya tidak berdasarkan kepentingan program pembelajaran yang sudah disusun dalam bentuk Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Di berbagai jenjang pendidikan semakin banyak sekolah yang menggunakan Buku Sekolah Elektronik (BSE) pabrikan (membeli dari penerbit) hanya untuk mendapatkan keuntungan berupa presentase yang akan didapatkan bukan hasil analisa guru yang menilai sejauh mana relevansi buku pelajaran yang akan digunakan oleh siswa dengan target pembelajaran yang akan disampaikan guna mencapai Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar. Pemilihan penerbit pada waktu akan membeli buku seringkali tidak berdasarkan pada kualifikasi kebutuhan guru untuk mendukung proses pembelajarannya. Hal ini diakibatkan oleh adanya dominasi dari pihak lain yang seringkali menyebabkan guru tidak memiliki pilihan untuk mendapatkan buku yang relevan dengan strategi pembelajaran yang akan dilaksanakan. Motif-motif ini seringkali datang dan mengalahkan kebutuhan dasar dari proses pembelajaran.

Permasalahan ini sudah sejak lama dianggap lumrah, apalagi di sekolah-sekolah yang sudah terbiasa melakukan transaksi jual beli buku dari penerbit tertentu dengan keuntungan yang menggiurkan, sehingga kebijakan pemerintah yang melarang sekolah, guru, kepala sekolah atau instrumen yang ada di sekolah untuk menjual buku pelajaran menjadi kendala dan mengurangi pendapatan mereka. Akibatnya, peluang pada waktu tender buku yang sering dilihat adalah berapa besar penerbit memberikan keuntungan balik dari pembelian buku yang didanai oleh pemerintah tersebut.

Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis selama ini, buku-buku yang digunakan oleh guru mata pelajaran bidang-bidang sosial seringkali kesulitan menemukan relevansinya. Terlebih lagi jika guru tersebut tidak melakukan komparasi antara buku pelajaran yang satu dengan buku pelajaran lainnya yang sejenis. Maka guru seringkali mengandalkan materi ajar yang disampaikan pada waktu pembelajaran hanya sebatas yang ada di buku. Jika proses pembelajaran ini tidak diantisipasi secara dini, maka pemahaman siswa bisa jadi melenceng jauh dari Standar Kompetensi maupun Kompetensi Dasar yang sudah ditetapkan. Jika perbedaan pemahaman materinya saja sudah berbeda, maka proses internalisasi siswa pun akan berbeda. Terlebih lagi saat ini guru dituntut tidak hanya sekedar melakukan transformasi materi pelajaran tetapi bagaimana melakukan proses pendidikan karakter secara komprehensif. Bisa dibayangkan betapa orientasi siswa akan semakin menjauh dari standar yang dicita-citakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline