[caption id="attachment_376506" align="aligncenter" width="300" caption="Pulpen, Note Book, dan Keyboard (dok. pribadi)"][/caption]
"PR kalian untuk minggu ini adalah menulis sebuah artikel tentang lingkungan hidup", seru seorang guru kepada murid-muridnya.
"Waduh.....", seru beberapa murid memicu kegaduhan .
Adapula yang berbisik-bisik sinis, "Gampang ya jadi guru, bisanya cuma nyuruh nulis aja. Emangnya tulisan Beliau sebagus apa sih? Atau jangan-jangan Beliau cuma bisa menulis angka-angka di rapor kita?"
Miris kalau hal itu sampai terjadi pada anak didik kita. Maukah kita sebagai seorang guru dianggap demikian oleh anak didik kita. Alih-alih pengen anak didik kita gemar dan pintar menulis, malah tanggapan sinis yang kita dapat dari mereka.
Terus gimana dong caranya agar anak-anak didik kita punya kebiasaan menulis dan akhirnya menulis itu menjadi bagian dari gaya hidup mereka? Jawabannya singkat, Guru harus gemar menulis dan kreatif.
Saat ini saya menjadi salah satu pengajar pada Program Diploma Kedinasan di Balikpapan. Saya pribadi bukan seorang guru menulis ataupun guru pelajaran Bahasa Indonesia, namun kebetulan saya punya hobi menulis meskipun masih belepotan bahasanya. Nah, mumpung saya punya anak didik, saya ingin mereka juga punya hobi menulis. Tapi apa saya juga harus sekedar menyuruh mereka menulis?
Lebih dari 90 % anak didik saya kos di Balikpapan karena sebagian besar datang dari luar kota bahkan banyak yang datang dari Pulau Jawa. Perkuliahan hanya berlangsung dari hari Senin s.d. Kamis, tentunya mereka punya banyak waktu luang pada akhir pekan. Suatu ketika terlintas di pikiran saya, "Kenapa mereka tidak kuberi tugas di Kompasiana saja ya, daripada mereka bingung mengisi waktu luang?"
Agar mereka tergerak untuk menulis dan mem-posting tulisannya, kuberikan tantangan yang di dalamnya ada nilai-nilai integritas, motivasi, sinergi, kreativitas, sebagai bagian dari mata kuliah pengembangan kepribadian yang kuampu, plus iming-iming hadiah biar semakin bergairah. Permainan pun dimulai.....
Pertama
Saya sengaja membeli 3 bungkus permen. Kemudian saya bagikan kepada mereka satu per satu untuk memilih permen yang disukai. Kemudian saya minta mereka yang mempunyai permen sama mereknya untuk mengumpul jadi satu kelompok. Dengan begitu pembentukan kelompok akan terlihat smooth dan tidak dibuat-buat, semata berdasarkan ketentuan 'alam', kan mereka sendiri yang memilih permennya. Terbentuklah tiga kelompok yang mempunyai jumlah anggota berbeda. Banyak di antara mereka yang memandang hal ini sebuah ketidakadilan karena berbeda jumlah anggota per kelompok, namun di sini mereka juga belajar konsep KEADILAN yang berbeda yang selama ini luput dari pola pikir mereka.
Kedua
Saya meminta mereka membuat akun di Kompasiana, dan mem-posting artikel boleh lebih dari satu dengan tema yang bebas . Yang akan saya nilai adalah jumlah dari pembaca yang membaca artikel mereka. Tidak pembaca per artikel, melainkan akumulasi seluruh pembaca artikel dari anggota kelompok tersebut. Dengan aturan seperti ini mereka tentunya dituntut bisa bekerja sama dan saling mendukung dengan anggota lain dalam kelompoknya agar akumulasi pembaca artikel kelompoknya menjadi yang paling banyak. Manakala ada salah satu anggotanya yang kesulitan mem-posting, merasa kehabisan ide menulis, ataupun malas menulis, mereka harus saling memotivasi untuk target kemenangan tim memperoleh pembaca terbanyak. Masing-masing anggota kelompok jelas akan mempunyai kontribusi bagi keberhasilan target kelompoknya. Ada nilai SINERGI yang bisa dipelajari di sini.
Ketiga
Saya juga menerapkan aturan, untuk memperoleh banyak pembaca, mereka boleh meng-share artikel yang mereka posting di Kompasiana melalui media sosial, namun tidak boleh mengajak atau ada kalimat yang bernada persuasif untuk membuka link artikel mereka. Mereka juga tidak boleh membuka sendiri berulang kali artikel sendiri atau anggota lainnya agar bertambah jumlah pembacanya. Nilai INTEGRITAS saya terapkan di sini, ketika terbuka lebar godaan dan kesempatan berbuat curang tidak sesuai aturan main yang ada, dan tidak ada yang mengawasi atau melihat jika kecurangan itu dilakukan, apakah mereka tetap berpegang teguh dengan aturan main yang ada.
Keempat
Saya memberikan iming-iming hadiah untuk kelompok yang paling banyak jumlah pembacanya selain nilai aktivitas tentunya. Namun saya tetap mengingatkan kepada mereka, hadiah itu bukan untuk menanamkan sifat transaksional pada diri mereka, namun hanya sekedar menambah seru pada permainan. Saya selalu menekankan kepada mereka bahwa kebanggaan diri bisa menulis artikel yang bagus dan bermanfaat bagi pembaca sebagai pencapaian yang lebih dari sekedar hadiah materi semata, keberadaan hadiah hanya efek samping dari pencapaian itu. Karena MOTIVASI utama menulis yang sekedar hanya mengejar hadiah tidak akan awet efeknya untuk kebiasaan menulis kita. Berbeda halnya jika kita menanamkan dalam pola pikir kita bahwa dengan menulis kita bisa berbagi ilmu, pengalaman, maupun opini yang sekiranya bisa bermanfaat bagi pembacanya merupakan amal jariyah tersendiri bagi kita.
Kelima
Mereka saya beri waktu 2 minggu untuk mem-posting tulisan mereka sebanyak-banyaknya, sekreatif mungkin, tanpa meninggalkan kaidah penulisan yang santun, meskipun di dunia maya. Di dunia nyata kita kenal "Mulutmu Harimaumu", kalau di dunia maya jadi "Tanganmu (Tulisanmu) Harimaumu".
Respon
Sehari setelah penugasan, ternyata Kompasiana sudah dipenuhi dengan tulisan anak-anak didikku. Bahkan ada yang sehari posting sampai empat artikel. Hari-hari selanjutnya bertambah banyak, apalagi kalau akhir pekan tambah banyak artikel unik dan menarik yang mereka posting. Sampai-sampai aku hanyut pula dalam euforia penulisan artikel mereka dan terus kusemangati mereka dengan cuitanku di twitter #BudayakanMenulis
[caption id="attachment_376667" align="aligncenter" width="300" caption="Screenshot Cuitanku di Twitter (dok.pribadi)"]
[/caption]
Setelah kubaca tulisan-tulisan mereka ternyata banyak yang salah ketik ataupun terjadi auto correct. Hal itu wajar terjadi dalam tulisan sebuah blog, namun jika frekuensinya lebih dari 10% sehingga menjadi cukup mengganggu bagi pembaca. Jadi kusarankan mereka sebelum mem-posting tulisan, sekiranya dibaca ulang minimal sekali saja. Sekali membaca ulang pun sudah bisa mengurangi banyak kesalahan dalam pengetikan. Namun, aku tetap menekankan pada mereka agar jangan takut salah ketik ataupun bahasanya masih ngalor ngidul , yang penting semangat dan niat untuk menulis terus terjaga. Semua perlu proses dan waktu untuk menjadi lebih bagus, termasuk dalam hal menulis.
Minggu Kedua penugasan
"Lah kok sepi banget ini kompasiana, cuma ada satu dua siswa saja yang mem-posting tulisannya!", gerutuku dalam hati sambil mengecek timeline di twitter-ku sekiranya ada tulisan baru mereka. Kebiasaan baru memang sulit dibentuk pada awalnya, namun aku tidak mau menyerah begitu saja. Aku iming-imingi lagi mereka dengan cuitanku di twitter. Kujanjikan untuk memberi mereka Buku The Power of Habit atau bisa ditukar dengan uang Rp100 ribu jika tulisan mereka berhasil masuk Headline Kompasiana. Aku tahu tidak baik selalu memberikan iming-iming hadiah, karena akan membiasakan dengan melihat apa imbalan dibalik tugas yang harus mereka lakukan. Mungkin mereka semula banyak mem-posting artikel demi mendapatkan hadiah itu, namun tanpa mereka sadari, mereka telah membentuk sebuah kebiasaan baru, yang sedikit demi sedikit terprogram dalam otak mereka. Dan manakala tidak ada lagi iming-iming hadiah untuk menulis, mereka menemukan kepuasaan tersendiri dengan menulis, entah itu dari banyaknya pembaca, dari komentar positif, atau terciptanya perasaan eksistensi mereka diakui karena tulisan-tulisannya bermanfaat bagi orang lain. Akhirnya kalaupun ada hadiah, itu hanya efek samping dari pencapaian kepuasaan pribadi mereka. Kepuasan-kepuasan pribadi itulah yang dinamakan proses 'mengidam' yang mampu menggerakkan kebiasaan menulis bahkan tanpa iming-iming hadiah sekalipun.
Deadline Penugasan
Tanggal 18 November kemarin adalah akhir dari penugasan menulis di Kompasiana. Ternyata sampai deadline pun, belum ada artikel mereka yang berhasil tembus Headline Kompasiana meskipun ada satu siswa yang pembacanya sampai ribuan. Pada hari itu pula saya iseng menyebar kuesioner kepada mereka tentang penugasan menulis. Siswa yang saya ampu jumlahnya ada 55 siswa yang terbagi dalam dua kelas. Dari hasil kuesioner, seluruh siswa menyatakan bahwa penugasan di Kompasiana ini bermanfaat. 73 % dari mereka mengganggap penugasan ini sesuatu yang menarik. Dengan menganggap bahwa penugasan ini bermanfaat dan menarik, tak heran jika 91 % dari mereka menggap penugasan ini bukanlah sebagai beban dalam arti lain mayoritas mereka mengerjakannya dengan enjoy. Efek dari penugasan ini ternyata sangat positif untuk merangsang minat menulis mereka, terbukti 85% siswa ingin terus mem-posting tulisan mereka di kompasiana meskipun penugasan telah berakhir.
[caption id="attachment_376670" align="aligncenter" width="300" caption="Kuesioner Penugasan Menulis (dok. pribadi)"]
[/caption]
Yang di luar ekspektasiku adalah bahwa tidak ada satu pun siswa yang motivasi utamanya karena hadiah, dan hanya empat siswa yang motivasi utamanya karena menginginkan nilai dari saya, selebihnya atau 93 % diantara mereka motivasi utama menulis di kompasiana ada yang sekedar ingin menyalurkan bakat dan minat, berbagi informasi dan pengalaman, mengisi waktu luang, menyalurkan ide sampai dengan mengasah kemampuan menulis. Ternyata pikiran awalku bahwa hadiah mampu menjadi motivasi utama mereka terpatahkan dengan hasil kuesioner ini. "Atau jangan-jangan mereka jaim atau hadiahnya kurang gede? Ah, positive thinking aja lah.... !", pikirku saat itu.
Uniknya hanya 8 orang yang merasa punya bakat menulis, selebihnya 47 orang menyatakan ragu-ragu ataupun tidak punya bakat menulis, padahal sebagian besar tulisan mereka unik-unik dan menarik. Hal itu menunjukkan mereka belum percaya diri dalam menulis, namun aku yakin seiring berjalannya waktu, mereka akan semakin percaya diri dalam menulis.
Ternyata ini yang bikin iming-iming hadiahku nggak 'laku'. 78% diantara mereka merasa bangga ketika artikelnya dibaca banyak orang dan kebanggaan itu memotivasi mereka untuk terus menulis. Mereka merasa puas bisa mengungkapkan isi pikiran dan berbagi informasi bermanfaat bagi orang lain. Plus Kabar baiknya 78% dari mereka ingin menjadikan menulis sebagai sebuah kebiasaan. Yang luar biasa mereka menyatakan jika sudah punya kebiasaan menulis, 80% siswa berniat menularkan kebiasaan itu kepada orang lain. Terakhir 71% siswa ingin ada sebuah klub menulis di kampus, yang sementara ini memang belum ada.
Melihat data-data kuantitatif di atas memang bikin pusing, namun setidaknya saya bisa tahu, ternyata minat para siswa terhadap tulis menulis sangat besar, tinggal kita sebagai pengajar dituntut untuk terus memelihara minat menulis mereka salah satunya dengan penugasan menulis yang menarik dan kreatif. Dan untuk sementara ini, aku tetap menawarkan hadiah Buku The Power of Habit atau uang Rp100 ribu untuk artikel mereka yang bisa masuk Headline Kompasiana meskipun secara formal penugasan posting artikel ke Kompasiana sudah berakhir. Yah, itung-itung sebagai apresiasi penambah semangat mereka menulis lah, sebelum ada ide liar lagi yang keluar dari ubun-ubunku.
Anak didik akan respekke kita manakala kita bisa menjadi contoh ataupun inspirasi baginya. Terus agar mereka terdorong untuk menulis gimana caranya dong? Ya sebagai guru kita harus gemar menulis. Menulis di blog pribadi, menulis artikel di buletin instansi, menulis modul pelajaran, karya tulis ilmiah sampai dengan menulis di blog keroyokan semacam kompasiana ini selain memberikan sharing pengalaman dan ilmu kepada orang lain, sekiranya jika kita seorang guru, anak-anak didik kita selain bisa mengetahui pemikiran dan pengalaman kita melalui tulisan-tulisan itu, setidaknya mereka mendapat bukti , "O, guruku bisa menulis juga to, nggak hanya cuma bisa nyuruh nulis saja." Kalau orang Jawa bilang itu guru yang SEMBODO, yang artinya dalam hal ini seorang guru dianggap pantas menyuruh anak didiknya menulis manakala guru tersebut memang gemar dan punya kompetensi menulis, tidak hanya pandai menyuruh saja. Sama halnya ketika seorang Bapak menyuruh anaknya gemar membaca, padahal si Bapak itu sendiri nggak suka membaca, bagaimana mungkin si Bapak itu bisa jadi panutan bagi anaknya , yang ada malah anaknya komentar, "Halah, Bapak sendiri nggak suka baca gitu kok nyuruh-nyuruh aku baca buku!"
Kebetulan baru sebulan ini aku menjadi member Kompasiana, itupun gara-garanya pengen ikutan Acara Nongkrong Kompasiana bersama Bank Indonesia di Balikpapan. Awalnya sebagai pantes-pantesan kalau aku punya akun Kompasiana, ku-posting-lah lah satu dua artikel, dan tak kusangka artikelku ada yang menang lomba blog yang diselenggarakan oleh kompasiana dan ada pula yang terpilih menjadi headline. Dengan pencapaian-pencapaian kecil itu membuat semangat menulisku 'bangkit dari kubur' dan semakin membuatku percaya diri untuk memotivasi anak-anak didikku untuk terus menulis, yang dimulai dari berani mem-posting tulisan mereka di Kompasiana.
Bukan sekedar penugasan menulis di Kompasiana, aku juga ingin membuat kebiasaan menulis menjadi suatu budaya dan bagian dari gaya hidup mereka, dan aku ingin membuat mereka sampai belum merasa afdol jika dalam satu minggu itu nggak membuat minimal satu tulisan. Seperti kata Charless Duhigg dalam bukunya The Power of Habit, dimana mendisiplinkan diri dalam kebiasaan-kebiasaan yang baik akan menular ke kebiasaan baik lainnya. Jadi dimulai terbiasa menulis akan tercipta kebiasaan-kebiasaan baik lainnya.
Penugasan itu bukan hanya untuk menanamkan budaya menulis kepada anak didikku melainkan juga sebagai penyemangat bagiku untuk terus menulis. Wajar, kadang-kadang tidak ada motivasi menulis, bahkan bisa berminggu-minggu tidak menulis, namun dengan melihat meriahnya tulisan mereka di Kompasiana aku pun juga turut larut di dalamnya. Semangat menulis anak-anak didikku, mendorongku bersemangat kembali membuat tulisan-tulisan baru. Mosok anak didiknya semangat menulis, gurunya nggak.
Jika tiba saatnya anak-anak didikku itu membuat laporan tugas akhir, skripsi, maupun tesis nantinya aku yakin mereka tidak terkena "virus malas menulis". Sering kita dengar seorang mahasiswa menyelesaikan skripsi lebih dari satu tahun padahal data-datanya sudah lengkap, tinggal menuangkannya dalam bentuk tulisan, namun menurut mereka susahnya bukan main. Tentu jika sudah terbiasa menulis sejak dini, akan lebih mudah membuat tulisan dalam bentuk karya tulis ilmiah sekali pun.
Bermula dari gurunya yang gemar menulis, anak-anak didiknya pun bakal ketularan hobi menulis. Dengan tulisan, sang waktu dan usia kita pun tidak mampu melenyapkan pemikiran, ilmu, dan pengalaman kita yang berguna bagi orang lain. Tidak kita bawa sendiri sampai ke liang lahat dan musnah percuma begitu saja, melainkan dengan tulisan hidup kita akan lebih bermakna bagi orang lain.
Bermula dari kebiasaan menulis di Kompasiana, suatu saat nanti tidak mustahil aku melihat anak-anak didikku menjadi penulis hebat yang karyanya bermanfaat bagi banyak umat dan abadi sepanjang masa.
Tetaplah santun dalam beropini, karena tulisan kita adalah cermin diri kita. Bisa membawa manfaat, bisa pula membawa mudarat jika keberadaannya menimbulkan keresahan dan kebencian.
TIPS: Bagi guru-guru yang ingin senantiasa bersemangat menulis, salah satu tipsnya rajin-rajinlah ikut Blog Competition seperti halnya yang saat ini sedang diadakan oleh Tanoto Foundation bekerja sama dengan Kompasiana. Menang ataupun tidak menang, yang penting kita sudah bersemangat menulis. Syukur-syukur kalau menang, dijamin semangat menulis pasti tambah meledak-ledak.
#Ayo Budayakan Menulis.
Referensi:
Buku 'The Power of Habit' Dahsyatnya Kebiasaan. Karangan Charless Duhigg. Terbitan Kepustakaan Populer Gramedia Tahun 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H