Lihat ke Halaman Asli

Seven Days in Bali; Sebuah Orkestra Alam di El Kabron

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13406031391238341599

[caption id="attachment_190489" align="aligncenter" width="548" caption="Surya tenggelam, menenggelamkan kami semua"][/caption]

El Kabron merupakan tempat terakhir di hari keempat dalam perjalanan “Seven Days in Bali” yang saya singgahi. Posisinya tidak jauh dari Pantai Padang Padang. Untuk bisa menemukannya, mobil harus melambat di sepanjang Jalan Uluwatu, mata harus jeli melihat ke kiri mencari papan jalan bertuliskan “Jalan Labuhan Sait.” Mobil belok kiri ke jalan tersebut sampai bertemu Jalan Cemongkak. Ambil Jalan Cemongkak dan ikutilah papan petunjuk hingga pada akhirnya badan berdiri di tepi tebing tinggi. Di bawahnya sebongkah lautan biru dengan lidahnya yang membusa, menjilati kekarangan hingga melenguh-lenguh pelan. Selagi busa lautan menjilati karang dengan segala kelembutan napsunya, matahari di lengkungan langit terendah berbenah diri, menjelitakan wajahnya dengan taburan emas setengah matang. Sementara kepingan-kepingan awan berbaris rapih. Di sisi-sisinya terselip instalasi bintang dan bidadari membulat sempurna menerangi sekeping awan yang menghalanginya. Sepertinya, orkestra melenyapkan dirinya matahari, sore ini, akan semegah ilustrasi surealis di atas kanvas yang tidak bisa dijelaskan dengan seluatan tinta.

Ini layaknya merebahkan tubuh di negeri imajiner, yang ketika tersadar segalanya adalah sejembut khayalan. Ini bukan halusinasi atas pengaruh jamur yang lahir dari kotoran sapi. Ini sebuah kesahihan orkestra yang menyihir seluruh pengunjung El Kabron. Mereka seolah-olah terdampar di putihnya pasir, merebah bergeming di atas sofa lembut, membatu di sisi tebing. Sesekali ada yang mengecap seksinya wine dan liarnya cocktail. Sesekali pun ada yang melumat bibir pasangannya. Ini mungkin tempat dimana adam-adam menaburkan benih cinta untuk dipanen dalam kekalutan jiwa ketika malam tiba.

Ini adalah hidangan senja dengan sejuta kesempurnannya. Kami semua nyaris mabuk kepayang dibuatnya. Namun ketibaan gelapnya malam menyadarkan, bahwa segala keindahan itu tidak bisa dinikmati berlama-lama. Sebab esok, lusa dan seterusnya, kita semua akan selalu merindukannya, dan kembali menikmatinya ketika waktunya rindu padanya meledak.

Seusainya orkestra senja, kami semua menumpahkan seisi gelas ke dalam tenggorokan. Kemudian merebahkan diri, menatap kejelasan konstelasi bintang yang bertaburan dan mulailah menceracau kehidupan bintang, alam semesta dan isinya sambil diiringi dua musisi El Kabron, yang membawakan lagu-lagu romantis pengantar racauan kami.

Saya, @dwiyuniartid dan @megalomankoe menikmati menit-menit terakhir di El Kabron, ketika bidadari malam di atas langit semakin terang. Dan, setelah semua energi untuk bangkit terkumpul, kami semua berdiri gontai, sangat enggan meninggalkan kemalas-malasannya El Kabron. Namun esok, hari kelima dalam “Seven Days in Bali” sudah menunggu untuk habiskan kembali. Kami pun akhirnya mampu mengangkat tubuh dan melajukan kendaraan di jalanan temaram yang sepi menuju Ubud.

Selamat malam dan selamat istirahat.

[caption id="attachment_190491" align="aligncenter" width="610" caption="Kolaborasi senja yang rumit"]

13406036991507723480

[/caption] [caption id="attachment_190490" align="aligncenter" width="658" caption="Kami semua memanen taburan bintang"]

13406032601026891476

[/caption]

“sonofmountmalang”




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline