Lihat ke Halaman Asli

Mereka Juga Anak Manusia yang Layak Menerima

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ketika aku pergi dengan menaiki sepeda motor sore hari bersama seorang temanku, sore itu cuaca cerah sekali, pukul 5.30 sore matahari masih gagah dengan pancaran sinarnya, seperti hari belum akan beranjak petang, ditambah lagi dengan bersihnya biru gak ada awan yang menempel di dinding langit. Pulang jam kontor lagi jalanan sesak dengan orang - orang sibuk yang hendak pulang beristirahat setelah menghabiskan tenaga seharian di tempat kerja mereka.

Sampai pada suatu lampu merah aku berhenti, melihat sekitar ada beberapa anak kecil yang masih dibawah umur yang harusnya stay dirumah lagi wangi - wanginya setelah mandi dan menonton acara anak - anak atau belajar kembali mempelajari pelajaran yang telah dipelajari disekolahan hari itu, paling tidak menikmati suasana riang yang bisa dinikmati layaknya anak - anak seumurnya. Tapi ini tidak, mereka berjalan mondar - mandir ketika  lampu menyala merah sambil menengadahkan tangan kepada para pengendara yang berhenti mengharap paling tidak  ada receh yang dikeluarkan dari kantongnya dengan pakaian yang lusuh dan kulit dekil seperti tak punya sabun untuk mandi.

ketika seorang anak kecil menghampiriku, aku bertanya,"sudah makan belum ?" dengan bahasa jawa

jawabnya "belum"

lalu aku mencoba untuk mengajaknya untuk ikut denganku untuk mencari makan untuknya tapi dia gak mau dan jawabannya yang membuatku kaget dan tak pernah kupikir sedikitpun. dia menjawab " adik - adik saya juga belum makan mas" dengan bahasa jawa juga. Hebat, kataku dalam hati. Anak seumuran itu sudah sebegitu besarnya mengorbankan kesenangannya untuk bermain dan begitu dalam mempedulikan saudaranya. Karena tak sempat untuk berbicara banyak akhirnya aku kasih sedikit uang kepada anak itu.

Setelah lampu hijau aku melanjutkan perjalananku, temanku bertanya heran, "kenapa kamu begitu mempercayai anak kecil itu ? orang kita ngurusi diri sendiri ja belum tentu benar."

aku jawab saja "berapa porsi kita memikirkan diri sendiri dibanding dengan orang lain, okelah kita tidak kaya tapi masih ada yang lebih tidak kaya dari kita."

dengan pendiriannya dia masih saja menyangkal, "ya kalau memang anak itu benar - benar anak dari orang yang tak mampu dan terpaksa begitu, bagaimana kalau anak itu hanya sekedar anak yang diperalat oleh orang - orang yang hanya akan mengambil usaha dari anak itu seharian ?"

aku hanya diam saja karena aku tahu dia akan tetap dengan pandangannya yang seperti itu.

Begitu banyak orang yang terlalu panjang berfikir untuk memberikan sesuatu kepada orang lain yang pada akhirnya dia akan lewat begitu saja setelah kesempatan itu lewat. Berapa banyak kita memberi dari sesuatu sedikit yang kita terima.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline