Alat utama sistem pertahanan (alutsista) yang dimiliki Indonesia saat ini memang belum memenuhi kebutuhan Indonesia dengan mumpuni. Ditambah lagi dengan fakta bahwa sebagian besar alat utama sistem pertahanan tersebut sudah berumur dan sudah layak memasuki masa pensiun. Seperti contoh, tank AMX milik Indonesia yang sudah digunakan sejak tahun 1960-an, beberapa pesawat angkut jenis C130B Hercules yang sudah digunakan sejak tahun 1960-an, serta KRI Multatuli 561, kapal perang yang telah digunakan sejak tahun 1961. Maka dari itu, pemerintah menyusun kerangka strategi dalam usaha untuk kembali meremajakan alat utama sistem pertahanan demi memperkuat kembali kekuatan pertahanan negara.
Dalam peremajaan alutsista, Kementerian Pertahanan RI (pada saat itu masih menggunakan nomenklatur Departemen Pertahanan RI) era kepemimpinan Prof. Juwono Sudarsono telah menyusun strategi yang dinamakan Minimum Essential Forces (MEF), yang direncanakan sejak 2007 hingga saat ini, dengan harapan bahwa percepatan pemenuhan kebutuhan alutsista dan persenjataan dapat terpenuhi secara terstruktur dan tepat sasaran dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi negara, dan juga kondisi negara yang semakin dinamis. Selanjutnya adalah bagaimana pemerintah melalui Kementerian Pertahanan, bersinergi dengan kementerian lainnya, terutama Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Keuangan, melakukan diplomasi pertahanan dengan melobi-lobi negara-negara produsen alutsista. Adapun, dalam pemenuhan MEF, Indonesia juga memperdayakan industri pertahanan dalam negeri guna membangun kemandirian negara dalam pemenuhan kebutuhan pertahanan dan keamanannya.
Amerika Serikat dan Rusia selama ini seringkali menjadi opsi utama bagi Indonesia dalam hal belanja alutsista. Hal ini dikarenakan Indonesia sebagai negara yang bersifat bebas dan aktif, sehingga Indonesia tidak hanya belanja dari salah satu blok saja. Namun, dewasa kini Indonesia dianggap mengalami kesulitan dalam belanja alutsista. Pembelian alat pertahanan dari Amerika Serikat masih terbayang-bayang dengan embargo Amerika Serikat kepada Indonesia yang didasarkan atas anggapan bahwa Indonesia melakukan pelanggaran HAM atas pembantaian Santa Cruz Timor-Timur. Di sisi lain, Indonesia kesulitan dalam merawat alutsista buatan Rusia, terutama pesawat tempur jenis Sukhoi SU-27/30 yang perawatannya mahal dan tidak bisa dilakukan dalam negeri. Dan jika Indonesia berencana membeli alutsista dari Rusia, maka bayang-bayang CAATSA (Countering America's Adversaries Through Sanctions Act) Amerika Serikat akan menghantui Indonesia.
Indonesia telah lama melobi-lobi baik Amerika Serikat maupun Rusia dalam usaha pemenuhan MEF, terutama pada sektor udara. Contohnya, Indonesia dalam usaha pembelian pesawat tempur Sukhoi SU-35 dari Rusia sejak 2015, namun implementasi dalam pembeliannya tertunda berkali-kali dikarenakan oleh sanksi Amerika Serikat yang terus membayangi. Dan ketika Indonesia berusaha melobi Amerika Serikat dalam pembelian pesawat tempur generasi terbaru (generasi 5) berjenis F-35 Lightning II, Pentagon, Kementerian Pertahanan AS merasa Indonesia belum mampu dalam mengoperasikan gen terbaru. Sebab Indonesia hingga saat ini masih belum pernah mengoperasikan pesawat generasi 4.5 sebagai bentuk transisi.
Peremajaan alutsista terutama alutsista udara dirasa krusial untuk mendapatkan peremajaan setelah pesawat tempur F5E/F Tiger II yang dipensiunkan 2016 lalu. Pemerintah Indonesia menargetkan bahwa paling lambat tahun 2018, didatangkannya pesawat tempur baru untuk mengisi kekosongan sepeninggalan pesawat F5E/F Tiger II. Namun kekosongan tersebut hingga di tahun 2024 ini belum diisikan pesawat baru. Hal ini disebabkan oleh Indonesia yang kerap mendapatkan permasalahan dalam diplomasi pembelanjaan alutsista.
Menteri Pertahanan Republik Indonesia, Jenderal TNI (HOR) Prabowo Subianto sebagai Menhan memilih jalan tengah dengan mendekat kepada Prancis. Hal ini dibuktikan dengan Menhan RI Prabowo Subianto dan Menhan Prancis Florence Parly yang saling mengunjungi satu sama lain. Kedua pihak juga telah menyatakan ketersediaan kedua negara untuk mempererat kerjasama di bidang pertahanan. Dibuktikan dengan penandatanganan beberapa nota kesepahaman (MoU) di bidang kerjasama pertahanan yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 2022 lalu.
Hasil dari diplomasi pertahanan yang dilakukan, membuat Indonesia mengambil kebijakan untuk memperkuat pertahanan dengan penandatanganan kontrak efektif pembelian pesawat tempur jenis Dassault Rafale F4 sebanyak 42 unit. Pesawat canggih asal Prancis ini merupakan pesawat tempur generasi 4,5. Pesawat ini merupkan pesawat multi-role. Rafale mampu menjalankan semua misi penerbangan tempur, mulai dari superioritas udara dan pertahanan udara, dukungan udara jarak dekat, serangan in-depth, pengintaian, serangan antikapal, dan pencegahan nuklir. Dassault Rafale milik Indonesia diperkirakan mulai hadir dalam jajaran TNI Angkatan Udara mulai 2026 mendatang, menggantikan pesawat British Aerospace Hawk 109/209 yang sekarang masih beroperasi di Pontianak dan Pekanbaru. Selain itu, Kementerian Pertahanan juga membeli pesawat angkut Airbus A400M, pesawat tanker Airbus A330 MRTT, pesawat VIP berjenis Dassault Falcon 7X dan 8X, dan kapal selam kelas Scorpene yang mana semuanya berasal dari Prancis.
Ketika berbicara tentang pertahanan dan keamanan, sebenarnya Indonesia tidak memihak kepada siapa saja baik blok Barat maupun Timur, melainkan bermitra dengan siapa saja. Hal ini didasarkan pada sifat Politik Luar Negeri Indonesia yang bebas aktif dan tidak memihak pada blok manapun. Walaupun, tidak bisa dipungkiri bahwa setiap pemimpin secara tidak langsung mencondong kepada salah satu blok. Seperti misalnya pada era orde lama, Indonesia lebih condong menggunakan persenjataan buatan blok Timur, sedangkan pada era orde baru Indonesia dirasa lebih condong menggunakan persenjataan buatan blok Barat. Hal ini terkait dengan latar belakang pemimpin (faktor idiosinkratik) yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri (foreign policy).
Alutsista buatan Prancis tidak bisa terbilang murah. Namun dengan pembelian di waktu yang terbilang tepat dan dengan persetujuan harga yang cukup rasional serta kesepakatan atas transfer teknologi (ToT), maka dapat dikatakan bahwa kerjasama dalam bidang pertahanan dan keamanan antara Indonesia Prancis memberikan keuntungan bagi kedua negara tidak hanya sekadar jual beli saja. Dan bahwa Menhan Prabowo dalam karir militernya erat berhubungan dengan negara barat terutama Amerika Serikat, sehingga alasan mengapa Menhan Prabowo lebih memilih Prancis yang merupakan negara Barat dibandingkan produsen negara-negara Timur selain Rusia, seperti Turkiye dan Tiongkok. Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh faktor idiosinkratik, di mana latar belakang pemimpin sebagai salah satu pengaruh dalam kebijakan luar negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H