Lihat ke Halaman Asli

Menyemai Kejujuran Menuai Kemuliaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh: Sopyan Maolana Kosasih*

Taburlah pikiran, maka akan menuai tindakan.

Taburlah tindakan, maka akan menuai kebiasaan.

Taburlah kebiasaan, maka akan menuai watak.

Taburlah watak, maka kita akan menuai masa depan

Menjelang Ujian Nasional (UN) kondisi yang sangat krusial adalah isu adanya bocoran soal yang bertebaran hampir merata di seluruh Indonesia. Walau sampai saat ini isu tersebut hanya sebatas rumor dan sulit untuk dibuktikan. Namun menyebarnya isu kebocoran soal yang terus menerus secara simultan sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian serius, sejauh mana isu tersebut muncul. Bisa jadi isu tersebut muncul karena sesuai dengan kenyataan atau ada pihak-pihak lain yang menginginkan kekisruhan di dunia pendidikan. Logikanya, tidak mungkin ada asap kalau tidak api.

Sekolah adalah sebuah lembaga yang diharapkan munculnya generasi-generasi yang mumpuni yang mampu melanjutkan cita-cita proklamasi dan mampu mengejawantahkan harapan-harapan generasi saat ini di masa yang akan datang. Kehancuran negara saat ini sangat kecil kemungkinannya diakibatkan oleh invasi sebagaimana terjadi di Irak atau Libiya saat ini, karena kehancuran sebuah negara bisa diakibatkan oleh rusaknya sistem pendidikan yang ada di suatu negara dimana generasi-generasi yang seharusnya belajar dan membentuk karakter malah terbengkalai oleh kepentingan-kepentingan sesaat.

Mengembalikan kembali tujuan awal pendidikan nasional dan melakukan langkah-langkah dramatis demi tercapainya hakikat dari pendidikan itu sendiri memang memerlukan keberanian dan ketulusan. Di mana nilai-nilai dasar yang disebut watak sudah mulai terkikis oleh gelombang yang mengatasnamakan kepribadian yang hanya mengedepankan sampul-sampul permukaan yang kasat mata namun bisa menipu dan memperdaya.

Coba kita perhatikan bagaimana Ki Hajar Dewantara memandang pendidikan, beliau berpendapat “ …pendidikan sebagai daya upaya untuk memajukan budi pekerti, pikiran serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup yaitu hidup dan menghidupkan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.” Dari pernyataan tersebut kita bisa mengklasifikasikan bagaimana Ki Hajar Dewantara mengembangkan konsep agar tercipta generasi yang unggul, yaitu:

1.Mengembangkan budi pekerti

Sewajarnya sekolah mampu menawarkan solusi kepada masyarakat bahwa apa yang saat ini dilakukan sekolah adalah yang terbaik untuk memecahkan segala macam permalahan yang ada. Korupsi, kolusi, nepotisme, serta perilaku-perilaku yang tidak patut dan tidak relevan dengan nilai-nilai budaya. Permasalahannya adalah, bagaimana seorang anak mampu berkembang di sekolah jika lingkungan pendidikan dimana ia belajar ternyata tidak bisa menjadi panutan bagi murid-muridnya untuk merealisasikan budi pekertinya dalam kehidupan sehari-harinya.

Untuk mengembangkan budi pekerti diperlukan sebuah program holistic yang tidak sekedar bertumpu kepada bidang studi tertentu seperti Agama atau PKn, tetapi jugaterimplementasikan pada bidang-bidang studi lainnya. Hal ini dikarenakan secara moral setiap guru diharuskan bertanggung jawab untuk menunjukkan bagaimana menjadi pribadi yang berbudi pekerti luhur. Bisa jadi guru-guru ini tidak secara langsung mengajarkannya tetapi cara-cara melaksanakan pembelajaran yang ditopang dengan budi pekerti yang luhur, maka dengan sendirinya murid akan terbiasa berada dan bersikap dalam lingkungan budi pekerti yang baik.

2.Mengembangkan potensi pikiran (cognitive)

Lazimnya di institusi pendidikan, setiap kegiatan-kegiatan yang berlangsung seharusnya dilaksanakan demi untuk mengembangkan potensi pikiran. Kata kuncinya adalah “mengembangkan potensi pikiran” bukan mengisi pikiran. Ada cara berpikir yang kurang tepat namun sampai saat ini berlangsung terus menerus dan sepertinya sulit untuk dirubah atau dihentikan. Kalimat yang tepat memang merubah paradigm mengajar dari mengisi pikiran menjadi mengembangkan potensi pikiran. Mengapa harus diubah? Secara terminilogi jelas terdapat perbedaan yang signifikan antara kata mengembangkan dengan mengisi.

Saat ini guru masih banyak yang merasa bahwa hanya dirinya saja yang memiliki segala informasi yang dibutuhkan oleh siswa. Guru seperti ini secara kondisional jelas menjadi relevan ketika berada di daerah pedalaman yang tidak memiliki akses apapun terhadap informasi atau kejadian ini berlaku pada zaman sebelum teknologi informasi dan komunikasi menjadi berkembang. Kini pada saat materi pelajaran bisa diakses dengan mudah dan lebih lengkap, apa peran guru selanjutnya? Pertanyaan ini menjadi sulit dijawab jika guru masih saja memerankan dirinya sebagai sumber ilmu yang dari tahun ke tahun melakukan hal yang sama dan merasa dirinya sudah mengetahui apa yang harus diajarkan walau tanpa melakukan persiapan. Ajaib!

Padahal, guru bisa melakukan banyak hal walau anak sudah mengetahui materi yang akan diajarkan. Bagi guru yang baik, kemampuan siswa yang sudah mampu memahami materi dengan baik adalah potensi dan keuntungan yang luar biasa, karena guru dapat melakukan eksplorasi dengan seluas-luasnya dan memfasilitasi siswa untuk mendapatkan pengalaman barunya dalam suasana yang berbeda atau mengaplikasikan materi menjadi pembelajaran yang berbasis kontekstual (contextual teaching). Pendekatan ini tentu tidak mudah jika guru hanya menyandarkan konsep contextual teaching sekedar mengaitkan, karena yang paling penting adalah siswa mengalaminya langsung atau mendapatkan pengalaman langsung.

3.Mengembangkan keterampilan jasmani

Pengembangan keterampilan jasmani sepertinya masih terlalu dangkal dipahami oleh anak-anak. Mereka masih berpikir bahwa pendidikan jasmani hanya sekedar terampil main sepakbola, bersepeda, main bola basket, badminton, dan lain-lain. Padahal jauh lebih mendalam harusnya anak-anak dan guru menyadari bahwa penguasaan keterampilan jasmani adalah salah satu aspek yang krusial dalam mengembangkan karakter. Bagaimana tidak, seorang anak yang cerdas dan memiliki kemampuan intelektual yang tinggi tetapi dalam kehidupan sehari-harinya tidak fit. Hal ini ironi, apalagi kalau melihat perkembangan akhir-akhir ini betapa anak yang memiliki bakat kinestetik semakin bertambah banyak.

Bisa kita bayangkan betapa menderitanya anak-anak yang memiliki kemampuan kinestetik tinggi tiba-tiba dia harus terpenjara di kelas selama 15 tahun (PAUD 3 tahun - SMA) dan akan bertambah lagi jika mengikuti perkuliahan. Begitu selesai sekolah selesai, betapa menderitanya anak-anak yang memiliki bakat kinestetik, karena dia kehilangan potensi dirinya untuk lebih menguasai bidang yang seharusnya ia kuasai.

Selain itu, kita memang patut prihatin terkait dengan kurang mendalamnya pemahaman mengenai pengembangan keterampilan jasmani ini. Saat ini kemampuan fisik dan daya tahan anak untuk bertahan hidup sepertinya kurang begitu kuat. Hal itu dikarenakan gerakan-gerakan dasar yang dikuasai oleh para siswa masih terbatas. Secara jujur kita bisa melihat kalau anak-anak tidak terlatih untuk berlari kencang agar bisa menyelamatkan diri dari bencana alam, tidak terlatih untuk berjalan di tempat yang curam, kurang terampil untuk meloncat, melompat, atau berguling. Padahal keterampilan-keterampilan itu bisa menyelamatkan dirinya dalam kehidupan yang saat ini sering dihadapkan pada bencana alam yang besar.

Namun di atas segala-galanya, keterampilan-keterampilan ini adalah untuk meningkatkan daya tahan dan kesehatan. Kita bisa membayangkan jika penduduk Indonesia ini sehat, kuat, dan memiliki daya tahan tinggi, rasanya bangsa ini tidak harus terpuruk dalam setiap even olahraga atau merasakan beratnya menyediakan dana asuransi kesehatan yang dari hari kehari semakin tinggi. Tentu program inipun memerlukan anggaran yang besar, namun jika negara berkenan melakukan investasinya saat ini maka sepuluh dua puluh tahun kedepan beban negara untuk membayar asuransi kesehatan akan jauh berkurang serta semakin meningkatnya kualitas SDM Indonesia.

4.Contekstual teaching (dengan kebutuhan masyarakat)

Betapa jeniusnya Ki Hajar Dewantara, pada masa penjajahan, ditengah keterbatasan, serta kesulitan dan perjuangan ternyata memiliki konsep futuristik dengan mengemukakan bahwa pendidikan itu harus relevan dengan kebutuhan masyarakat. Namun pada sejarah perjalanan dunia pendidikan kita selama ini jangan-jangan kita sudah mengabaikannya. Sekolah-sekolah yang ada saat ini seringnya memaksa masyarakat untuk mengikuti kehendak sekolah, dan tidak memperdulikan apa yang dibutuhkan anak. Seringpula sekolah menganggap cukup jika anak handal pada satu pelajaran saja dan kurang pada pelajaran lain. Padahal belum tentu anak itu membutuhkan ilmu dari salah satu pelajaran tersebut.

Tentu kita masih ingat di era Kemdiknas dipimpin oleh Bapak Wardiman, beliau menggulirkan program link and match. Sayang program ini sepertinya menguap begitu saja dan yang tersisa hanya teorinya saja terutama di sekolah umum(bukan vokasional). Akibat dari pengabaian ini kita bisa menyaksikan ada jurusan-jurusan di perguruan tinggi yang menghasilkan lulusan dalam jumlah besar, namun di lapangan mereka sangat kesulitan mendapatkan pekerjaan sesuai dengan bidang tersebut. Padahal idealnya mereka mampu mengembangkan sendiri usaha-usaha yang kreatif dan mampu menyerap tenaga kerja. Bisa dilihat dari dampak tersebut, yaitu membengkaknya pengangguran terdidik atau semakin maraknya pengangguran terselubung.

Permasalahan kritis diatas menjadi sangat krusial untuk segera diatasi dan bukan sekedar menyajikan program-program yang berupa program sesaat karena pendidikan adalah program investasi jangka panjang hanya baru bisa dinikmati setelah sepuluh, duapuluh tahun kedepan. Namun kita harus menyadari bahwa hanya dengan pendidikan yang bermutu saja kita bisa bangkit dan menjadi bangsa yang berdaya saing tinggi. Untuk itu diperlukan sebuah gerakan penyadaran kepada para pendidik untuk menyadari bahwa kerusakan alam, bencana alam, serta aneka keterpurukan moral yang terjadi di sekeliling kita, jangan-jangan itu semua diakibatkan oleh tidak optimalnya proses pendidikan yang selama ini berjalan. Betapa tidak, sumber kekayaan alam yang berlimpah hanya bisa dinikmat secuil itupun setelah melalui proses pengolahan perusahaan asing. Lihatlah pabrik-pabrik yang mengelola kekayaan alam kita yang bertebaran dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas sampai Pulau Rote hampir semuanya milik perusahaan asing. Lalu kemana anak bangsa generasi muda kita? Mereka hanya terpuruk menjadi buruh yang tidak memiliki jaminan masa depan karena mereka dipekerjakan sebagai outsourcing saja.

Kita tidak memiliki daya tawar bahkan kepada perusahaan asing yang habis-habisan mengeksploitasi kekayaan alam negeri kita. Lalu apa yang akan tersisa dalam seratus - dua ratus tahun kedepan? Apa yang akan dinikmati oleh anak cucu kita selain kerusakan alam dan bencan alam yang semakin meluas. Lalu dimana para guru yang sudah tersertifikasi berperan? Hanya menghasilkan generasi yang tidak terampil? Hanya menghasilkan pengangguran? Hanya menghasilkan buruh-buruh intelektual? Tentu tidak seperti itu harapannya. Jadi bangkit, bangun, dan bergeraklah untuk mendidik generasi muda agar dapat merebut dan menguasai kekayaan alam yang dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945 pada alinea ke4 dan pasal 33 ayat 1 – 5 UUD 1945. Kita bisa!

*Guru dan mahasiswa Pasca Sarjana UNJ Jurusan Teknologi Pendidikan

e-mail: sopyanyk@gmail.com

website: http://sopyanmk.wordpress.com

facebook: http://facebook.com/sopyanmk




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline