Lihat ke Halaman Asli

Sony Hartono

Seorang Pria Yang Hobi Menulis

Buku, Sekedar Koleksi atau Bumbu Imajinasi?

Diperbarui: 17 Juni 2015   19:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1414377753788306925

[caption id="attachment_369598" align="alignleft" width="300" caption="Koleksi Intisari (dok. pribadi)"][/caption]

"90 % buku yang dibeli tidak habis dibaca!", kalimat itu terpampang di kaos hitam dengan font putih di setiap punggung para komunitas pecinta buku yang kala itu sepertinya sedang menjadi pelayan dadakan di sebuah toko buku terkenal di Jakarta. Aku sempat tertegun membacanya, karena itu "AKU BANGET". Bagaimana tidak, buku-buku yang kubeli, mungkin sebagian besar belum benar-benar selesai kubaca, dan aku sudah membeli buku baru. Bahkan, ada diantaranya yang masih tersegel dalam bungkus plastik. Gila, ini hobi membaca buku atau sekedar koleksi??? Kalau saja buku-buku yang teronggok di rak itu bisa ngomong, mereka pasti akan teriak "Hai Son, kembalikan saja kami ke toko buku agar kami mendapatkan majikan baru yang dapat menghargai kami sebagai sumber pengetahuan, menyesal kami ikut denganmu kesini!". Untungya mereka nggak bisa bersuara dan tidak bisa melaporkanku ke KOMNAS HAB (Komisi Nasional Hak Asasi Buku), hanya jadi saksi bisu keangkuhanku saat memborongnya dengan kalap ketika sedang pesta diskon yang sering digelar salah satu toko buku terbesar di Jakarta, ha ha.....

Sejak kecil aku memang gemar membaca, mulai membaca Atlas dan menghafal negara-negara dengan ibukotanya. RPUL buku pintar lokal legendaris di zamannya sebelum keok dengan Mbak Wikipedia dan Mbah Google juga jadi buku favoritku. Majalah Bobo yang saat itu masih seharga ratusan perak juga tak luput dari rasa ketertarikanku, rasanya senang sekali dapat memiliki dan membacanya. Semasa SMP aku mulai kenal dengan Intisari, membaca intisari seolah-olah membuatku berkelana keliling dunia dengan liputannya tentang kota-kota di berbagai belahan dunia, apalagi pertengahan dekade 90-an saat itu internet belum lazim di Indonesia. Masa-masa kuliah aku mulai mengenal majalah National Geographic yang lebih mendalam mengulas suatu peristiwa ataupun keragaman di berbagai belahan dunia dengan dimanjakan foto-foto pemandangan, kota-kota, situs purbakala, sampai dengan kegiatan sosio kultural dengan kualitas yang luar biasa.

Keberadaan sebuah toko buku diskon di Jogja, kota masa kuliahku membuat hobiku mengoleksi buku semakin terpuaskan, maklum mahasiswa sepertiku termasuk golongan price sensitive. Tidak hanya majalah Intisari ataupun National Geographic yang memberiku wawasan tentang berbagai tempat di belahan dunia. Buku-buku semacam The World is Flat karangan Thomas L. Friedman pun ternyata banyak mengungkap kondisi sosio ekonomi pada zaman internet seperti sekarang ini, betapa internet dan kemudahan serta kecanggihan teknologi komunikasi saat ini telah merubah pola-pola lama tentang bisnis. Bagaimana perusahaan-perusahaan di Amerika mengalihkan pabriknya ke Cina. Bagaimana pula perusahaan-perusahaan Amerika mempekerjakan tenaga-tenaga akuntan dari India tanpa mendatangkannya ke Amerika, ataupun perusahaan-perusahaan Amerika yang menggunakan tenaga call center orang India yang berada di India dan dilatih berbahasa Inggris dengan aksen Amerika, sehingga konsumen Amerika pun tidak akan menyangka kalau yang melayani pertanyaan mereka adalah orang India yang berada ribuan mil dari Amerika. Wow!

Ketika membaca Biografi Steve Jobs pendiri Apple Inc. yang diterbitkan setelah kematiannya, selain kita tahu bagaimana perjalanan hidupnya, kita juga disuguhi tentang budaya anak muda Amerika pada dekade 70-an, juga seluk beluk persaingan sengit antara Apple dan Microsoft sejak dekade 80-an.  Membaca novel petualangan yang ditulis Agustinus Wibowo, kita jadi tahu sisi lain dari mencekamnya Afghanistan, misteriusnya negara-negara Asia tengah sampai dengan keeksotisan Tibet membuat kita seolah-olah hanyut di dalamnya dan berimajinasi merasakan suasana tempat-tempat itu meski belum pernah mengunjunginya.

Membaca memang mengasyikkan. Bagaimana tidak, dengan banyak membaca, wawasan kita menjadi semakin luas, jadi gampang nyambung jika diajak ngobrol orang lain bahkan orang yang baru kita kenal. Kita juga menjadi punya modal dan tidak kehabisan bahan untuk berbagi informasi ketika mengajar di kelas ataupun mendidik anak-anak kita.

Ketika kita membaca buku petualangan ataupun perjalanan dengan sedikit atau tanpa foto-foto yang menggambarkan keadaan sebenarnya namun disertai dengan gaya penulisan yang menarik dan membuat penasaran, menuntut kita berimajinasi akan kondisi sebenarnya tempat itu. Hal itu tak jarang menjadi motivasi kita untuk berusaha mengunjunginya suatu hari nanti, karena rasa penasaran yang terus membuncah.

Kalau sampai kalap belanja barang konsumtif bisa jadi dimarahin pasangan di rumah, tapi kalau kalap belanja buku? Nggak papa lah, asal nggak buat ganjal pintu atau teronggok begitu saja sampai dimakan rayap, ha ha....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline