Sebagian anak, terutama ketika ia mulai menginjak masa remaja hingga peralihan menuju dewasa, biasanya sering bercengkrama dengan dirinya sendiri. Bertanya-tanya tentang siapa aku, aku mau menjadi apa, aku sudah bisa apa dan lain-lain. Beberapa mungkin sudah mendapatkan jawabannya, berfikir optimis, dan memulai atau melanjutkan usahanya. Namun beberapa yang lain, setelah menemukan jawaban sementaranya, mereka terjebak dalam pikiran-pikiran negatif, kemudian putus asa sebelum berusaha. Diantaranya yaitu karena mereka merasa minder, merasa dirinya tidak memiliki kelebihan apapun, dan tertinggal jauh di belakang kesuksesan teman-temannya yang lain.
Beberapa contoh terkait hal tersebut, yaitu di usia seorang anak yang ke sekian, dia merasa belum menemukan bakatnya di bidang apapun, namun teman-teman sebayanya ada yang sudah menemukan bakatnya di mana, bahkan ada juga yang sudah berkarir dengan bakat yang dimilikinya. Pada akhirnya, ia merasa minder, karena berfikir atau merasa tidak akan sanggup mengejar keberhasilan teman-temannya. Ada juga yang merasa dirinya tidak secantik teman-temannya, atau gaul juga kaya raya, sehingga ia merasa minder, terjebak dalam asumsi "tidak pantas" untuk berteman dengan yang lain. Atau bahkan mungkin memang sebab ledekan teman-temannya, yang seharusnya itu menjadi bahan "guyonan", ditangkapnya menjadi sebuah keseriusan. Ia pun merasa terpojokkan dan menganggap apa yang mereka katakan adalah benar.
Self-esteem dalam psikologi dapat dimaknai dengan "bagaimana cara seseorang itu melihat dirinya sendiri. Seberapa positif atau negatifnya ia untuk lingkungannya". Diantara hal-hal yang dapat mempengaruhi self-esteem adalah lingkungan sekitar. Tentang bagaimana orang lain memperlakukannya, bagaimana lingkungannya membentuk karakternya, hingga bagaimana segala sesuatunya membentuk pola pikirnya.
Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik. Begitu pula dengan self-esteem. High self-esteem atau terlalu percaya diri, dapat membuat seseorang memiliki sifat narsisme yang berujung merasa superior dibandingkan yang lain. Seseorang yang terlalu percaya diri ini, memiliki potensi bullying atau menindas teman-temannya yang tidak sehebat dirinya. Sedangkan low self-esteem atau rendah diri, dapat membuat seseorang kehilangan produktivitasnya, pesimis, dan takut terhadap tantangan. Sehingga perkembangan skillnya menjadi lebih lambar dari teman-temannya yang lain.
Stake Holder menurut Freeman adalah individu atau kelompok masyarakat yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pencapaian tujuan tertentu dari organisasi. Stake Holder berfungsi menjadi tokoh kunci dari sebuah kepentingan. Dalam kehidupan sosial, masyarakat sekitar dapat menjadi stake holder bagi siapapun. Contoh, bila di sekolah, maka kepala sekolah, guru dan staff, dapat menjadi stake holder bagi sang anak. Dan bila dirumah, orang tua, kakak, atau keluarga yang lain dapat pula menjadi stake holder.
Tugas stake holder di sini adalah mengawasi anak di lingkungan tersebut. Bila di sekolah, maka gurulah yang mengawasinya, karena ia bertanggung jawab terhadap muridnya. Contoh, bila anak tersebut melakukan sebuah kesalahan, maka tugas stake holder di sini adalah membenarkan, dengan tata cara yang benar. Bila memberi hukuman, maka hukuman yang diberi haruslah sesuai dengan aturannya, bukan hukuman yang semena-mena, terlalu keras dan tidak berperikemanusiaan. Selain itu, guru juga hendaknya memberi contoh perilaku-perilaku yang baik, mengajarkan rasa tanggung jawab dan hal-hal positif lainnya, termasuk membentuk karakter anak. Begitu pula stake holder di rumah maupun lingkungan sekitarnya.
Kembali lagi pada permasalahan awal, dimana nyatanya, entah itu diam-diam atau blak-blakan banyak sekali anak yang memiliki sifat low self-esteem. Kita sebagai pemegang amanah stake holder bagi orang-orang di sekitar kita, hendaknya mulai sadar, bahwa apa yang kita lakukan dan ucapkan kepada orang lain tentunya akan berpengaruh kepada mereka. Terutama anak-anak, yang ingatannya bagai mengukir di atas batu.
Orang tua, sebagai konselor dan stake holder utama sang anak, harus benar-benar memperhatikan tumbuh kembang anaknya, membentuk karakternya, pola pikirnya, lingkungan tempat ia tinggal dan bermain. Dukungan, keterlibatan, dan gaya asuh orang tua sangat berpengaruh terhadap self esteem anak.
Namun, bila sang anak sudah terlanjur low self-esteem?
Bila anak sudah terlanjur low self-esteem maka langkah pertama yang bisa kita -sebagai orang tua- bisa ambil adalah mencari tahu penyebab utamanya. Apakah dari pola asuh kita yang salah, atau perkataan orang lain? Setelah mengetahui penyebabnya, barulah bisa diketahui solusinya. Langkah selanjutnya yang bisa diambil adalah memberi stimulus berupa dukungan atau motivasi kepada anak. Kita juga dapat menyarankan self-talk kepada anak bila memungkinkan. Namun bila tidak, maka untuk langkah selanjutnya kita bisa meminta bantuan kepada yang lebih menguasai bidangnya, seperti konselor ataupun psikolog.