Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Tragedi Ulang-Alik Columbia

Diperbarui: 6 Oktober 2015   17:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber foto: (www.usatoday.com)"][/caption]Mimik wajah Profesor Wibowo hari itu begitu serius saat berdiskusi. Sudah cukup lama pertemuan kelas itu. Tapi apa yang dibahasnya, masih relevan dengan kondisi sekarang. Begitu kira-kira.

Ia menceritakan soal harapannya terhadap pemimpin bangsa ini. Harapan tentang konsep kepemimpinan yang tidak mudah lingung, ketika muncul sebuah persoalan. Terlebih ketika masalah yang dihadapi itu sudah masuk kategori krisis. Ya...inti dari semua krisis itu tak lain akarnya karena krisis kepemimpinan.

Contoh satu kasus tentang begitu bahayanya sebuah krisis kepemimpinan. Tragedi Ulang Alik Colombia yang diceritakannya saat itu. Tepatnya insiden itu terjadi pada 1 Februari 2006 silam. Pesawat ulang-alik Colombia dengan tujuh crew masuk kembali ke atmosfir Bumi dan menavigasi ke arah Edward Air Force Base di California.

Misinya tinggal 20 menit dan sesuai rencana. Kembali masuk ke atmosfir adalah tahap membahayakan dari eksplorasi luar angkasa. Pada hari itu ada sesuatu yang salah, tiba-tiba Colombia meledak hancur berkeping-keping. Hasil misi hilang dan para awak terbunuh. Apa yang salah dan mengapa? Pertanyaan itu ditujukan kepada NASA, badan antariksa Amerika Serikat.

Investigasi dilakukan selama tujuh bulan. Dalam waktu yang lumayan lama itu, memberikan hasil. Ada kerusakan di bagian sayap kiri Colombia, sehingga menimbulkan kehilangan kontrol ketika memasuki atmosfir yang menyebabkan pecah dan kepingan. Tetapi, temuan itu hanya merupakan penyebab fisik dari kecelakaan tersebut. Tim investigasi mendeteksi adanya kesalahan organisasional yang memungkinkan kecelakaan.

Disimpulkan bahwa budaya organisasi ikut menjadi penyebab kerusakan fatal pada bagian dinding pelindung sayap. Dalam pandangannya, kecelakaan berakar pada sejarah dan program ulang-alik, termasuk keterbatasan sumber daya, berfluktuasi prioritas, tekanan skedul, dan kurangnya visi atas human space flight.

Ditemukan budaya dan praktik NASA yang mengganggu keamanan, termasuk kepercayaan terhadap sukses masa lalu sebagai pengganti terhadap sound engineering, hambatan organisasional pada komunikasi atas critical safety information, dan ditekan oleh perbedaan pendapat para profesional. Secara khusus investigasi menunjukkan pada sikap yang incompatible dengan organisasi high-risk technology. Lebih berat lagi investigator menyimpulkan bahwa struktur dan proses program ulang-alik, menolak informasi terbaru yang dapat mencegah bencana. 

Mereka dianggap gagal mengembangkan rencana kontijensi sederhana untuk reentry emergency. Mereka meyakinkan, tanpa studi, bahwa tidak ada sesuatu yang dapat dilakukan tentang emergency. Keingintahuan intelektual dan keragu-raguan yang diperlukan solid safety culture hampir tidak ada sama sekali. Dari cerita itu, ditarik pendapat, bahwa ternyata setiap organisasi baik itu yang swasta maupun pemerintahan membutuhkan manajemen krisis. 

Dalam konteks pemerintahan baik di pusat maupun di daerah, hampir semua pemimpin/kepala daerah luput memikirkan tentang manajamen krisis yang misalnya berkaitan dengan kemiskinan, potensi ekonomi kreatif untuk menekan angka pengangguran. Manajemen krisis memiliki benang merah dengan kepemimpinan. Biasanya, pemimpin tak mau pusing dengan perubahan kondisi yang kapan saja bisa berubah. Mereka (para pemimpin, red) cenderung mengambil kebijakan simpel tanpa ada kajian mendalam. 

Contohnya pembentukan lembaga-lembaga berbentuk komisi maupun satuan tugas (satgas). Pembentukan itu, justru dianggap sebagai upaya “jalan damai” dari potensi konflik. Pembentukan itu akibat adanya ketidakpercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang sudah ada. Kalau di pemerintahan pusat kementerian sedangkan di daerah dinas-dinas atau badan. Semestinya, peran lembaga yang dibentuk tersebut, bisa diambil alih oleh kementerian maupun dinas-dinas, badan setingkat daerah. 

“Lembaga bentukan itu harusnya temporer. Jika hasil evaluasi hasilnya buruk, bubarkan saja. Karena hal itu menyebabkan pemborosan anggaran. Yang terjadi justru failing to connect the dots, tidak ada hubungan antara satu dan lain (mengabaikan interkoneksi/gagal menghubungkan titik-titik), underestimating the problem (menganggap sepele sesuatu yang kecil). 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline