Sungguh sangat disesalkan pernyataan pejabat Kementerian Agama (Kepala KUA) yang menyatakan kami hanya melayani pernikah pada hari jam kerja di kantor saja.
Yang berhak menikahkan seorang wanita adalah bapaknya atau walinya bukan PPN (Petugas Pencatat Nikah) yang PNS di KUA. PPN hanya bertugas mencatat pernikahan yang didaftarkan ke KUA. Pernikahan adalah syah sepanjang syarat-syarat nikah terpenuhi yaitu: calon mempelai wanita dan pria, wali nikah, 2 orang saksi, ijab kabul, dan mas kawin. Ada tidak ada, dihadiri atau tidak dihadiri PPN atau amil, pernikahan tetap syah. Selanjutnya pernikahan tersebut didaftarkan ke KUA untuk mendapatkan legalisasi secara hukum negara. Jika tidak didaftarkan statusnya jadi nikah siri dengan sgala macam konsekwesninya.
Selama ini telah terjadi semacam manipulasi peran PPN dan wali nikah menjadi seolah-olah yang menikahkankan adalah PPN. Hal tersebut terjadi karena masyarakat (orang tua) belum memahami perannya dalam pernikahan dan karena kebiasaan yang turun-temurun mewakilkan "menikahkan" anaknya kepada PPN. Ditambah lagi dengan pembiaran "kondisi yang menyenangkan" tersbut oleh PPN sehingga terjadi ketergantungan orang tua/wali nikah kepada PPN.
Orang tua/wali boleh menikahkan anaknya kapan saja dan di mana saja sesuai dengan kondisi yang paling diinginkan/menyenangkan dan pernikahan syah jika lima syarat tersebut di atas terpenuhi. Setelah pernikahan selesai silahkan didaftarkan ke KUA pada hari/jam kerja sehingga tidak perlu memanggil PPN untuk datang menghadiri/menyaksikan pernikahan tersebut.
Manipulasi peran PPN dan orang tua/wali sudah berlangsung puluhan tahun dan menjadi "lahan" penghasilan tambahan oknum PPN dan amil nikah. Mereka sudah nyaman dengan kondisi demikian sehingga ketika "kenyamanan"nya terusik, mereka mengeluarkan pernyataan yang tidak proporsional (tidak melayani nikah!!!).Mau tidak mau mereka juga harus "nyadar" bahwa selama ini ada golongan masyarakat yang terpaksa harus menanggung biaya/beban lebih dari yang seharusnya yang "sangat" memberatkan mereka. Tidak semua calon mempelai bisa memenuhi tuntutan biaya nikah yang ditambahkan sehingga mereka (kaum marginal, mungkin) memilih nikah siri atau bahkan menunda pernikahannya tanpa menunda "kebutuhan sex"nya. Naudzubillahi mindzalika.... Jika terjadi maka itu akan menjadi dosa para PPN.
Saya sendiri punya pengalaman yang agak miring dengan PPN. Pada waktu pernikahan putri saya yang ketiga Desember 2006 (di Jakarta Timur). PPN yang datang bukanlah PPN yang mendapat tugas dari atasannya dan dia berkata bahwa dia diminta menggantikan temannya yang bertugas dengan tugas menggantikannya tetapi uang transpornya tidak diberikan. Walhasil, PPN tersebut meminta lagi uang transpor yang sebenarnya sudah kami bayarkan pada waktu pendafataran nikah. Sebenarnya saya sangat tidak respek tetapi apalah arti uang transpor tersebut dibanding dengan kesenangan/kekecewaan PPN jika diberi/tidak diberi lagi uang treanspor. Satu kata untuk kejadian tersebut adalah "parah".
Mudah-mudahan saja masyarakat mulai melek/mengerti bahwa yang menikahkan calon mempelai adalah bapak/walinya bukan PPN. Hadir tidak hadir PPN maka pernikahan bisa dilaksanakan kanap saja dan di mana saja sepanjang 5 (lima) syarat nikah terpenuhi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H