Lihat ke Halaman Asli

Erikson Wijaya

ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Quo Vadis Wacana Otonomi Ditjen Pajak

Diperbarui: 2 Agustus 2016   07:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ditulis dari hasil pemikiran bersama antara Erikson Wijaya & Anandita Laksmi

Anjuran pemberian status otonomi dan fleksibilitas fungsi kepada otoritas perpajakan suatu negara sudah banyak tersebar di sejumlah hasil studi para peneliti. Namun demikian asumsi bahwa kedua hal tersebut mampu menyelesaikan semua permasalahan dalam administrasi perpajakan masih saja menjadi pertanyaan. Arthur Mann (2004) dalam penelitiannya mengenai pembentukan lembaga perpajakan yang semi otonom (Semi Autonomous Revenue Authorities/ SARA) sebagai solusi penyelesaian permasalahan administrasi perpajakan di sejumlah negara berkembang menyimpulkan bahwa: “SARAs have not proven to be quick-fix panaceas.” Signifikansi manfaatnya menurut Mann baru hanya pada terbentuknya landasan untuk mewujudkan administrasi perpajakan yang efisien. Lantas mau dibawa kemana wacana otonomi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang timbul tenggelam beberapa tahun belakangan?

Dalam Catatan Sejarah

Dalam 15 tahun terakhir, banyak negara memberikan otoritas perpajakannya status otonomi (dengan level yang berbeda-beda) sebagai bagian dari program reformasi fiskal di negara masing- masing. Meskipun belum ada penilaian global yang komprehensif sebagai evaluasi atas implementasi model tersebut dalam mendukung pencapaian tujuan reformasi yang dikehendaki (Kidd dan Crandall, 2006). Di Indonesia, sejak sebelum tahun 1980an sampai dengan akhir tahun 2000an reformasi perpajakan yang terkait dengan perbaikan fungsi kelembagaan (capacity strengthening) diwakili oleh sejumlah program asistensi teknis (technical assistance) yang diberikan oleh lembaga donor (DAS, WB, IMF, JICA, USAID, HIID, dan JBIC). Mukhammad Faisal Artjan dalam papernya yang berjudul Developing State Capacity in Indonesia (2011) menyebutkan bahwa penguatan kelembagaan melalui asistensi teknis tersebut dapat dikategorikan menjadi empat fokus yaitu: Level Organisasi, Level Individu, Sistem pada Level Makro, dan Sistem pada Level Mikro. Artjan juga telah mengimplikasikan bahwa Indonesia tidak pernah secara legal memasukkan atau menerima wacana menjadikan otonomi sebagai suatu kemungkinan opsi solusi. Dalam catatan dari masa ke masa terdapat sejumlah aksi riil yang telah dilaksanakan untuk memperkuat kapasitas kelembagaan perpajakan/fiskal di Indonesia yang tercermin dari sejumlah program sebagai berikut:

  • Economic Stabilization Program(1960an s.d. awal 1980an) & General Participation Training (1967-1981)

Kebijakan ini didanai oleh Development of Advisory Services (DAS) dengan maksud untuk membantu pemerintah Indonesia kala itu untuk memformulasikan kebijakan ekonomi agar tercipta perekonomian yang stabil dan menjadikan kesempatan boomingharga minyak mentah sebagai landasan penguatan ekonomi yang berkelanjutan. Program ini berfokus utama pada Sistem pada Level Makro sehingga praktis belum menyentuh level penguatan organisasi perpajakan secara kelembagaan. Kala itu, secara organisasional penguatan kelembagaan baru terwakili oleh program pengembangan sumber daya manusia yang bernama General Participation Training(didanai oleh USAID tahun 1967-1981).Namun tema besar dari program tersebut adalah perbaikan kondisi ekonomi pada sistem di level makro, belum ke level organisasi.

  • The Need for Economic Policy Reforms(1980an s.d. pertengahan 1990an

Didanai oleh DAS yang kemudian berganti nama menjadi HIID (Harvard Institute for International Development), program ini dinamai Fiscal Reform Project (FRP) dengan sasaran utama reformasi ditujukan untuk mewujudkan hukum dan ketentuan perpajakan yang sederhana, perluasan basis pemajakan, peningkatan keadilan fiskal, dan perombakan tarif pajak dalam rangka mengikuti praktik internasional yang lazim digunakan. Keluaran dari program reformasi ini adalah sejumlah Undang-Undang (UU) perpajakan, termasuk implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang baru pertama kali diadopsi di Indonesia. Penguatan secara kelembagaan melalui program ini diwujudkan dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia yang potensial melalui penyediaan pendidikan dan pelatihan di luar negeri. Program reformasi ini berhasil menciptakan stabilitas fiskal karena berhasil menutup celah korupsi yang mengurangi realisasi penerimaan pajak sampai akhirnya Indonesia dihantam krisis global pada tahun 1997-1998. Hingga titik ini belum ada pemikiran untuk menempatkan DJP sebagai lembaga terpisah dari struktur Kementerian Keuangan dalam kerangka penguatan fiskal.

  • The Need for Overcoming Financial Crisis Impact(awal2000an)

Dampak krisis global hingga awal tahun 2000an membuat perekonomian Indonesia dibawah supervisi International Monetary Fund (IMF) yang diwujudkan dengan ditandatanganinya Letter of Intent(LOI) dan Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) pada tahun 2000. Ketentuan didalam kesepakatan tersebut telah menempatkan IMF sebagai perumus kebijakan fiskal Indonesia kala itu. Rumusan tersebut berlaku dalam skala luas dalam konteks keuangan negara termasuk Reformasi Administrasi Perpajakan yang jamak dikenal dengan istilah Modernisasi Ditjen Pajak. Hasil modernisasi Ditjen Pajak kala itu adalah pembentukan Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar (LTO) yang khusus melayani 200 (dua ratus) Wajib Pajak terbesar di Indonesia sebagai pilot project. Struktur organisasi LTO disusun berdasarkan anjuran IMF untuk mengedepankan fungsi organisasi yang terintegrasi tanpa tersekat oleh jenis-jenis pajak tertentu. Kebijakan ini kemudian meleburkan sejumlah organisasi operasional DJP (Kantor Pelayanan Pajak, Kantor Pemeriksaan Pajak, dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan) menjadi satu Kantor Pelayanan Pajak. Agenda besar kebijakan modernisasi ini adalah menciptakan organisasi yang berorientasi pelayanan kepada Wajib Pajak dan mencegah korupsi yang selama terbentuk akibat tidak adanya transparansi melalui pemisahan fungsi yang ada di model struktur sebelumnya. Sebagaimana sudah disebutkan bahwa meski status otonomi dapat menjadi landasan untuk membantu organisasi mewujudkan kedua tujuan tersebut, anjuran dari IMF kala itu belum memasukkan resep untuk memberikan status otonomi bagi DJP. Secara resmi, baru sekitar satu dekade kemudian IMF mulai merekomendasikan opsi pemberian status otonomi sebagai salah satu opsi solusi yang dapat dicoba lembaga publik, jauh setelah intervensi fiskalnya di Indonesia berakhir. Praktis, sampai dengan era 2000an pemikiran mengenai pemisahan DJP sebagai lembaga otonom belum begitu berkembang.

  • The Need for Sustainable Tax Reform (akhir2000an)

Reorganisasi di internal tubuh DJP mulai berakhir pada tahun 2008 dimana seluruh unit kerja di Indonesia telah berjalan dengan struktur modernisasi. Reformasi kemudian dilanjutkan ke tahap dua melalui proyek yang dinamai Project for Indonesia Tax Administration Reform (PINTAR) dengan fokus utamanya adalah peningkatan kepatuhan Wajib Pajak melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi dan penguatan mekanisme transparansi dan akuntabilitas untuk mewujudkan tata kelola organisasi DJP yang baik. PINTAR merupakan asistensi teknis pada Sistem pada Level Mikro dan Level Individual. Program asistensi teknis ini didanai oleh Bank Dunia (World Bank) melalui pinjaman senilai US$ 110 juta. Ada empat komponen utama program ini yaitu 1) peningkatan efisiensi pengumpulan dan manajemen data wajib pajak melalui peningkatan daya dukung infrastruktur teknologi informasi. 2) manajemen dan pengembangan sumber daya manusia yang diwujudkan dengan penyediaan dana beasiswa dan perbaikan sikap mental dan komitmen untuk anti-korupsi. 3) penguatan operasional menajemen kepatuhan atas beberapa aspek inti seperti pemeriksaan pajak dam penagihan tunggakan pajak, terakhir 4) manajemen perubahan, yang disiapkan dalam rangka menciptakan mekanisme komunikasi dan sosialisasi yang efektif untuk mendukung keberhasilan PINTAR itu sendiri. Dari keempat komponen tersebut, tampak jelas bahwa kedua tujuan program yang hendak dicapai melalui PINTAR tidak dicobakan melalui wacana otonomisasi. Bank Dunia selaku lembaga donor tidak merekomendasikan opsi tersebut sebagai kemungkinan langkah yang bisa diambil sehingga di tingkat pimpinan, pembahasan mengenai wacana pemisahan bukan suatu topik utama. PINTAR sendiri pada akhirnya tidak jadi dijalankan di Indonesia setelah melalui berbagai pertimbangan.

Jalan Terjal Menuju Ideal

Dari ulasan mengenai catatan sejarah diatas diketahui bahwa meskipun upaya untuk menjadi lembaga dengan status otonom tidak pernah menjadi langkah resmi yang dimunculkan pemerintah (setidaknya sampai dengan akhir 2000an) namun pada akhirnya wacana tersebut mulai mengemuka kembali setelah sejumlah tokoh masyarakat, peneliti, dan akademisi mengemukakan pendapatnya beberapa waktu belakangan. Gus Sholah pada awal 2016 dalam suatu opininya yang berjudul “Pajak dan Masa Depan Indonesia” menyatakan bahwa: “pembentukan badan perpajakan bisa mendorong tercapainya reformasi birokrasi di instiusi perpajakan secara maksimal”. Opini Gus Sholah sejalan dengan hasil penelitian Mann (2004) bahwa: “They do provide a platform from which tax administration efficiencies can be generated, but their mere establishment offers no guarantee of success.” Senada dengan itu, Guru Besar Ilmu Perpajakan Universitas Indonesia (UI) Haula Rosdiana juga memandang bahwa dengan masih berada dibawah struktur Kementerian Keuangan maka itu menunjukkan bahwa tata kelola organisasi DJP masih tradisional sehingga menyulitkan dalam melaksanakan tugas yang memiliki urgensi besar. “Seharusnya Ditjen Pajak berada langsung dibawah Presiden sehingga keputusanya tidak mudah dipengaruhi oleh pihak lain.” Demikian Haula Rosdiana mengemukakan pendapatnya. Secara eksplisit Haula menjelaskan bahwa dengan menjadi otonom tidak ada jaminan semua masalah dalam administrasi perpajakan akan selesai tetapi setidaknya mekanisme itu menjanjikan suatu kemudahan dan efisiensi dalam pelaksanaan tugas yang begitu vital bagi negara. Opini mengenai peningkatan status DJP sebagai badan otonom juga dilemparkan oleh Yustinus Prastowo, Director of Center of Indonesian Taxation Analysis (CITA), dalam tulisannya yang dimuat harian Kompas pada medio tahun ini. Ia menyatakan bahwa salah satu agenda mendesak terkait reformasi perpajakan adalah pembentukan Badan Penerimaan Pajak.

Pertanyaan mendasar mengenai urgensi keberadaan lembaga otonom dapat dikaji melalui penjabaran yang diuraikan oleh William Crandall (2010) bahwa pada prinsipnya otonomi dapat menuntun pada perbaikan performa sebab model otonom memungkinkan organisasi untuk menghapus semua hal yang menghambat terwujudnya manajemen organisasi yang efektif dan efisien dengan mengedapankan semangat transparansi dan akuntabilitas. Disaat yang sama, Crandall juga menyatakan bahwa hal-hal yang menghambat tersebut secara dominan menganggu kinerja pencapaian penerimaan pajak. Model otonomi menyediakan landasan prinsip untuk mewujudkan administrasi perpajakan yang efisien demi meningkatkan kinerja tersebut. Alink dan van Kommer (2011) menyebutkan bahwa pilar utama efisiensi dalam administrasi perpajakan adalah: 1) kebijakan perpajakan yang befokus pada Wajib Pajak 2) spesialisasi sumber daya manusia berdasarkan sektor-sektor industri tertentu 3) independensi yang cukup dari Kementerian Keuangan demi menjauhkan organisasi dari campur tangan politik dan bebas dalam menentukan kebijakan mengenai manajemen sumber daya manusia dan perencanaan strategis lainnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline