Pagi ini (12-04-2022) saya bersiap berangkat ke sekolah, menunaikan tugas mendidik anak bangsa. Menunggang motor tua yang sudah berumur 16 tahun, menelusuri jalan berbelok, berbukit, jalanan rusak kalau tidak salah pernah di-aspal pada 2014 silam, kini aspalnya sudah hilang entah kemana, tinggallah batu pegunungan dan batu sungai yang begitu kasar menggoncang siapa pun yang melintasinya.
Setiap pagi saya harus ,menempuh perjalanan selama kurang lebih 30 menit dari rumah ke sekolah SMP Negeri 5 Pakkat, sekolah yang sudah berumur 17 Tahun sejak berdiri, Terletak di Desa Karya kecamatan Pakkat, Kabupaten Humbang Hasundutan berjarak kira-kira 50 Km dari Pusat Kabupaten.
Selama 30 menit di perjalanan saya merenung, berpikir boleh juga dikatakan berhayal, bergunakah yang saya lakukan ini? Pasalnya, di masa pandemi ini, siswa kami hanya masuk 50%, satu jam pelajaran hanya 30 menit, siswa makin tidak karuan, minat belajar sangat rendah.
Di sisi lain saya baru saja menonton berita dari salah satu stasiun televise tentang demo mahasiswa yang menolak ususlan 3 periode jabatan presiden, menstabilkan harga-harga, menunda pemindahan IKN, dan penolakan kenaikan harga BBM. Tapi satu lagi yang tidak kalah panasnya, massa peserta demo menganiaya, Ade Armando salah satu Dosen dan juga Youtuber .
Jujur saya ingin tertawa, bagi saya semua seperti lucu-lucuan, di sana ada orang kaya, orang besar, yang mungkin sedang bernafsu untuk mempertahankan jabatannya, di sisi lain, ada yang kebelet ingin dapat jabatan(mungkin), dan mungkin ada juga mereka-mereka yang sedang menikmati berbagai kegaduhan itu.
Saya juga sekilas memikirkan, benarkah mahasiswa itu murni ingin kebaikan Indonesia? Jangan-jangan mereka hanya cari panggung, atau bahkan sedang di bayar oleh seseorang. Pernah waktu mahasiswa, teman saya yang ikut demo bercerita, bahwa mereka di bayar seseorang. Sejak saat itulah saya tidak pernah tertarik ikut demo, karena bisa saja elit mahasiswa itu sudah di bayar tetapi malah tidak diberikan kepada anggotanya.
Di sisi lain, saya juga berfikir bahwa saat ini mahasiswalah kontrol yang paling efektif bagi pemerintah. Sepertinya para elit politik, partai, dan pejabat tidak bisa di harapakan. Saya malah memikirkan bila perlu para mahasiswa, melakukan hal-hal yang ekstrim dalam menyampaikan aspirasinya, tapi sayang juga jika sampai merusak fasilitas umum.
Tiba-tiba saya tersadar, apa-apaan ini? Seorang guru agama Kristen di desa sedang memikirkan situasi politik Indonesia. Pada kenyataannya, setelah sampai disekolah saya akan menemukan siswa tidak mengerjakan PR, dipancing untuk aktif, semua diam, di Tanya semua diam. Keadaan saya dalam 30 menit meuju sekolah sangat tepat jika digambarkan dengan bahasa batak : didia do parsilap ni i? (artinya: dimana yah letak kesalahannya).
Menyenangkan juga 30 menit perjalanan tidak terasa sudah tiba di parkiran sekolah di kaki bukit, hawanya sedikit dingin, ada 50-an siswa kelas IX yang akan lulus dari sekolah ini. Berharap keajaiban suatu saat mereka akan menjadi bagian dari mahasiwa yang ikut demo dengan tulus ingin menegakkan demokrasi , bukan ikut demo karena di bayar, apalagi ikut demo tetapi malah menganiaya!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H