Ke Mana Orang Bodoh Melangkah?
Momen-momen yang menegangkan, mungkin itu ungkapan untuk para pemburu Perguruan Tinggi (PT) yang sebentar lagi akan merangsek, khusunya bagi para pelajar, yang mana harus bertaruh untuk menghadapi ujian agar dapat nilai bagus dan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Di penghujung tahun ajaran yang sebentar lagi tibai, memang para pelajar, khusunya tingkat SMA, SMK/sederajat disibukkan dengan berbagai agenda, mulai dari persiapan ujian hingga memilih Perguruan Tinggi sesuai dengan yang diinginkan, mengingat sulitnya persaingan untuk masuk ke Perguruan Tinggi yang Bonafit.
Disamping adanya isu masuk Perguruan Tinggi apapun itu mudah asalkan ada uang, masyarakat juga dipusingkan lagi dengan nilai yang harus memenuhi standar serta biaya pendidikan yang semakin tinggi, lantas yang menjadi pertanyaan adalah, ke manakah orang bodoh harus melangkah?, dapatkah mereka menginjakkan kakinya di tingkat pendidikan yang lebih tinggi?
Memang komitmen pemerintah saat ini lebih serius untuk mengatasi persoalan pendidikan, salah satunya melaksanakan amanahpasal 31 ayat 4 UUD 1945 dan pasal 49 UU Sisidiknas, yakni mengalokasikan anggaran pendidikan minimal 20% dari APBD, selain itu juga memberikan beasiswa-beasiswa bagi yang pintar dan tidak mampu sekaligus menggratiskan biaya SPP untuk tingkat Sekolah Dasar sampai Menegah Atas. Namun, usaha pemerintah tersebut juga belum diimbangi untuk mengatasi persoalan pemerataan pendidikan yang menjadi amanah UU 45. Di situ jelas dinyatakan bahwa setiap orang berhak menerima pendidikan yang layak, maka dengan melihat fenomena yang ada, jelas lah bahwa pemerintah belum sepenuhnya sampai pada usaha yang serius dan maksimal dalam pengentasan masalah pendidikan.
Menurut penulis, masalah pendidikan di Indonesia cukup kompleks, mulai dari persoalan pelecehan seksual di lembaga pendidikan, kenakalan remaja yang melibatkan para pelajar, mahalnya biaya pendidikan, sarana dan prasaran pendidikan yang belum memadai, pembangunan infrastruktur yang tidak merata, dan pemerataan hak pendidikan bagi semua warga Negara indonesia. Masalah-masalah tersebut memang tidak serta merta menjadi tanggungjawab pemerintah semata, melainkan semua warga, namun dalam hal ini yang paling menentukan arah pendidikan adalah pemerintah itu sendiri sebagai pengambil kebijakan.
Di momentum ujian nasional dan tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba, pemerintah juga perlu memperhatikan tidak hanya masyarakat yang kurang mampu dan pintar tapi harus memperhatikan juga nasib orang yang tidak mampu dalam hal nilai akademiknya. Penilaian penulis, sampai sejauh ini perhatian pemerintah lebih kepada nasib orang yang prestasinya bagus dan tidak mampu, sedangkan orang yang tidak mampu akademiknya (bodoh) mungkin juga memiliki cita-cita yang tidak kalah pentingnya dengan yang pintar. Sering kita lihat di media massa baik cetak maupun elektronik, pemerintah mengumumkan bantuan pendidikan bagi yang tidak mampu dan berprestasi, bahkan mengeluarkan kebijakan yang pada intinya Perguruan Tinggi seperti ITB dan UI harus menampung minimal 20 persen mahasiswanya dari kalangan tidak mampu. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka muncul juga masalah baru, yakni orang yang tidak mampu dan kebetulan “bodoh”, siapa yang mennjamin masa depan pendidikannya?
Melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak semua warga Indonesia khusunya pemerintah juga ikut memikirkan nasib orang yang “bodoh” tersebut, agar mereka juga dapat meniti masa depannya untuk lebih baik dan tidak menjadi bagian warga Indonesia yang dinomorduakan. Pemerintah seharusnya juga membuat kebijakan untuk menyelamtakan nasib orang yang “bodoh” tersebut agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya membuat kebijakan yang serupa bahwa Perguruan Tinggi ternama harus mempunyai kelas khusus untuk menampung orang-orang “bodoh”.Kebijakan lain juga bisa diambil misalnya pemerintah membangun sebuah Perguruan Tinggi dengan sarana yang lengkap dan menejemen tersendiri khusus untuk menampung orang-orang yang mempunyai nilai jauh di bawah standar. Dengan demikian paling tidak orang-orang yang mempunyai nilai di bawah standar, yang tidak laku di Perguruan Tinggi bonafit merasa punya hak yang sama dengan yang lain. Di sisi lain, lembaga pendidikan yang menampung orang “bodoh” mempunyai tantangan tersendiri untuk betul-betul mampu merubah orang yang bodoh jadi layak jual/pintar.
Kalau kita mau fair, bukankah orang bodoh juga punya potensi untuk pintar jika mereka diberi kesempatan yang sama, karena pada dasarnya manusia mempunyai fitrah yang sama. Nabi pun bersabda bahwa manusia dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tunyalah yang akan menjadikan di sebagai Yahudi, Nasrani ataupun Majusi. Berdasarkan hadis tersebut bisa ditafsirkan bahawa pada dasarnya manusia itu sama, tinggal lingkungannyalah yang akan membuat mereka berbeda, begitu juga dengan kepintaran/kebodohan seseorang. Untuk itu sudah selayaknya pemerintah memberikan hak yang sama kepada setiap warga Negara, terlebih khusus terkait hak pendidikan. Pendidikan jugamenjadi hal yang sangat penting peranannya dalam menentukaan nasib sebuah bangsa, karena dengan meningkatkan kualitas pendidikan pada gilirannya akan meningkatkan sumber daya manusia (S. Sudjana: 2000).
sumber:Bukit Pendidikan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H