Dalam 1,5 bulan ke depan, tahun 2020 akan segera berakhir. Namun dengan capaian belum ada 75% (baru sekitar 72%), kita sadar betul bahwa Ditjen Pajak tengah jungkir balik demi dana masuk bagi negara.
Barangkali tahun 2020 menjadi tahun yang paling berat bagi instansi sepenting Ditjen Pajak. Pandemi menjadikan instansi ini luar biasa selektif dalam menunaikan tugas mengumpulkan target penerimaan pajak yang dipatok sebesar Rp1.198,9 Triliun untuk tahun 2020 (berdasarkan Perpres 72 tahun 2020 ). Disebut selektif karena DJP harus seimbang antara mendukung upaya pemulihan ekonomi nasional dengan tetap menjaga agar penerimaan pajak senantiasa aman untuk melawan gempuran dampak pandemi.
Pandemi hadir menyebabkan aktifitas bisnis dan ekonomi dihentikan/ melambat (dengan skema karantina wilayah atau PSBB). Efeknya bisa ditakar, penghasilan masyarakat menurun sehingga kontribusinya untuk membayar pajak juga melemah.
Di saat-saat seperti ini, pemerintah tidak tinggal diam. Triliunan insentif digelontorkan untuk mempertahankan tingkat konsumsi masyarakat, meningkatkan kualitas sarana kesehatan, dan menjaga kegiatan ekonomi agar tidak terpuruk.
Hasilnya, paling tidak, pertumbuhan ekonomi kita tidak merosot jauh sebagaimana negara tetangga di wilayah dan global (diperkirakan minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen untuk sepanjang tahun 2020). Tapi bersamaan dengan itu, DJP juga menghadapi tantangan yang memperberat perjuangan semasa pandemi, yakni: Freerider.
Tidak ada yang berubah dengan definisi Freerider semasa pandemi, ia tetap membawa sifat yang sama: menikmati tanpa berkontribusi. Hanya saja, di masa sulit ini, freerider juga mencakup wajib pajak yang bersembunyi di balik dampak pandemi dan membangun berbagai dalih/alibi untuk menghindari pajak.
Kita tahu bahwa semua sektor bisnis nyaris terpapar pandemi. Tapi kadar yang dideritanya berbeda-beda tergantung kekuatan modal, karakteristik usaha, dan kekuatan manajerial/ kepemimpinan. Ada yang habis dan sampai gulung tikar, ada yang hanya sebatas mengurangi produksi, tapi ada juga yang baik-baik saja atau justru untung semasa pandemi ini. Tidak ada yang benar-benar tahu kecuali Tuhan dan si pelaku usaha/ wajib pajak itu sendiri.
Keterbatasan aktifitas di luar kantor juga menjadi pemberat bagi DJP untuk melakukan uji verifikasi di lapangan untuk memastikan kualitas kesehatan bisnis Wajib Pajak semasa pandemi. Alhasil, kesadaran dan kejujuran Wajib Pajak semasa pandemi COVID19 ini berperan sangat penting dalam menentukan kualitas dan capaian kinerja penerimaan pajak tahun ini.
Dua faktor tersebut menjadi kunci utama bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya di masa-masa sulit ini. Ditjen Pajak telah menghadirkan berbagai bentuk pengertian dan dukungan bagi keberlangsungan usaha maka sudah sewajarnya Wajib Pajak menyambutnya dengan pemenuhan kewajiban yang berkualitas.
Jika tidak, perilaku yang demikian ini berpotensi menyebabkan negara kita akan lebih lambat pulih ketika kelak pandemi telah selesai. Sebab semakin kuat penerimaan pajak, maka makin kuat juga negara memberikan dukungan, dan kelak makin cepat pula kita dapat bangkit kembali.
Namun demikian, tentu saja Ditjen Pajak tidak duduk menunggu dengan pasif. Sinergi yang baik dengan instansi/ unit/ lembaga lain yang mampu memberikan informasi yang valid terus dibangun.