Lihat ke Halaman Asli

Ketika TNI Kembali ke Jalan

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Situasi Jakarta hari-hari ini cukup tegang. Hiruk pikuk pilkada dan perang urat syaraf di antara kandidat Gubernur dan Wagub DKI melalui media semakin tajam, cerminan dari gesekan yang terjadi di akar rumput. Beberapa kubu bahkan mulai menggunakan issue-issue rasial yang selayaknya tabu bagi demokrasi Pancasila dimana pluralisme adalah salah satu pilarnya. Sebuah upaya nekat dan konyol yang nyerempet-nyerempet bahaya dari calon pemimpin yang buruk.

Pada saat yang sama demo mahasiswa, buruh dan warga masyarakat menentang rencana kenaikan harga BBM sudah dapat dipastikan akan mewarnai hari-hari selanjutnya penghujung Maret ini. Situasi semakin kompleks dengan kondisi cuaca yang mulai bergerak dari badai penghujung musim hujan memasuki kemarau. Apakah terpaan sisa-sisa ekor badai atau pun teriknya matahari menjelang titik ekuinoks (titik terdekat bumi ke matahari yang siklus tahuinannya di bulan April), sama saja meningkatkan suhu konflik baik pada pendemo maupun pada aparat.

Dengan kondisi-kondisi yang ada tersebut, dapat dipahami bahwa pada saat ini semua pejabat yang bertanggung jawab atas keamanan Jakarta berada pada situasi waspada. Semuanya sedang merapatkan barisan, berhitung cermat dan meningkatkan kordinasi. Penanganan yang keliru atas semua potensi konflik yang ada dapat berakibat fatal dan berujung pada tragedi. Sangat mungkin hal-hal lah yang diantaranya mendorong Pemerintah menyiagakan TNI di Istana dalam demo dan buruh tempo hari. Sebuah langkah intimidatif untuk meredam eskalasi demo anti kenaikan harga BBM selanjutnya agar suhu politik di Jakarta dapat terjaga.

Telah disebutkan dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. bahwa tugas TNI adalah mengamankan negara dari ancaman dan serangan bersenjata. Nyatanya tidak ada ancaman gerakan bersenjata dalam demo tersebut. Sementara itu dilihat dari jumlah massa yang turun ke jalan pun sampai saat ini secara keseluruhan masih relatif sedikit. Hingga Rabu (21/3) saja baru sekitar 7.000 pendemo yang terlibat dalam 49 gerakan demo di seluruh wilayah Indonesia menentang kenaikan harga BBM. Jumlah yang jauh lebih kecil bahkan bila dibandingkan dengan jumlah personil Polri yang disiagakan di wilayah Polda Metro Jaya. Tidak ada alasan bahwa Polri kekurangan personil sehingga membutuhkan dukungan tambahan dari TNI. Kekhawatiran bahwa demo akan mengancam Istana dan Presiden sebagai simbol negara semata-mata adalah cerminan paranoia yang melanda Pemerintah. Sama paranoidnya dengan curhatan SBY di media beberapa waktu yang lalu mengenai dirinya sebagai sasaran tembak.

Yang memprihatinkan adalah argumen Menkopolhukam mengenai hal ini. "Soal pelibatan TNI tidak ada yang dilanggar. TNI sesuai UUD, UU dan PP diwajibkan membantu Polri dalam mengatasi ancaman terhadap pertahanan dan keamanan negara," demikian disampaikannya. Sebuah cara berpikir yang terlalu naïf untuk seorang menteri ketika tidak bisa membedakan antara negara dan pemerintah dalam konteks yang tepat. Terlebih dengan menjadikan demo masyarakat yang menyuarakan aspirasinya sebagai ancaman terhadap negara.

Demo ini berbahaya bagi Pemerintah yang sedang berkuasa iya, tetapi apakah merupakan ancaman terhadap negara? Toh atribut yang menghiasi orasi dan pamflet pada demo di depan Istana itu semata menyuarakan tuntutan pembatalan rencana kenaikan harga BBM. Tak satupun yang mengusulkan agar negaradibubarkan, mengajak membunuh Presiden atau menyerang Istana.

Perlu juga dipertimbangkan bahwa situasi ini akan mengembalikan ingatan publik pada Tragedi Semanggi yang memilukan. Betapa rakyat menyaksikan detik demi detik TNI digunakan oleh Pemerintah untuk menghadapi gerakan demokrasi. Sepanjang tidak ada kerusuhan dalam demo anti kenaikan harga BBM, pengerahan TNI untuk mengatasinya illegal dan hanya akan mengeskalasi kemarahan pada Pemerintah.

Menyiagakan TNI pada jarak beberapa meter saja dari massa adalah sebuah tindakan yang keliru. Walaupun sekedar bersiaga dan tidak dihadapkan langsung pada massa pengunjuk rasa seperti lansiran pejabat terkait, keputusan ini sama konyolnya dengan memberikan ijin gerobak sate ayam mejeng di pompa bensin.

Kembalinya TNI ke barak adalah amanat dan buah reformasi. Oleh karenanya, mengirimkan lagi TNI ke jalan untuk berhadap-hadapan dengan rakyat, menjadikan pemerintah sosok malin kundang reformasi yang durhaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline