Pembakaran Lahan merupakan bagian dari pengrusakan lingkungan hidup yang dampaknya dapat mengakibatkan terjadinya polusi atau pencemaran udara bagi manusia serta menyebabkan penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Atas (ISPA), Asma, Penyakit Paru Obstruktif Kronik, Penyakit Jantung serta iritasi pada mata, tenggorokan dan hidung. Kabut asap dari kebakaran hutan juga dapat mengganggu bidang transportasi, khususnya transportasi penerbangan. Selain itu, efek negative dari pembakaran lahan adalah tersebarnya asap dan emisi gas Karbondioksida dan gas-gas lain ke udara juga akan berdampak pada pemanasan global dan perubahan iklim.
Sebelumnya Gubernur Lampung, dalam Kebijakannya yang kontroversial menerbitkan PERGUB Nomor 33 Tahun 2020 yang tercantum didalamnya mengizinkan pembakaran lahan tebu. Isi dari PERGUB tersebut adalah Pemprov Lampung memperbolehkan perusahaan tebu untuk melakukan pembakaran lahan dengan dibatasi 10 hektare dengan lama waktu pembakaran maksimal 20 menit; dengan ketentuan ketika musim kemarau, pembakaran hanya bisa dilakukan pagi hari dan saat musim hujan dilakukan pagi dan malam hari; dan harus ada alat baku ukur mutu udara. Sedangkan pada peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023, terdapat penambahan kalimat "pembakaran dapat dilakukan secara bersamaan"; pasal pertimbangan cuaca dihapus, malah ditambahkan klausul panen tidak mempertimbangkan cuaca lantaran cuaca tak menentu akibat pemanasan global; dan alat baku ukur mutu udara dihapuskan.
Melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1P/HUM/2024. Mahkamah Agung (MA) meminta Peraturan Gubernur (Pergub) Lampung terkait tatacara panen tebu dengan cara dibakar untuk dicabut karena dinilai dapat merusak lingkungan, dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut, Mahakamah Agung memerintahkan kepada termohon Gubernur Lampung untuk mencabut Pergub Lampung No.33/2020 tentang Tata kelola panen dan produktivitas tanaman tebu, sebagaimana diubah dengan Pergub Lampung No.19/2023 yang di nilai telah menguntungkan perusahaan perkebunan tebu
Sebab, adanya legalisasi mengenai aturan panen tebu dengan cara dibakar itu dinilai mengakibatkan kerugian yang sangat besar terkait dengan pelepasan emisi gas rumah kaca, kerusakan dan pencemaran lingkungan, serta mengganggu kesehatan masyarakat akibat asap dan partikel debu.
Berdasarkan Data dari Ditjen Penegakkan Hukum KLHK menunjukan, akibat Pergub tersebut setiap tahun telah terjadi pembakaran ribuan hektar lahan tebu untuk panen. Pada 2021, pembakaran mencapai 5.469 hektar lahan tebu milik dua perusahaan. Angka tersebut melonjak naik pada pembakaran lahan terjadi Pada 2023 jumlah luas lahan tebu yang dibakar dalam rangka kegiatan panen, makin bertambah banyak menjadi 14.492 hektar.
Sebagai informasi, Peraturan Gubernur Lampung Nomor 33 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Panen dan Produktivitas Tanaman Tebu sebagaimana diubah dengan Peraturan Gubernur Lampung Nomor 19 Tahun 2023, bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu:
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2022;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah;
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan;
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
- Undang Undang Nomor 22 tahun 2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan;
- Peraturan Menteri Pertanian No.53/Permentan/KB.110/10/2015 tentang Pedoman Budidaya Tebu Giling yang Baik, dan
- Peraturan Menteri Pertanian No: 05/PERMENTAN/KB.410/1/2018 tentang Pembukaan dan/atau Pengolahan Lahan Perkebunan Tanpa Membakar.
Sebagaimana yang kita ketahui saat ini, tindakan pembakaran lahan tebu di Provinsi Lampung yang dilakukan oleh perusahaan swasta seringkali terjadi sebelum proses memanen tebu karena dianggap sangat efisien dan biaya yang terjangkau. Tindakan pembakaran ini sering dillakukan karena masih lunaknya peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia dan lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku pembakaran lahan tersebut. Adanya kelemahan terhadap aturan dan penegakannya membuat pengusaha terus melakukan aktivitas pembakaran karena dianggap sebagai sebuah hal yang biasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H