Lihat ke Halaman Asli

Budaya Victim Blaming pada Korban Pelecehan Seksual Perempuan

Diperbarui: 14 Juni 2022   19:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Budaya Victim Blaming pada Korban Pelecehan Seksual Perempuan

Sonia Magdalena Lumban Gaol – Mahasiswa S1 Prodi Kedokteran Universitas Airlangga

Salah satu konsep penting yang perlu dipahami untuk membahas isu-isu perempuan adalah pembedaan antara konsep gender dan jenis kelamin. Pemahaman dan perbedaan antara kedua konsep tersebut diperlukan karena pemahaman dan pembedaan antara konsep gender sangat penting untuk dianalisis guna memahami permasalahan ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat.

Namun yang terjadi di masyarakat adalah kurangnya pemahaman tentang kesetaraan gender karena tradisi dan budaya masyarakat yang memiliki banyak stereotip gender. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah patriarki, menempatkan posisi dan kekuasaan laki-laki atas perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, perempuan dianggap oleh masyarakat sebagai sosok yang lemah dan tidak berdaya.

Media yang meliput kasus pelecehan terhadap perempuan sering tidak memberitakan korban perempuan yang aktif memprotes dan membela diri dari pelaku. Media cenderung membicarakan korban perempuan yang pasif, seperti tidak melakukan tindakan membela diri dan hanya berpasrah diri. 

Dengan demikian, istilah “korban” lebih tepat menggambarkan bagaimana pemberitaan itu menyangkut perempuan secara umum. Berita menyajikan konteks kekerasan terhadap perempuan untuk mendukung, membela dan menciptakan kembali supremasi laki-laki akibat mitos dan stereotip budaya tentang perempuan dan laki-laki (Meyers, 1997).

Seperti kasus pada 2019 yang menimpa Baiq Nuril, guru perempuan yang dipidanakan karena merekam percakapan mesum yang dilakukan kepala sekolah kepadanya sebagai bukti untuk membela diri. Bukannya mendapat perlindungan, Baiq Nuril malah dihukum dengan enam bulan penjara dan denda Rp500 juta setelah dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dalam kasus penyebaran informasi percakapan mesum kepala sekolah tempat ia pernah bekerja.

Tiga faktor yang mempengaruhi orang dan kecenderungan mereka untuk menyalahkan korban adalah pemberitaan media yang cenderung seperti mengadili kerban, budaya patriarki yang semakin marak, dan adanya kepercayaan akan dunia yang adil. Tidak dapat disangkal bahwa ketiganya saling berhubungn dan bergantung pada nilai-nilai budaya patriarki yang melekat pada masing-masing individu. Contoh pemberitaan dari media. Sebagai sebuah organisasi, media harus lebih peka pada kesetaraan gender. 

Diharapkan media atau organisasi jurnalistik dapat menjaga idealisme di tengah budaya patriarki yang tidak ada matinya. Hal ini dilakukam untuk mencapai keseimbangan dan kesetaraan bagi kedua belah pihak dalam pemberitaan. Sehingga victim blaming pada korban pelecehan seksual terutama perempuan dapat menurun.

Mengurangi perilaku victim blaming dapat dimulai dengan beberapa bentuk pelatihan oleh pihak berwenang, karena mereka adalah pihak yang seharusnya bertindak secara netral tanpa menilai korban berdasarkan nilai-nilai budaya. Selain itu, kesadaran dan pengetahuan masyarakat perlu ditumbuhkan untuk mengurangi budaya victim blaming.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline