Lihat ke Halaman Asli

Bercermin dari Pulau Belitong - Jeritan Penduduk Lingkar Tambang

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tulisan ini adalah kelanjutan dari coretan pertama saya sebelumnya tentang rentan-nya perekonomian sebuah daerah jika hanya mengandalkan satu buah sektor usaha , cek tautan ini kehidupan ekonomi yang instan. Dalam tulisan kali ini saya mencoba mengajak pembaca bercermin kepada beberapa kejadian yang sama pernah terjadi di Indonesia maupun di luar negeri.

Salah satu-nya adalah Belitong, sebuah pulau di kepulauan Riau, yang menjadi terkenal setelah seorang anak asli daerah membuat novel berjudul Laskar Pelangi. Ceritanya menggambarkan kisah beberapa anak SD Muhamadiyah menyelesaikan sekolah mereka dan menjadi berhasil meraih cita-citanya. Dengan mengambil set waktu  disaat produksi PN Timah sudah mulai habis sekitar tahun 70 – 80 an, pembaca digiring untuk mencoba merasakan betapa susahnya kehidupan saat sebelum perusahaan Negara tersebut tutup dan pasca penutupannya. Hal ini cukup relevan dengan apa yang kemungkinan bisa terjadi dengan daerah kita di beberapa bulan mendatang, dengan tidak terus berhenti berdoa mudah-mudahan ada jalan keluarnya.

Para tokoh utama di novel ini pada umumnya adalah anak para pekerja PN Timah yang kurang beruntung tidak mempunyai posisi yang tinggi. Dimulai dari ketidak pastian akan bisa dimulainya kelas jika minimal jumlah murid hanya 10 hingga bagaimana mereka menghadapi semua tantangan-tantangan yang dihadapi dengan penuh kesederhanaan. Kehidupan mereka sudah sederhana bahkan sebelum PN Timah tutup, akan tetapi dengan semangat dan kerja keras mereka mampu menyelesaikan sekolahnya walaupun mereka harus bekerja sepulang sekolah sebagai kuli di tambang timah tidak resmi. Ada sepenggal cerita yang menyedihkan ketika mereka harus kehilangan salah teman mereka yang pintar karena harus menghidupi adik-adiknya sejak ayah yang bekerja sebagai nelayan tidak kembali dari laut selama 1 bulan entah karena kecelakaan atau hilang. Bukan tidak mungkin hal seperti ini terjadi juga di beberapa penjuru tanah air kita. Alur emosi pembaca dibuat naik turun diantara kemarahan pada penguasa jaman itu, sedih karena mereka harus bekerja di paruh waktu serta hal-hal kecerian mereka yang polos.

Bagaimana mereka bisa menghadapi ini semua ? Saya teringat dengan ucapan Aa Gym pada saat memberikan tausiyah jum`at kemarin diNewmont Townsite, bahwa kita harus bisa Ridho dalam menghadapi semua ini dan juga anggap ini hanya sebagai perubahan episode kehidupan dan scenario dari Allah SWT. Bukan tidak mungkin semua hambatan ini akan menjadi titik balik menuju hidup yang lebih baik. Menurut saya ada tambahan lagi yang kita harus punya, yaitu jangan berhenti untuk bermimpi, karena dengan mimpi kita bisa mempunyai target apa yang akan kita peroleh dimasa depan. Dengan menggantungkannya didepan mata, maka kita akan teringat terus mimpinya. Itu yang terjadi dengan para tokoh di cerita semi fiktif tersebut. Walaupun dengan kondisi perekonomian yangmiskin mereka selalu punya mimpi untuk bisa menjadi besar.

Lantas apa hubungannya dengan judul artikel ini yaitu bercermin dari pulau belitong. Menurut saya kita harus bercermin dari mereka bahwa dengan keyakinan untuk maju sedikit-sedikit dengan tidak menggunakan cara instan terbukti dapat mengembangan potensi dari daerah nya termasuk parawisata, pertanian dan perkebunan, nelayan dan kemampuan mereka dalam bidang sastra dan kesenian. Jangan berhenti untuk bermimpi, berinovasi serta memaksimalkan kemampuan kita yang lain untuk kemajuan bersama.

#near gate 41 alpha

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline