Jauh sebelum Negara Indonesia terbentuk, masyarakat adat selama ratusan tahun yang lewat, sudah lama mendiami nusantara ini. Adat istiadat, tradisi, kebudayaan, pranata pemerintahan serta perangkat hukum adat masih hidup hingga sekarang.
Pasal18BUndang-UndangDasarNegaraRepublikIndonesiaTahun1945 (UUD1945),sebagaihasilamandemenpertamaUUD1945,menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat besertahak-hak tradisionalnyasepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NegaraKesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.‟ KetentuanPasal 18B UUD1945diperkuatdenganketentuanPasal28Iayat(3)UUD1945 bahwa “Identitas budayadan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.
Frasa “diatur dalam undang-undang” menentukan bahwa pengakuan dan perlindungan terhadap masyakat ada di atur dalam sebuah undang-undang. Namun, hingga dipenghujung masa bakti DPR periode 2009-2014, belum juga muncul tanda-tanda disahkannya Rancangan Undang-Undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat adat (RUUPMA).
Urgensi Pengakuan Masyarakat Adat
Dari catatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) tahun 2013, konflik antara perusahaan dengan masyarakat adat tidak kurang melibatkan lebih dari 13.301 jiwa dan sebanyak 12.193 kepala keluarga, dengan luasan lahan konflik + 8.451.194 hektar.
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, tahun 2013 telah terjadi 369 konflik agraria, dengan luasan lahan konflik 1.281.660.09 hektar, dan melibatkan 139.874 keluarga. Sebanyak 21 orang tewas, 30 orang tertembak, 130 orang mengalami penganiayaan dan 239 orang ditahan akibat konflik ini.
Dari data di atas, menunjukkan konflik antara masyarakat adat dengan perusahaan sangat masif, jika dibiarkan terus menerus, disamping menimbulkan korban jiwa, juga mengancam stabilitas keamanan Negara. Untuk itu dibutuhkan sebuah pernyataan dari Negara, yang mengakui keberadaan masyarakat adat beserta hak-haknya dalam bentuk tertulis.
Perlunya peraturan yang melindungi masyarakat adat, pertama, untuk menjamin perlindungan hak masyarakat adat terhadap hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yangdiperoleh secara turun-temurun atau pewarisan dari leluhur mereka. Di tingkat lokal, adanya peraturan dimaksud menjadi payung hukum bagi pemerintah daerah untuk membentuk peraturan daerah yang memihak kepada masyarakat adat.
Kedua, memberikan jaminan perlidungan bagi masyarakat adat dari tindakan diskriminasi dan kekerasan. Karena tidak jarang kita mendengar, banyak masyarakat adat yang diintimidasi oleh perusahaan. Dengan adanya peraturan yang memberikan pengakuan kepada masyarakat adat, diharapkan tidak ada lagi sengketa lahan antara masyarakat adat yang telah lama memanfaatkan hutan, berhadapan dengan perusahaan sawit, tambang, karet dan sebagainya.
Ketiga, memberikankepastianhukumbagimasyarakat adatdalam melaksanakan haknya. Masyarakat adat selama ini menjadikan hutan sebagai “Ibu”. Hutan memberikan mereka segalanya, tempat bertani, berburu, dan mencari makan. Ketika pemerintah mengeluarkan izin usaha pemanfaatan hutan kepada pihak swasta di kawasan hutan adat, dampak bagi masyarakat adat tidak bisa dihindarkan. Hutan yang sebelumnya dikelola masyarakat adat secara turun menurun untuk memenuhi penghidupan sehari-hari, tergusur dengan adanya ekspansi perusahaan.
Peran Negara untuk melindungi masyarakat adat dituntut. Negara harus memberikan pelayanan terhadap masyarakat adat dengan cara memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat,agarmereka dapat hidup tumbuh dan berkembang sebagai satukelompok masyarakat, ikut serta berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiannya serta terlindungi dari tindakan diskriminasi dan kekerasan.
Permendagri 52/2014
Walaupun RUUPMA hingga sekarang belum disahkan, lahirnya Undang-Undang No. 6 Tahun 2014, tentang Desa, merupakan angin segar bagi pengakuan masyarakat adat yang mendiami nusantara ini. Di samping desa, dalam UU 6/2014, juga diakui adanya Desa Adat. Pemerintah daerah dapat melakukan penataan kesatuan masyarakathukumadatdan menetapkannya menjadi Desa Adat melalui sebuah peraturan daerah. Asalkan tiga kriteria Desa Adat terpenuhi, yaknikesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya secara nyata masih hidup, dan sesuai dengan perkembangan masyarakat serta sejalan dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di samping itu, terbitnya Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, dapat dijadikan acuan bagi kepala daerah untuk memberikan pengakuandanperlindunganmasyarakathukumadat.
Bupati/Walikota dapat membentuk Panitia Masyarakat Hukum Adat kabupaten/kota, yang bertugas untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat. Hasil verifikasidanvalidasitersebut, kemudian disampaikan kepada kepala daerah. Bupati/walikotamelakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkanrekomendasiPanitiaMasyarakatHukumAdatdengan Keputusan Kepala Daerah.
Dengan adanya kedua payung hukum tersebut, tidak ada alasan lagi bagi pemerintah daerah untuk mengabaikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat, dengan berdalih tidak adanya aturan yang menjadi rujukan. Kita berharap, semoga pemerintah daerah memberikan perhatian yang penuh terhadap keberadaan masyarakat adat. Menolak keberadaan masyarakat adat sama dengan membiarkan terjadinya diskriminasi kepada masyarakat adat di Negara ini.(SH)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H