Lihat ke Halaman Asli

Benarkah Indonesia Menjadi Salah Satu Bangsa yang Peradabannya akan Punah?

Diperbarui: 29 Juni 2016   03:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

JARRED Diamond, adalah seorang penulis yang disebutkan memeroleh Pulitzer, penghargaan bergengsi untuk karya jurnalistik. Di dalam sebuah tulisannya, ia menjelaskan, bahwa ada pendapat yang menjelaskan, ketika ingin menghancurkan peradaban sebuah bangsa, ada 3 cara untuk melakukannya.

Adalah dengan menghancurkan tatanan keluarga, menghancurkan pendidikan dan menghancurkan keteladanan dari para tokoh/figur khususnya kalangan agamawan. Masih menurut Jarred, salah satu cara untuk menghancurkan keluar adalah dengan mengikis peranan ibu-ibu agar sibuk dengan dunia luar, dan menyerahkan urusan rumah tangga kepada pembantu. Dengan dalih, memilih menjadi perempuan karir ketimbang ibu rumah tangga, kemudian dalih hak asasi serta emansipasi perempuan.

Untuk pendidikan dihancurkan dengan mengabaikan peran pengajar - pendidik. Mereka para pengajar dikurangi penghargaannya, kemudian digiring menjadi pendidik dengan beragam remeh-temeh yang bersifat administratif. Kondisi ini menyebabkan tujuan materi menjadi prioritas pengajar, sehingga fungsi utamanya sebagai pendidik-terabaikan, sehingga semua peserta didik meremehkan.

Penghancuran keteladanan para tokoh masyarakat – khususnya tokoh agama yakni dengan cara melibatkan mereka ke dalam politik praktis – dan lagi-lagi orientasinya materi dan jabatan semata. Tidak ada lagi orang pintar yang patut dipercaya. Tidak ada lagi orang yang mendengarkan perkataannya, apalagi menjadikan mereka teladan.

Pertanyaan kemudiaan yang diajukan Jarred, jika ibu rumah tangga hilang, para pengajar-pendidikan lenyap keikhlasannya, para tokoh masyarakat dan agama yang menjadi panutan sirna, maka siapa yang mempertahankan nilai-nilai luhur generasi baru?

Inilah yang oleh Jarred dianggap awal kehancuran sebenarnya. “Di saat itu, kehancuran bangsa bisa terjadi. Semuanya tidak memiliki arti, jika rapuh, lemah tanpa jiwa yang tangguh,” demikian Jarred. Atas pendapat-pendapat inilah, Jarred pernah mengatakan, bahwa negara seperti: Columbia, Filipina bahkan Indonesia merupakan peradaban yang sebentar lagi punah.

Pendapat Jarred ini bisa saja benar adanya, alangkah bagusnya jika pendapat itu menjadi proses perenungan kita semua. Pandangan yang mirip-mirip juga pernah dikemukakan Gearoid O Tuathhail & Simon Dalby pada 2002 lalu. Mereka mengkaji perkembangan peradaban menggunakan kacamata geopolitik. Menurut keduanya, negara-negara adidaya masih berusaha mendominasi.

Mereka lebih ekstrim, upaya penghancuran peradaban dilakukan dengan sejumlah skenario yang bertajuk de-teritorial. Beberapa sub skenario de-teritorial itu yang diungkapkan adalah dengan memanfaatkan perkembangan teknologi. Kemajuan teknologi yang pemanfaatannya bisa positif, belakangan justru dimanfaatkan untuk kebebasan propaganda – opini dengan tujuan menghegemoni budaya. Bicara budaya bicara peradaban. 

Di bidang pendidikan, negara dipaksa untuk menerapkan “pasar bebas pendidikan.” Caranya dengan menyusupkan kepentingan kapital pada instrumen kebijakan. Inilah yang dikatakan sebagai liberalisasi pendidikan. Di luar tema besar de-teritorial tadi, Gearoid dan Simon menyebut pula “skema the end of history.” Sebuah skenario dengan target membumihanguskan budaya-budaya lokal dengan pola menerapkan ekonomi pasar bebas dimana ada keterbukaan atas investasi asing, dimana negara tak boleh dominan dalam komposisi kepemilikan saham. Penduduk negara tersebut berperilaku konsumtif.

Adalagi “the clash of civilitations” yang sempat juga disinggung oleh Samuel Huntington. Strategi ini bertujuan mengubah ideologi mengatasnamakan kebebasan demokrasi dan civil society. Kenyataannya yang terjadi sekarang, civil society justru membatasi peran warga terhadap negaranya atau daerahnya. Seperti sistem politik yang justru tidak menumbuhkan kesadaran politik. Politik dibangun atas dasar ikatan seberapa besar material yang diberikan.

Terakhir adalah “the coming anarchy” – dengan membuat banyak instrumen untuk menciptakan kegaduhan-kegaduhan. Fakta-fakta yang terjadi di lapangan, instrumen SARA, lahan, industri, terorisme  dan phobia-phobia lainnya dipakai membuat kegaduhan itu. Sekali lagi, ini menjadi renungan kita bersama.

(Pernah dimuat situs www.berkata.co.id)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline