Lihat ke Halaman Asli

Erikson Wijaya

ASN Ditjen Pajak- Kementerian Keuangan. Awardee LPDP PK-160. A Graduate Student of Business Taxation at The University of Minnesota, USA (Fall 2020).

Potret Buram Kondisi Perpajakan Indonesia

Diperbarui: 21 Juli 2016   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: bclub.co.in

Kapasitas Kelembagaan, Tax Incentives & Tax Base Erosion, dan Daya Tarik Tax Havens

Jeffrey Owens (2006), Direktur Pusat Administrasi dan Kebijakan Perpajakan OECD, pernah berujar bahwa kemampuan negara berkembang untuk meningkatkan penerimaan pajaknya dapat tersandung oleh sejumlah faktor antara lain: institusi otoritas perpajakan yang lemah secara kelembagaan, sistem perpajakan yang sangat royal dengan insentif, dan derasnya arus uang keluar ke negara-negara surga pajak. Dari hasil pemikiran penulis, apa yang disampaikan oleh Owens amat padu dengan kondisi perpajakan Indonesia akhir-akhir ini. Artikel ini mencoba memaparkan lebih lanjut tentang bagaimana ketiga aspek itu telah menjadi kenyataan yang hadir dan tidak boleh diabaikan.

Problema Kapasitas Kelembagaan

Kapasitas kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selaku pemegang otoritas perpajakan negeri ini dinilai oleh Guru Besar Perpajakan dari Universitas Indonesia Prof. Haula Rosdiana (2016) masih tradisional sehingga tidak mampu mengimbangi improvisasi praktik bisnis yang kian global. Hal tersebut berserta kemajuan dibidang teknologi informasi dan sosial-kemasyarakatan seharusnya mendorong Presiden dan DPR untuk menjadikan DJP sebagai organisasi yang adaptif dalam merespon perubahan.

Meminjam ucapan Peter Veld (2008), bahwa hal itu dapat ditunjukkan dengan mengadopsi strategi baru yang seirama dengan tantangan baru tersebut. Menurut hemat penulis sendiri, strategi baru diterjemahkan dengan mengubah kelembagaan DJP menjadi organisasi dengan perspektif global yang bebas dari kekakuan birokrasi yang menghambat ruang gerak inovasi.

Di banyak negara maju, institusi perpajakannya telah berevolusi menjadi institusi yang mandiri sejak dua dekade terakhir. Kemandirian institusi itu diimplementasikan dalam bentuk pemisahan dari Kementerian Keuangan secara organisasional (otonomi). Evolusi semacam ini menjadi tren global yang menyambangi banyak negara terutama negara anggota OECD. 

Meskipun pada realitanya tidak ada bukti valid yang menjelaskan bahwa pembentukan lembaga otonom dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas perpajakan, namun sudah cukup jelas bahwa administrasi perpajakan yang efektif membutuhkan cara baru berupa kemandirian dalam mengambil keputusan strategis.  

Alink & Kommer (2008) menyebutkan bahwa kemandirian tersebut terkait beberapa hal sebagai berikut: 1) perumusan strategi dan rencana operasional yang bebas dari intervensi liku birokrasi dan politisi; 2) penganggaran; 3) menyusun dan mengimplementasikan struktur organisasi; 4) manajamen sumber daya manusia; 5) manajemen sumber daya materiil, dan 6) penanganan perkara dan interpretasi hukum pajak. Dengan memiliki kemandirian terkait keenam aspek tersebut maka DJP yang semula dinilai bercorak tradisional dapat menjalankan tugasnya dengan efektif terutama dalam merespon perubahan perilaku bisnis yang cepat.

Kelembagaan DJP saat ini masih belum sepenuhnya mengadopsi konsep otonomi. Secara struktur DJP masih berada dibawah kuasa Menteri Keuangan sehingga tone of the top yang dihadirkan seorang menteri sangat berpengaruh terhadap kapasitas instansi ini dalam menjalankan tugas. Tidak ada kebebasan penuh yang dimiliki DJP dalam hal merumuskan strategi untuk mencapai target penerimaan pajak, kuasa pemilihan strategi dan keputusan implementasi pada akhirnya diputuskan oleh menteri yang sudah dibebani oleh span of control yang luas sehingga mengakibatkan strategi yang dirumuskan tidak tepat sasaran dan tidak efektif. Hal semacam ini yang menjadikan kapasitas kelembagaan DJP belum memadai untuk lebih kompetitif.

Insentif & Tax Base Erosion

Insentif perpajakan adalah hal yang terintegrasi dalam kebijakan pajak itu sendiri. Namun menurut Sam A. Hicks (1978) bagian terpenting dalam kaitannya dengan pemberian insentif perpajakan adalah merumuskan bentuk insentif yang tepat sesuai dengan kebutuhan bisnis tanpa harus merugikan negara. Konsekuensi dari implementasi insentif pajak adalah tergerusnya basis pemajakan yang mengakibatkan hilangnya potensi penerimaan pajak (potential loss)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline