Lihat ke Halaman Asli

Erikson Wijaya

ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Pengenaan Pajak Atas Harta Warisan/Hibah dalam Rangka Tax Amnesty

Diperbarui: 4 April 2017   18:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi. shutterstock

Ditulis dari hasil pemikiran bersama antara Erikson Wijaya & Hadi Nur

Sudah hampir dua bulan sejak kebijakan Amnesti Pajak diberlakukan. Beberapa isu mulai bermunculan. Satu diantaranya adalah bagaimana perlakuan yang diberikan ketentuan Amnesti Pajak terhadap harta warisan yang diperoleh Wajib Pajak/masyarakat dari pendahulunya. Harta warisan tersebut dapat berupa aset tetap atau aset bergerak dan dipertahankan ahli waris tetap dalam bentuk yang sama, namun dapat terjadi pula suatu kondisi dimana ahli waris menjualnya untuk kemudian hasil penjualannya dimanfaatkan untuk memperoleh aset berbentuk lainnya. Dua macam kondisi ini dapat menimbulkan polemik tersendiri yang seyogyanya harus dipertegas secara bijak oleh pemerintah supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman di lapangan atau multitafsir yang dapat merugikan negara.

Waris dan Hibah Bukan Objek Pajak

Pada dasarnya Pasal 24 dan Pasal 25 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 2016 telah memberikan petunjuk yang terbatas tentang pengungkapan Harta Tambahan berupa tanah/bangunan dan saham yang masih belum diatasnamakan  langsung sebagai status hak milik Wajib Pajak/masyarakat peserta Amnesti Pajak.

Masalah muncul pada kasus semacam ini karena pada dasarnya menurut ketentuan Pasal 4 Ayat (3) huruf a angka 2 dan huruf b UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh) menyebutkan bahwa harta hibah dan warisan bukan objek pajak. Pengecualian ini secara legal didasarkan pada adanya Akta Hibah atau Akta Waris yang sah terbitan Notaris dan dibuat sebelum pengakuan kepemilikannya.

 Sehingga penetapan harta yang diperoleh melalui warisan atau hibah sebagai harta yang dapat diakui dan diungkap dalam Surat Pernyataan Harta dalam rangka Amnesti Pajak tidak sejalan dengan amanat UU PPh tersebut. Ketika berhadapan dengan Wajib Pajak/masyarakat yang minim pengetahuan legal perpajakannya maka kondisinya akan lebih pelik lagi, sebab bisa dipastikan bahwa kelompok ini tidak memiliki dokumen legal yang dapat membuktikan sumber perolehan harta tambahannya adalah dari waris atau hibah keluarga pendahulunya.

Menyikapi isu semacam ini seharusnya pemerintah memfasilitasi Wajib Pajak/masyarakat untuk melegalkan kepemilikannya agar secara konsisten dapat dinyatakan tetap bersumber dari waris atau hibah sehingga sejalan dengan prinsip pengecualian menurut UU PPh. Adapun pemikiran yang menganggap bahwa harta tersebut ketika masih dipegang oleh pendahulunya belum dikenakan pajak sehingga ketika telah diwariskan menjadi beban pajak pewarisnya (sekalipun melalui skema Amnesti Pajak) adalah pendapat yang keliru karena pada prinsipnya kewajiban perpajakan seseorang sudah terhenti ketika ia meninggal sekalipun mungkin negara belum mengoptimalkan pengawasan dan pengenaan pajak terhadapnya. 

Amnesti Pajak sepatutnya tidak melanggar rumusan dasar ini. Jika dipaksakan, maka tak pelak kebijakan Amnesti Pajak seperti hendak memberikan pengampunan terhadap Wajib Pajak/masyarakat yang telah meninggal dunia melalui pewarisnya. Amnesti Pajak akan lebih simpatik jika sekaligus dimanfaatkan sebagai momentum memfasilitasi kondisi semacam ini tentunya dengan melibatkan instansi terkait.

Analisis Skema Pengungkapan

Ada isu yang berkembang di masyarakat pasca berlakunya kebijakan Amesti Pajak yaitu seberapa besar sebaiknya harta diungkapkan? Sebagian, seluruh, atau tidak sama sekali? Kondisi ini salah satunya disebabkan kebingungan Wajib Pajak/masyarakat atas harta-harta yang diperolehnya dari warisan. Namun demikian keputusan harus dibuat. 

Keputusan yang secara ekonomis harus disandingkan dengan kebijakan sanksi yang ditetapkan pemerintah yakni jika dalam hal Wajib Pajak telah memperoleh Surat Keterangan kemudian ditemukan adanya data dan/atau informasi mengenai Harta yang belum atau kurang diungkapkan dalam Surat Pernyataan, atas Harta dimaksud dianggap sebagai tambahan penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak pada saat ditemukannya data dan/atau informasi mengenai Harta dimaksud dan akan ditagihkan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang meliputi sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% (dua ratus persen).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline