Pada rabu 29 Maret 2023 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat mengundang Menkopolhukan sekaligus Ketua Komite Nasional PPTPPU yaitu Mahfud MD untuk mengklarifikasi pernyataanya terkait temuan transaksi sebesar Rp. 349 Triliun yang diduga terkait tindak pidana korupsi. Namun yang menarik dalam sidang ini adalah suasana sidang dan pernyataan-pernyataan kontroversial yang diungkapkan oleh anggota komisi III DPR tersebut.
Salah satu ungkapan dari anggota komisi III DPR yakni dari Fraksi PDI-P Bambang Pacul, ketika Mahfud berbicara tentang pengesahan RUU perampasan aset serta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. Melansir dari tayangan Sidang tersebut, Mahfud MD membahas tentang RUU tersebut akan tetapi Bambang Pacul mengatakan jika anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang ada dalam sidang tersebut nurut pada bosnya masing-masing.
Bos masing-masing yang dimaksudkan menurut analisa adalah Ketua Partai, karena jika Bos yang dimaksud adalah Rakyat maka tidak akan mengatakan Bos Masing-masing. Hal ini mengartikan bahwasannya setiap anggota DPR mempunyai bos yang berbeda. Lebih lanjut Bambang Pacul meyebutkan bahwa untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal harus menunggu perintah dari Ibu (Ketua Partai).
Lalu sebenarnya DPR mewakili siapa? Jika dilihat dari pengertiannya maka Dewan Perwakilan Rakyat harusnya bisa mewakili rakyat atau setidaknya ketika membuat keputusan, mereka mendengar aspirasi rakyat. Jika yang disampaikan Bambang Pacul merupakan representasi dari DPR RI maka sudah jelas apa yang dilakukan sudah keluar dari jalur.
Jika setiap anggota DPR atau DPR ketika membuat kebijakan harus berdasar perintah ketua partai, lalu untuk apa mereka dipilih oleh rakyat? Hal ini bisa merusak kepercayaan publik karena masyarakat tidak tahu jika suatu kebijakan atau aturan yang dikeluarkan adalah order dari para elite politik.
Salah satu tugas dan wewenang anggota DPR adalah mengawasi dan mewakili rakyat terhadap jalannya pemerintahan, namun dalam fenomena yang terjadi saat ini DPR malah dianggap tidak mewakili masyarakat. Bagaimana tidak, ketika DPR mengundang Mahfud MD kemudian DPR seolah ingin menghalangi jalannya penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi, sehingga masyarakat heran dengan kelakuan DPR yang tidak berpihak pada masyarakat.
Dari banyaknya media online serta postingan video yang membahas rapat kerja antara DPR dan Mahfud MD, mayoritas bahkan hampir semua kolom komentar dipenuhi dengan pujian kepada Mahfud MD yang berusaha mengungkap tindak pidana korupsi tersebut. Berbanding terbalik dengan yang katanya perwakilan rakyat, malah berusaha menghalangi pengungkapan kasus ini.
kemudian dengan adanya pernyataan Bambang Pacul tersebut maka alangkah lebih relevannya jika Dewan Perwakilan Rakyat digantikan dengan Dewan Perwakilan Partai, agar kaidah nama dan implementasi sejalan dengan realita dilapangan. Namun jika ini pernyataan yang keliru, maka mereka perlu membuktikan jika DPR ini benar-benar berpihak dan mewakili Rakyat tidak mewakili para elit dan oligarki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H