Dari dua permasalahan diatas, apa pelajaran sosial yang bisa kita maknai? Ternyata di Indonesia, ada dua syarat bebas dari hukuman yaitu sopan dan kooperatif. Fakta ini kemudian seolah ingin membuktikan bahwa Kalau Anda Sopan Kami Segan.
Tadi pagi saya membuka instagram, tujuannya sih buat cari bahan lawakkan. Yah kali aja, para konten kreator yang bergerak dibidang seni dan gelak tawa punya bahan buat mengocok perut saya yang sudah kenyang dengan sarapan beberapa buah pisang goreng dan secangkir kopi. Namun kenyataan berkata lain.
Saat jempol tangan kanan membuka aplikasi tersebut, timeline saya malah viral dengan sebuah pemberitaan yang berjudul, polisi tidak jadi menilang gerombolan mobil mewah yang membuat kecametan disalah satu tol di Jakarta. Sontak saya kaget dan kemudian buru-buru untuk membuka kanal berita. Ketawanya saya tunda dulu. Lebih memilih untuk fokus mengapa peristiwa tersebut bisa terjadi.
Bukan untuk apa-apa, saya ingin memastikan apa alasan Polantas setempat tidak menghukum para biang kerok kemacetan yang sebenarnya jelas-jelas melanggar peraturan. Mungkin saja berita itu hoaks atau pembuat konten salah ketik. Cus, instagram ku tutup, kompas.com dan kanal yang lain ku buka.
Dari berita yang saya baca, nampanknya akun yang memuat berita tersebut tidak salah ketik maupun clickbait. Pada intinya, para rombongan mobil mewah ini tidak dikenakan sanksi tilang dan dibebaskan dari hukuman. Berikut penjelasan Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Endra Zulpan :
"Petugas PJR hanya melakukan tindakan teguran sebagai bentuk edukasi kepolisian kepada masyarakat khususnya kepada kepada pengemudi tersebut karena sikap pengemudi mobil mewah tersebut kooperatif."
Kasus ini menjadi bahan perbincangan publik. Saya pun sedikit terusik dengan keputusan kepolisian tersebut. Sebenarnya bukan untuk apa-apa, toh saya juga tidak mengalami kerugian apa-apa bila mereka ditilang atau tidak ditilang. Namun femonena ini akan menjadi sebuah tolak ukur yang negatif terhadap penegakkan hukum di Indonesia.
Sejauh mata melihat, kita sebenarnya bukan pertama kali ini melihat penindakan hukum yang tidak proporsional. Kemarin sebenarnya hal yang serupa sudah terjadi. Kita masih ingat dengan kasus Rachel Vennya dan Gaga Muhammad. Keputusan para penegakkan hukum dirasa tidak adil oleh sebagian besar masyarakat yang menunggu palu keadilan agar berjalan seimbang.
Dalam perjalannya, kita malah disuguhkan oleh hasil yang jauh dari ekspektasi. Kasus Rachel Vennya misalnya. Para pembaca bisa membuka kembali sejarah perjalanan kasusnya. Saat itu, hakim hanya memberikan putusan pidana masing-masing selama 4 bulan dengan ketentuan hukuman tersebut tidak perlu dijalani, kecuali apabila di kemudian hari dengan putusan hakim diberikan perintah lain atas alasan terpidana sebelum waktu percobaan selama 8 bulan berakhir telah bersalah melakukan suatu tindakan pidana, dan denda masing-masing-masing denda Rp 50 juta subsider 1 bulan kurungan.