Lihat ke Halaman Asli

Seorang Dukun Pengantin

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

JudulBuku: MOZAIK KEHIDUPAN ORANG JAWA

WANITA DAN PRIA DALAM MASYARAKAT INDONESIA MODERN

Penulis: Walter L. Williams

Penerbit: PT. PUSTAKA BINAMAN PRESSINDO, Jakarta 1995.

BAGIAN II

Berpegang pada Masa Lalu : Tradisi Artistik dan Tradisi Spiritual

Artikel ke 17, halaman 143

Seorang Dukun Pengantin

BAGI WARGA Istana Sultan, yang secara ekonomi tidak tergantungpada pasangannya, perkawinan bukanlah alasan untuk bisa bertahan hidup. Beberapa orang memilih tidak kawin, dan yang lain memiliki ‘pasangan tidak resmi’. Sebaliknya, bagi orang desa secara ekonomi perkawinan merupakan hal yang penting disbanding sebagian institusi sosial yang lain. Baik pria maupun wanitanya tergantung pada pasangannya dan tergantung pada anak-anaknya ketika mereka menjadi tua. Oleh karena itu perkawinan adalah keputusan ekonomi yang penting bagi seseorang maupun orang tuanya karena pasangannya tersebut kelak akan terlibat perawatan ketika orang tuanya berusia lanjut. Oleh karena itu pula, memilih pasangan harus mempertimbangkan hak prerogative orang tua,. Kalau mengikuti cara tradisional pasangan pengantin belum pernah bertemu sebelumnya sampai upacara perkawinan.

Oleh karena itu, upacara perkawinan Jawa itu sendiri penting untuk menciptakan ikatan antara pasangan suami istri baru. Untuk melakukan perhelatan ini dibutuhkan kekuatan magis, yang berada pada seorang dukun wanita. Dukun tersebut akanmembantu untuk memastikan agar perkawinan tersebut berhasil. Upacara tersebut harus menciptakan rasa kebersamaan diantara kedua pasangan karena secara tradisional sebelumnya tidak ada hubungan cinta yang menyatukan mereka. Meskipun antara suami istri belum pernah ada pertemuan sebelumnya, perceraian di Jawa lebih rendah ketimbang di Amerika di setiap Negara bagian, hanya separoh dari semua pasangan yang menikan yang perkawinannya bisa langgeng sampai akhir hayat.

Bagaimana perkawinan yang pasangannya sebelumnya tidak pernah bertemu bisa langgeng seperti perkawinan romants yang bebas memilih pasangan? Sebagian karena pengaruh Islam, yang menekankan kewajiban wanita untuk patuh terhadap suaminya, begitu kuat. Meskipun demikian, yang lebih penting adalah karena upacara perkawinan yang menekankan kwajiban timbale balik antara suami istri diantara mereka, terhadap orangtua, dan terhadap masyarakat yang lebih luas. Faktor yang krusial dalam stabilitas perkawinan di Jawa nampaknya adalah, tidak seperti di Barat, suami dan istri merasa tidak perlu ‘jatuh cinta’ setiap waktu. Dalam pandangan mereka, hubungan romantis hanya mengarah ke kegagalan karena merekaterlalu banyakberharap dan harapan yang tinggi terhadap kebahagiaan tersebut menyebabkan keluarga terpecah ketika pasangan tersebut kehilangan rasa cintanya. Orang tua tahu bahwa cinta, bisa benar, bisa juga tidak, adalah emosi yang sesaat. Mereka merasa bahwa, meskipun orang muda sudah slaing mengenal secara dekat dan mereka merasa cocok satu sama lain, mereka belum berpengalaman dalam hubungan manusia yang tidak mungkin untuk mengetahui hubungan orang lain seluruhnya secara rinci. Selain itu, setiap pasangan akan berubah menjadi matang sehingga tidak perlu dibingungkan mengenai orang macam apa pasangannya itu ketika pernikahan dilaksanakan. Kelebihan terpenting dalam pengaturan perkawinan, menurut pandangan tradisional Jawa, dua orang pasangan tersebut tidaklah saling jatuh cinta; oleh karena itu mereka tidak akan kecewa ketika mereka kehilangan cintanya.

Sekarang di Jawa beberapa generasi muda telah terpengaruh oleh cinta model Barat, cinta romantis, terutama seperti yang ditayangkan di film-film Eropa dan Amerika. Tampaknya mereka lebih senang untuk memilih pasangannya melalui ‘jatuh cinta’. Seiring dengan meningkatnya gaji individual menjadi bagian dari ekonomi uang Indonesia, meningkatnya pasangan yang menikah atas dasar cinta dan perceraian karena cinta yang luntur semakin menjadi hal yang lumrah. Orang yang bergaji tidak sama tergantungnya kepada pasangannya seperti pada masyarakat agraris.

Meskipun demikian, salah satu sebab keberhasilan perkawinan model tradisonal adalah adanya jarak emosi tertentu antara suami dengan istri. Keinginan seseorang untuk menikah, pertama-tama dan kebanyakan, adalah karena ingin memiliki anak. Tentu saja suami dan istri harus cukup dekat untuk bekerja sama dalam menyediakan dukungan ekonomi, tetapi ini dianggap kurang penting dibanding masalah kedekatan secara emosional. Seorang pria tetap berhubungan erat dengan keluarganya. Mereka tidak mengharapkan pasangannya akan menjadi teman terbaiknya, tetapi mereka tetap melanjutkan hubungan emosional dengan teman sejenisnya. Kaum pria menghabiskan sebagian besar waktunya dalam kelompok kerja pria, dan sebagian waktu senggangnya digunakan dengan teman-teman prianya. Wanita, juga melakukan hal yang sama dengan wanita lain dipasar atau di rumah tetangganya.

Dalam konteks ini, hubungan dekat sesama jenis kelamin ini sangat vital bagi stabilitas keluarga Jawa. Keluarga tetapbersama karena dua alasan : ekonomi mengharuskan agar perkawinan bisa berhasil, dan ironisnya, tidak begitu berharap dari perkawinan mengenai tingkat emosional. Hubungan jangka panjang sesame jenis kelamin memberikan keseimbangan bagi perkawinan heteroseksual. Orang Jawa memandang kejadian ini bukan sebagai bertentangan, melainkan saling melengkapi.

Upacara perkawinan itu sendiri menggambarkan sifat-sifat masyarakat gender melalui pengaturan tempat duduk. Pengantin wanita berada pada sisi dimana semua wanita duduk. Demikian pula dengan pengantin pria, dia duduk pada sisi tempat semua pria duduk. Dua kelompok jenis kelamin ini duduk berhadap-hadapan dipisahkan ruang kosong ditengahnya yang membedakan antara dunia wanita dengan dunia pria. Hanya dukun, dengan kemampuan magisnya, yang bsa menerabas batas ini.

Beberapa hari setelah menyelesaikan upacara perkawinan di desanya di Surkarta Timur, dukun ini, yang lahir pada tahun 1928 , diwawancarai oleh Martha Pardede (wanita, berusia 33 tahun) dan Walter L. Williams.

SEORANG DUKUN MANTEN (dukun pengantin), seseorang yang ‘berilmu’ sekaligus seorang perias, membantu pengantin wanita menyiapkan dirinya menerima kehidupan perkawinan. Kewajiban pertama seorang dukun manten adalah membuat calon pengantin wanita secantik mungkin. Tidak hanya dalam penampilannya saja, tetapi dukun manten juga harus membuat pengantin wanita memancarkan kecantikan batinnya. Semua dukun manten harus menyiapkan mentalnya agar berhasil dalam melaksanakan kewajibannya. Kami menyebut persiapan ini sebagai ‘masa prihatin’. Salah satu program saya adalah berpuasa. Saya melakukan puasa sebelum dan selama menjalankan pekerjaan. Beberapa dukun manten tidak puasa; tetapi mereka hanya makan nasi dan minum air putih. Pengangtin wanitanya juga melakukan hal yang sama.

Tahap kedua adalah mandi. Pengantin wanita dan pria juga harus melakukan hal ini. Kebanyakan pengantin wanita sekarang tidak bersedia melakukannya bersama saya dan pasangannya; beberapa diantaranya bersedia melakukan hal ini di tempat yang terpisah. Pertama-tama saya harus menyiapkan ruang upacara. Saya menyediakan sesaji di situ. Sesaji ini ditujukan buat leluhur pengantin wanita, untuk mendapatkan restunya. Sesaji ini terdiri dari pisang , kelapa, gula kelapa, sirih dan tembakau untuk leluhur wanita serta rokok untuk leluhur pria. Kemudian saya membakar kemenyan. Setelah itu saya berdoa. Ini doa khusus. Hanya saya yang mengetahui dan memahaminya. Kemudian saya menyiapkan air dan memasukkan bunga, daun pandan, daun kelapa dengan sekam.

Saya memasukkan pengantin wanita ke dalamnya. Dia hanya menggunakan pakaian yang sederhana, berwarna putih dan kain batik. Saya menyiramkan air ke dia tiga kali dengan menggunakan tempurung kelapa. Setelah ini juga di ikuti dengan doa. Setelah itu, orang tuanya dan juga anggota keluarga yang lain ikut melakukan hal yang sama. Mereka harus orang yang tertua di keluarga tersebut dan jumlahnya harus ganjil, tujuh atau sembilan. Jumlah terbanyaknya adalah sembilan. Saya tidak tahu mengapa jumlahnya harus ganjil; saya mendapatkan pengetahuan ini dari leluhurku. Ini saya pelajari dari dia. Tujuan dari upacara ini adalah untuk membersihkan dan mensucikan pengantin wanita baik fisik maupun batin. Ketika upacara selesai, sesaji harus diberikan kepada anak-anak kecil di keluarga tersebut.

Upacara berikutnnya adalah malam “midodareni” (berbidadari). Saya membawa pengantin putrid ke ruang pengantin untuk menjalankan upacara ini. Seperti juga pada upacara yang pertama, ruang ini dihiasi dengan bunga yang semerbak wangi, dan saya meletakkan sesaji di situ. Sesaji tersebut harus lebih baik dari sesaji sebelumnya, terdiri dari nasi kuning, kue yang enak-enak, dan ayam.

Upacara yang kedua berbeda dari yang pertama : ketika upacara ini selesai, sesajinya menjadi hak saya. Disini, saya juga membakar kemenyan. Setelah sekali lagi membersihkan kulitnya dengan menggunakan kosmetika tradisional untuk membuat kulitnya lembut dan bercahaya, saya mulai merias pengantin wanita. Saya sendiri lebih suka menggunakan kosmetik tradisional, campuran dari berbagai daun dan bubuk beras. Tetapi jika mereka mendesak untuk menggunakan kosmetik modern saya selalu menurutinya.

Pengantin tersebut duduk dibantal yang diisi dengan berbagai dedaunan. Tujuannya adalah untuk menjaga agar dia tetap sehat, aman, dan nyaman. Dengan ini juga diharapkan dia akan memperoleh banyak anak, yang akan memberinya banyak kesempatan. Pengantin sekarang lebih suka menggunakan hairspray modern, karena mereka tidak menyukai bau ramuan model lama. Sekali lagi, saya harus mengikutinya.

Ada dua jenis potongan rambut pengantin Jawa,-gaya Solo dan gaya Yogya. Perbedaab itu ada pada aksesorisnya dan bentuk goresan siluet(paes) di dahinya ( saya juga berdoa ketika membuat lukisan di dahinya).

Setelah ini pengantin wanita tersebut mengenakan pakaian. Biasanya berwarna hijau. Setelah selesai berpakaian , saya akan membawanya ke hadapan ibu dan bapaknya yang menunggu di luar kamar. Sepanjang upacara ini pengantin pria tidak diijinkan untuk melihatnya. Ini makanya saya sebut sebagai malam berbidadari. Saya akan membuatnya secantik mungkin sehingga pengantin laki-lakiakan terkejut ketika melihatnya di upacara perkawinan ketika akhirnya mereka saling bertemu.

Tahap berikutnya upacara hanya dilakukan oleh pengantin laki-laki. Dia masih belum diperbolehkan melihat pengantinwanita. Upacara dijalankan di depan kepala desa dan penghulu. Pengantin laki-laki ditanya alasan dan keinginannya untuk menikah dengan pengantin wanita. Dia kemudian mendatangi surat nikah, dan pengantin wanita menandatanganinya di kamarnya.

Berikutnya adalah upacara temu , pertemuan. Pada saat itu, pengantin pria dibawa oleh keluarganya untuk menemui calon istrinya. Dia dan keluarganya datang dengan membawa sebuah bakul berisi pisang kecil yang manis. Keduanya, pengantin pria maupun wanita, menyiapkan sirih. Mereka saling melempar sirih tiga kali. Pengantin wanita harus berusaha secepat mungkin untuk lebih melempar sirih terlebih dahulu sebelum pengantin prianya. Menurut keyakinan kami, jika pengantin wanita berhasil melempat terlebih dahulu, dia tidak akan dikuasai suaminya. Meskipun demikian , jika dia gagal, selama hidupnya dia akan kalah terhadap suaminya.

Berikutnya saya mengambil tempat dengan telur dan meletakkannya di lantai. Kemudian pengantin pria menginjaknya, dan pengantin wanita membasuh kakinya tiga kali. Upacara ini melambangkan bahwa pengantin pria akan menikahi pengantin wanita dan “memecahkan telornya” ; sehingga dia akan memiliki sejumlah anak. Dan pencucian tersebut berarti gadis tersebut berusaha untuk menyerahkan hidupnya kepada suaminya dan melayaninya.

Kemudian saya akan membawanya duduk ke tempat yang dihiasi khusus untuk pasangan tersebut Disini saya juga harus membakar kemenyan lagi. Pengantin pria akan duduk di sisi kanan, dan pengantin wanita disisi kiri. Pengantin pria akan diberi keranjang berisi beras kuning. Kemudian menyebarkannya dan pengantin wanita berusaha menangkapnya dengan menggunakan selendangnya. Dia harus berusaha sebisanya agar jangan sampai ada beras yang jatuh.

Ini punya rti simbolis: suami akan bekerja keras untuk mempertahankan kehidupan mereka, mencari uang, dan memburu rejeki: kemudian dia akan memberikan hasil kerjanya kepada istrinya. Sebagai istri harus bekerja keras untuk tidak memboroskan sumber-sumber mereka, tetapi mengelolanya dengan cermat.

Setelah saling menunjukkan kewajibannya masing-masing, bagian berikutnya adalah menunjukkan kewajiban pasangan tersebut terhadap orang tuanya.Pertama, mereka sungkem terhadap ibunya, berikutnya kepada ayahnya, untuk menunjukkan betapa menghargainya terhadap semua yang telah dilakukan orang tua terhadapnya. Orang tua mengucapkan kata-kata memaafkan terhadap kesalahan yang dilakukan anaknya di masa lampau dan merestui perkawinannya. Kemudian pembicara menyampaikan ucapan atas nama orang tua pengantin wanita, mengungkapkan bahwa pasangan muda tersebut akan menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab sehingga ikut menjunjung nama baik orang tuanya. Dia juga menekankan bahwa pasangan tersebut tetap menghormati semua leluhurnya. Berikutnya, seorang pembicara mewakili pengantin pria melakukan hal yang sama. Pembicara ini juga member banyak nasihat praktis, memberitahu sang pengantin bagaimana membagi tanggung jawab pekerjaan di rumah sehingga terasa adil bagi kedua belah pihak dan bagaimana menjadi orang tua yang baik bagi anak-anaknya kelak. Tentu saja, mereka telah mendengar banyak mengenai hal itu dari saya, tetapi sebagai bagian dari upacara, pengulangan akan memperkuat nasihat tersebut bagi pengantin dan orang lain yang telah menikah yang hadir disitu. Setelah ini, seorang wakil dari masyarakat setempat, biasanya pejabat pemerintah setempat, memberikan juga pidatonya. Dia menambahkan lagi nasihat, menekankan pentingnya sumbangan pasangan tersebut terhadap keseluruhan desa.

Bagian akhir dari upacara adalah pasangan makan bersama. Mereka diberi nasi; artinya mereka tak akan pernah terpisahkan, akan tetap bersama dan selalu hidup berbahagia setelah itu. Pasangan kemudian saling menyuapi tiga kali, melambangkan makan tiga kali sehari. Setiap bagian dari upacara adalah symbol dari nilai tradisional kami. Ini merupakan peristiwa yang indah.

Saya menikmati pekerjaan saya sebagai dukun bukan karena mendapat uang banyak, tetapi karena kepuasan. Maksudnya, saya mendapat kepuasan batin dengan melakukan hal ini. Memang, terkadang saya kecewa karena tak seorang pun anak saya yang ingin mempelajari kemampuan saya dan bekerja sebagai dukun manten.

Saya memiliki banyak pengalaman dalam pekerjaan ini. Seperti yang telah saya katakana, setiap dukun memiliki doa khusus. Saya sendiri juga memiliki doa khusus, yang memungkinkan saya untuk melihat kesiapan sang pengantin wanita. Suatu hari saya pernah dipanggil membantu upacara perkawinan. Sebagaimana biasanya saya meletakkan beberapa melati di bawah tempat tidurnya, saya juga berdoa. Tetapi, pada saat itu, baru saja meletakkan melatinya disana, bau wanginya hilang. Baunya seperti hilang sama sekali. Sesaat kemudian saya tahu bahwa ada yang tidak beres. Kemudian saya menanyakan hal itu kepada pengantin wanita. Akhirnya dia mengaku bahwa dia hamil. Pada saat yang lain saya harus berpuasa tiga hari sebelum mulai bekerja karena rumahnya penuh dengan jin. Dan pembantu saya tak bisa bekerja disitu.

Saya sangat sedih karena perkawinan seseorang tidak seperti dahulu. Beberapa orang muda merendahkan upacara perkawinan tradisional. Mereka seharusnya bangga memiliki warisan budaya yang bernilai dan indah.

Saya memiliki pengalaman dengan seseorang, seorang pengantin laki-laki yang baru saja pulang dari luar negeri. Ketika mereka duduk bersama di kursi pengantin, dia merokok! Akibatnya, para tamunya kaget dan menyalahkan saya. Mereka mengira bahwa saya tidak memperingatkan dia untuk tidak merokok. Padahal dia sudah saya peringatkan, tetapi dia bilang tidak bisa diam tanpa merokok.

Saya telah melihat banyak pengaruh modernisasi setelah enam puluh tahun hidup didunia. Pengaruh modern itu juga merasuki upacara perkawinan. Seperti yang telah saya jelaskan, kosmetik tradisionaltelah diganti dengan kosmetik buatan. Dan kami telah berubah lebih menjadi seorang perias. Banyak gadis muda belajar ilmu kecantikan; beberapa pengantin sekarang dirias oleh orang-orang muda, terkadang lebih muda ketimbang pengantinnya.

Hal semacam itu tidak diijinkan oleh tradisi Jawa. Perias harus seorang wanita yang cukup tua, yang telah hidup dengan baik dan benar. Orang tersebut adalah orang yang bisa membawa nilai restu buat pengantin wanita. Masalah lain adalah bahwa perias sekarang tidak mengetahui apa pun mengenai sisi batin kehidupan, mengenai doa khusus. Mereka bekerja hanya untuk membuat pengantin wanita kelihatan cantik; mereka tidak tahu bagaimana menyiapkan mental sang pengantin.

Beberapa pengantin wanita sekarang hanya pergi ke salon kecantikan; akibatnya mereka kehilangan kemegahan dan kebesaran upacara perkawinan. Menurut saya keadaan ini mempengaruhi perkawinan itu sendiri. Hari perkawinan adalah kejadian istimewa yang penting dalam kehidupan seseorang. Sulitnya dan susahnya upacara perkawinan bukannya tanpa makna. Keadaan itu memberi tanda bahwa pasangan yang menikah tersebut urusannya akan sulit. Ini membutuhkan persiapan yang sungguh-sungguh, baik fisik maupun mental.

Saya sedih menemukan bahwa kebanyakan generasi muda memandang rendah upacara tradisional. Padahal, kita harus menjaganya, bukan hanya karena warisan leluhur, tetapi juga karena inin peninggalan dan pelajaran bernilai yang harus dipelihara; ini menunjukkan arti perkawinan. Saya tidak merasa aneh melihat pasangan yang perkawinannya pecah dengan mudah. Mereka tidak tahu apa pun mengenai nilai kewajibannya. Meningkatnya perceraian adalah salah satu akibat dari sikap yang salah terhadap nilai-nilai tradisional.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline