[caption id="attachment_376806" align="aligncenter" width="300" caption="Acara Nangkring BI dan Kompasiana di Balikpapan (dok. pribadi)"][/caption]
RUSH, andai sudah ada twitter zaman itu, hashtag #rush pasti sudah jadi trending topic dunia.
Aku masih ingat ketika itu masih kelas dua SMP di sebuah kota kecil, Pati Jawa Tengah, sekitar awal tahun 1998 saat dimana-mana terjadi kabar rush. Aku masih bingung apa itu rush. Ternyata penarikan uang tunai secara besar-besaran oleh nasabah perbankan dalam skala yang masif. Setahuku saat itu terjadi rush besar-besaran di bank-bank swasta, terutama BCA yang merupakan bank swasta terbesar di Indonesia. Tidak hanya di teller bank, antrean panjang nasabah pun terjadi di ATM-ATM.
BCA Cabang Kota Pati pun tak luput dari aksi rush. Aku sih tenang-tenang saja seolah nggak terjadi apa-apa, "Aneh saja orang-orang itu, takut amat bank-nya bankrut, untung uangku cuma sedikit di BPD Jateng, pasti aman lah!", pikirku lugu saat itu. Di bank-bank pemerintah lainnya pun semacam BRI, BNI '46 yang ada di kotaku, seperti tidak terkena dampak rush seperti halnya BCA. Entah karena nasabahnya terlalu yakin bahwa uangnya akan dijamin 100% keamanannya oleh bank-bank pemerintah itu, atau duit simpanannya yang nggak seberapa sehingga nggak panik seperti nasabah BCA? Aku termasuk alasan yang kedua itu, hiks!
"Hah, Dollar tembus 17ribu Rupiah?", gumamku seolah tak percaya melihat berita di televisi. Padahal beberapa bulan sebelumnya Dollar masih sekitar 2500-an Rupiah. Aku tidak bisa membayangkan perusahaan-perusahaan besar yang punya utang dalam bentuk dollar, nilai utangnya naik sekitar 6 kali lipat. WOW Luar Biasa, bisa-bisa pemiliknya gantung diri di Monas, hi...... Tapi, alih-alih gantung diri, eh malah melarikan dana BLBI ke luar negeri, PARAHHH Bin Amoral...!
Lah ngapain aja Bank Indonesia saat itu? Ini pertanyaan sinis yang sering dilontarkan oleh masyarakat awam. Jelas Bank Indonesia sebagai regulator perbankan dan penentu kebijakan moneter tentunya tidak mau gonjang-ganjing sistem keuangan nasional saat itu terjadi berlarut-larut. Bank Indonesia bertahap mulai menaikkan BI rate-nya sampai puncaknya pada Bulan Agustus 1998 Sertifikat Bank Indonesia bertenor 1 bulan mempunyai bunga 70,44%, WOW Gede Bingitsss....! Hal ini diperlukan tentunya untuk menanggulangi rush dengan menghimpun sebesar-besarnya dana masyarakat, sehingga tidak banyak uang yang beredar di masyarakat dan pada akhirnya inflasi yang gila-gilaan bisa dikendalikan. Ternyata iming-iming BUNGA SUPER TINGGI oleh Bank Indonesia saat itu sangat efektif untuk menghimpun dana masyarakat. Memang masyarakat kita paling mudah dipancing pakai iming-iming, ha ha....
[caption id="attachment_376807" align="aligncenter" width="300" caption="Lobby Museum Bank Indonesia (dok.pribadi)"]
[/caption]
Aku pun ingat tahun 1998 itu, Ibu memasukkan uang tabungannya ditambah uang tabunganku dan uang tabungan kakak yang nggak seberapa ke deposito BNI '46 dengan bunga sekitar 50%. Siapa yang nggak tergiur...??? Lumayan bunganya bisa nambah uang jajan, padahal sebenarnya saat itu uang kami nilai riilnya tergerus oleh dollar AS (Kayaknya Ibu masih nggak sadar sampai saat ini, ha ha.....). Masih bersyukurlah, masih sehat walafiat nggak sampai makan bonggol pisang karena krisis 1998, hiks!
Inflasi tahun 1998 seperti yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik mencapai rekornya sebesar 77,63% namun pada tahun 1999 inflasi tahunan langsung terjun bebas ke angka 2,01%. Dua Jempol buat BI untuk kebijakan saat itu. Itu salah satu bukti peranan Bank Indonesia dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan di negeri ini.
Nggak hanya BI, masyarakat juga punya andil lho...... Ternyata di tengah-tengah krisis kepercayaan yang terjadi, masyarakat masih percaya terhadap pemerintah akan nasib uangnya di Bank, padahal saat itu belum ada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) lho. Coba kalau masyarakat tidak percaya bahwa bank-bank benar-benar akan memberikan bunga tinggi dan apatis terhadap himbauan pemerintah agar tetap percaya dengan bank, pasti bank-bank akan kolaps karena kehabisan likuiditas, inflasi akan semakin liar, dan ambruklah perekonomian kita.
Aksi rush pun berakhir.......
Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia merupakan tonggak bersejarah bagi Bank Indonesia sebagai lembaga independen yang terbebas dari intervensi dari pihak manapun, termasuk Pemerintah. Hal ini merupakan tindak lanjut dari banyaknya intervensi Pemerintah yang ditekan oleh asing sehingga BI 'terpaksa' mengeluarkan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) bernilai ratusan triliun yang bukannya berhasil menyehatkan perbankan nasional, malah dananya banyak diselewengkan oleh para pemilik bank. Kasusnya pun sampai saat ini belum tuntas sepenuhnya. Belajar dari kasus itu, dengan adanya UU tersebut BI bisa lebih fokus dan independen dalam membuat kebijakan yang terbaik demi kestabilan sistem keuangan negara yang ditopang oleh sehatnya kondisi perbankan nasional.
[caption id="attachment_376808" align="aligncenter" width="300" caption="Halaman Tengah Museum Bank Indonesia (dok.pribadi)"]
[/caption]
*******
Tahun 2008 peran Bank Indonesia sebagai punggawa stabilitas sistem keuangan di negeri ini diuji kembali. Lembaga-lembaga raksasa finansial dunia seperti Citigroup, Merril Linch, Morgan Stanley, sampai dengan Lehman Brothers bertumbangan sebagai akibat dampak domino dari subprime mortgage di Amerika Serikat.
Berkaca pada Krisis 1997-1998, Bank Indonesia pasca reformasi menerapkan kebijakan untuk mencegah perbankan nasional dari risiko yang tinggi terutama yang berasal dari luar negeri. Salah satu kebijakannya adalah melarang bank-bank nasional untuk membeli surat utang berisiko tinggi dari luar negeri seperti yang underlying asset-nya berupa subprime mortgage meskipun peringkat utang yang diberikan lembaga-lembaga pemeringkat utang ternama dunia seperti Fitch, Moody's, dan S&P memberikan rating sangat bagus.
Kebijakan Bank Indonesia ini ternyata sangat efektif dan mendapat apreasiasi dari berbagai pihak, dimana masyarakat awam kurang tahu mengenai hal ini, melainkan hanya terfokus dan tertarik pada skandal Bank Century. Bayangkan jika Bank Indonesia tidak membuat kebijakan yang preventif jauh-jauh hari sebelum tahun 2008, dapat dipastikan bank-bank di Indonesia yang sedang kelebihan likuiditas akan banyak menginvestasikan dananya pada surat utang-surat utang asing terutama yang underlying asset-nya berupa subprime mortgage dengan imbal hasil yang menarik plus semacam 'jaminan' dari lembaga pemeringkat surat utang kelas dunia yang menyatakan surat utang tersebut tidak hanya memenuhi syarat minimal investment grade melainkan peringkatnya sampai ada yang AAA (Triple A), yang berarti bagus sekali dan dianggap risikonya sangat kecil. Kalau hal itu terjadi, bisa jadi perbankan nasional kolaps untuk kedua kalinya setelah tahun 1998, bahkan bisa jauh lebih parah.
Peringkat Triple A untuk sebuah surat utang berbasis Subprime Mortgage merupakan keanehan tersendiri yang berhasil 'diendus' oleh Bank Indonesia. Bagaimana bisa subprime mortgage yang merupakan kredit berisiko tinggi dengan debiturnya masyarakat bawah yang sangat rentan terpapar risiko kenaikan bunga pinjaman alias potensi gagal bayarnya sangat besar, kok bisa-bisanya mendapat peringkat utang terbaik (AAA). BI ternyata cukup cerdas menyikapi hal tersebut, dimana pada saat bank-bank terbesar di negara-negara maju kolaps akibat membeli surat utang berbasis subprime mortgage dan mereka menjadi korban karena terlalu percaya terhadap lembaga pemeringkat utang bereputasi dunia yang seakan-akan sebagai malaikat penentu laku tidaknya sebuah surat utang di pasaran dunia sehingga mengabaikan prinsip-prinsip manajemen risiko, eh Bank-Bank di Indonesia malah berhasil mencetak laba triliunan rupiah. Dunia pun terpana dengan Indonesia, secara fundamental makro ekonomi Indonesia saat itu cukup kuat ditopang sektor perbankan yang kokoh akan berbagai risiko. Ternyata krisis 1997-1998 merupakan pelajaran yang sangat berharga, dan BI berhasil belajar dari pengalaman pahit 1998 itu, hasilnya pun terlihat sampai saat ini. Indonesia lolos dari mimpi buruk krisis 2008 yang digadang-gadang sebagai krisis finansial dunia terparah sejak Great Depression Dekade 30-an. Pasar modal saja yang terpuruk saat itu, hanya karena sentimen global dan penarikan dana investor asing dari pasar modal Indonesia, padahal fundamental perusahaan-perusahaan di Indonesia saat itu sedang bagus-bagusnya. Namun keterpurukan Pasar Modal Indonesia saat itu tidak sampai mengganggu kestabilan sistem keuangan negara ini. Masyarakat awam pun tidak sadar kalau tahun 2008 dunia mengalami krisis finansial yang lebih parah daripada tahun 1998, karena kondusifnya perekonomian kita saat itu.
[caption id="attachment_376809" align="aligncenter" width="300" caption="Uang Gulden Belanda Koleksi Museum BI (dok.pribadi)"]
[/caption]
*****
Tahun 1998 sudah lewat lebih dari 15 tahun lalu, Tahun 2008 telah lewat 6 tahun yang lalu, Bagaimana kondisi sistem keuangan negara kita saat ini? BI rate sebagai acuan penetapan suku bunga deposito maupun kredit perbankan nasional mengalami kenaikan sebesar 175 basis poin antara bulan Mei 2013 sampai dengan bulan November 2013, dari semula 5,75% menjadi 7,50% setelah lebih dari satu tahun lamanya BI rate bertahan di posisi terendahnya pada angka 5,75% (update: Tanggal 18 November 2014 BI menaikkan kembali BI Rate sebesar 25 basis poin menjadi 7,75%). Hal ini tentunya membuat semakin menarik suku bunga deposito, di sisi lain suku bunga kredit tidak seksi lagi.
Di satu sisi BI juga tetap memperhatikan besaran bunga kredit perbankan agar tidak terlampau tinggi sehingga sektor riil tetap bisa berjalan baik, juga tidak terlalu rendah untuk menahan laju konsumsi masyarakat agar inflasi tetap terkendali dan neraca perdagangan kita tidak negatif karena konsumsi barang impor kita yang semakin tinggi dari tahun ke tahun. Terus apa hubungannya neraca perdagangan dengan BI, bukannya itu domain Kementerian Perdagangan? Ya jelas ada kelesss..... Kalau neraca perdagangan kita negatif alias nilai impor lebih besar daripada ekspor, jelas permintaan dollar oleh para importir akan lebih besar daripada penerimaan dollar dari para eksportir, kalau sudah begitu hukum penawaran dan permintaan berlaku, yang imbasnya tentunya nilai tukar dollar akan naik terhadap Rupiah. Nah di situlah peran BI sebagai penjaga kestabilan nilai tukar Rupiah, entah itu dengan intervensi pasar mengguyurkan cadangan dollarnya ataupun kebijakan moneter lainnya agar Rupiah tidak anjlok terlalu dalam ataupun menguat terlalu signifikan terhadap Dollar Amerika dan mata uang asing lainnya. Dengan stabilnya nilai tukar rupiah semua pihak pasti akan senang, kecuali para spekulan mata uang yang lebih senang kalau Rupiah gonjang-ganjing kayak Perang Baratayudha.
[caption id="attachment_376810" align="aligncenter" width="300" caption="Uang Kertas Rupiah Zaman Jepang Koleksi Museum BI (dok. pribadi)"] [/caption]
[caption id="attachment_376817" align="aligncenter" width="300" caption="Uang Kertas 10 Rupiah Zaman Jepang Koleksi Museum BI (dok. pribadi)"]
[/caption]
Era bunga rendah antara tahun 2010 sampai dengan trimester I tahun 2013 membuat masyarakat kita beramai-ramai mengambil kredit konsumsi terutama KPR. Booming KPR selama hampir 3 tahun terakhir memang menjadikan harga-harga properti bergerak liar. Ketika Bank Indonesia menaikkan BI rate tentunya akan menaikkan pula suku bunga KPR perbankan nasional. Hal ini dilakukan untuk menahan laju pertumbuhan kredit perumahan yang pada akhirnya pergerakan liar harga properti bisa ditahan. Namun, di sisi debitur KPR dalam hal ini masyarakat, jelas naiknya BI rate ini dirasakan memberatkan apalagi yang mengambil KPR dengan suku bunga mengambang. Sumpah serapah akan pengaruh kenaikan BI rate ini marak di media online. Aku juga sempat geram dengan kebijakan BI ini, "Gila seenak udelnya aja BI naikin BI rate, nggak mikir apa masyarakat kecil seperti aku yang paling kena dampaknya!", pikirku saat itu. Bagaimana tidak, cicilan KPR-ku naik 1 juta lebih menjadi sekitar Rp3,7 juta per bulannya. Tapi aku mulai sadar dengan kebijakan BI ini, yang namanya kebijakan memang tidak bisa berpihak hanya kepada satu pihak saja. Tentunya Bank Indonesia sudah cukup bijak dengan menahan BI rate di angka 7,50 % selama setahun terakhir ini. Coba bayangkan jika Bank Indonesia egois dengan menaikkan BI rate seenaknya, bisa-bisa bukannya stabilitas keuangan yang terjadi malahan bisa terjadi banyak gagal bayar kredit perumahan seperti yang terjadi di Amerika tahun 2008 lalu.
[caption id="attachment_376811" align="aligncenter" width="300" caption="Pembangunan Perumahan di Tangerang Selatan (dok. pribadi)"]
[/caption]
Kredit properti alias KPR yang tumbuh terlalu cepat dalam skala yang masif, selain disiasati oleh BI dengan menaikkan BI rate, juga dengan aturan mengenai LTV (Loan To Value) Ratio, yaitu Rasio antara pembiayaan oleh perbankan dengan besaran uang muka (down payment). Kebijakan ini ditempuh BI bukan semata-mata agar risiko kredit macet perbankan penyalur KPR menjadi lebih kecil, melainkan juga harga rumah tidak bergerak terlalu liar. Hal ini bisa dianggap sebagai tanggung jawab sosial dari BI agar Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) masih bisa memiliki sebuah rumah dengan harga yang masih wajar. Saya sulit membayangkan jika BI tidak turun tangan dengan menaikkan BI rate dan menetapkan LTV, pasti harga rumah yang sudah tinggi saat ini akan semakin tinggi lagi dalam waktu yang relatif singkat, sehingga keinginan masyarakat menengah ke bawah untuk memiliki sebuah rumah cuma sekedar mimpi belaka. Kenyataan di lapangan terjadi perlambatan laju kenaikan harga rumah karena kebijakan ini, meskipun masih banyak pengembang yang mencari celah untuk mengakali aturan LTV tersebut. Memang sebenarnya BI tidak bisa berjalan sendiri untuk mencegah liarnya harga rumah, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan Khususnya Direktorat Jenderal Pajak juga harus mengeluarkan aturan tentang PPN atas penjualan properti yang sekiranya dapat menghambat para spekulan rumah yang gemar memborong rumah untuk 'investasi' saja, bukan untuk ditempati. Saya tidak habis pikir bagaimana seorang spekulan rumah bisa punya 5 -10 KPR, selain menjadi biang liarnya harga rumah, mereka juga nasabah dengan potensi kredit macet yang relatif besar dari suatu bank yang keberadaannya memang harus segera dibatasi.
Potensi gagal bayar pada masyarakat kita, tidak semata-mata berpotensi menimpa debitur KPR saja, melainkan juga para pemegang kartu kredit. Masih ingat tidak dengan Film Warkop awal dekade 90-an. Di situ si Kasino sedang pura-pura akting sebagai pengemis, tiba-tiba dia dikejutkan dengan kedatangan Satpol PP dan berusaha menangkapnya. Dasar Kasino punya seribu satu cara untuk berkelit, "Bapak nggak lihat nih, apa ini!" kata kasino ke komandan Satpol PP sambil membuka dompetnya. "Ini kartu ANTI MISKIN, tidak mungkin pengemis punya kartu ini!", seru Kasino sambil menunjukkan bejibun kartu kredit di dalam dompetnya. Akhirnya Komandan Satpol PP percaya dengan argumen si Kasino, dan melepaskannya.
Pada zaman itu mempunyai kartu kredit memang sebagai salah satu simbol prestise, karena yang punya masih relatif sedikit. Berbeda dengan zaman sekarang, penetrasi kartu kredit sudah sedemikian rupa merajalela. Di mal-mal, di restoran banyak yang menawarkan apply kartu kredit dengan mudah ditambah berbagai iming-iming yang menggiurkan. Satu orang bisa punya lebih dari 5 kartu kredit, padahal pendapatannya tidak sampai Rp10 juta per bulannya. Tentunya profil orang seperti itu punya risiko tinggi mengalami gagal bayar kartu kredit. Siapa sih yang tahan dengan berbagai promo kartu kredit di berbagai mal, restoran, dengan cicilan 0% bahkan tidak segan diberi tambahan cashback. Aku juga mau tuh.....! Nah, di sinilah peran BI diperlukan agar tidak terjadi gagal bayar yang masif sehingga mengganggu likuiditas perbankan yang pada akhirnya mengganggu kestabilan sistem keuangan negara ini.