Hari-hari ini rakyat kita lagi dibuat resah. Resah mengenai rencana pemerintah yang akan menaikan iuran BPJS Kesehatan (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Kenaikannya bukan lagi kepalang tanggung, naik hingga 100 persen. Lalu ini salah siapa? Mengapa naiknya hingga setinggi ini? Kenapa baru sekarang?
Ketika isu kenaikan iuran ini ramai dibahas, saya teringat lagi dengan salah satu buku karangan Eko Prasetyo yang berjudul "Orang Miskin Dilarang Sakit". Dalam buku itu saya menyimak bahwa memang bangsa ini adalah bangsa yang kurang concern mengenai pembangunan kesehatan. Padahal tidak tahu kah kita bahwa kesehatan adalah modal utama pembangunan dan majunya suatu negeri?
Hanya segelintir orang/kalangan yang bisa mencicipi pelayanan kesehatan yang berkualitas dan manusiawi. Saat pemerintah dengan bangganya menerbitkan SJSN (Sistem Jaminan Sosial Tenaga Kesehatan) melalui BPJS Kesehatan, nyatanya pemerintah juga telah berani menodong dan berhasil menjadikan lembaga ini sebagai kendaraan politik.
BPJS Kesehatan akhirnya menjadi pesakitan dimedia massa dan secara lembaga sudah pincang. Yang bisa dilakukan hanya berlindung pada kucuran dana dari pemerintah.
Mengapa saya katakan demikian? Mari kita urai satu persatu mengenai selayang pandang BPJS Kesehatan mulai dari didirkan hingga defisit yang tiada menemukan kata akhir hingga hari ini.
BPJS beroperasi pada 1 januari tahun 2014, sebagai transformasi dari PT. Askes (Persero). Saat itu, PT. Askes (BPJS Kesehatan) masih berada dan bertanggung jawab terhadap menteri terkait karena statusnya yang masih menjadi BUMN, namun setelah berubah menjadi BPJS Kesehatan, statusnya bukan lagi BUMN namun Berbadan Hukum tetap yang artinya semua hasil kerja dari penyelenggara jaminan kesehatan ini sepenuhnya dipertanggungjawabkan langsung kepada presiden sebagai pimpinan negara.
Prinsip penyelenggarannya adalah gotong royong. Yang sehat membiayai yang sakit, yang kaya membantu yang miskin. Yang berlebih secara finansial menolong yang kekurangan. Duh manis sekali yaaah,, Masyarakat kita akhirnya mau bersatu untuk menolong sesama. Sungguh indah...
Namun bukan itu pointnya. Saya melalui tulisan ini berada pada kelompok masyarakat yang mendukung kenaikan iuran BPJS Kesehatan namun menolak Lembaga ini menjadi pijakan para politisi bajingan demi kepentingan dan ambisi mereka sendiri. Mari baca point-point ini:
Pertama, BPJS Kesehatan berdasarkan peraturan perundangan-undangan, dalam pelaksanaannya dapat melakukan peninjaun ulang terhadap sistem, tata kelola dan managemen resikonya. Apa ini sudah dilakukan? Ya sudah. Lalu apa hasilnya? BPJS Kesehatan secara terang benderang telah memberikan rekomendasi ke pemerintah bahwa mereka akan mengalami defisit akibat tidak sesuainya hitungan aktuaria dengan iuran yang dipungut dari peserta pengguna layanan.
Coba bayangkan saja pepatah "lebih besar pasak dari pada tiang". Pemerintah pusat melalui hitung-hitungan Menkeu memutuskan akan membantu dan menutup defisit tersebut yang setiap tahun terus naik dan semakin bengkak. Solusinya bagus, tapi tidak menyelesaikan masalah. Mengapa pemerintah tidak melakukan audit dan evaluasi pengelolaan dana iuran JKN yang tiap bulan masuk dan dikeluarkan.
Presiden seharusnya berani menyelamatkan BPJS Kesehatan bukan hanya membantu menutupi defisit dengan memberikan suntikkan dana, tetapi juga harus berani mengeluarkan kebijakan yang menyelamatkan BPJS kesehatan dalam waktu jangka panjang. Setelah Jokowi naik sebagai presiden, isu kenaikan iuran malah nyaring bergema dari ruang istana. Mengapa baru disuarakan sekarang? Apakah karena sudah terpilih lagi? Saya harap bapak presiden mampu menjelaskannya kepada masyarakat.