Di tengah terik matahari yang membakar, 12 anggota Pramuka SMAN 1 Paiton yang terdiri dari :
1. Izzatul Maula
2. Merita Dwi Cahyani
3. Yunita Aulia Refika Damayanti
4. Hidayatul Magfiroh
5. Dimas Riyan Saputra
6. David Maulana Putra
7. Adid Mardianto
8. Demas
9. Aang Gunaifi Achmad
10. Bayu Putra Setiabudi
11. Nailul Farohah dan
12. Linda Nur Aini
menjalani perjalanan heroik . Mereka adalah angkatan ambalan Antasari Malahayati, sekelompok pemuda yang menunjukkan bahwa cita-cita tidak hanya sekadar mimpi, tetapi sesuatu yang bisa diwujudkan dengan usaha dan dedikasi.
Banyak sebagian orang menginginkan kesuksesan tanpa mau melewati proses yang melelahkan. Namun, bagi mereka, kesuksesan diraih melalui perjuangan yang nyata: kucuran keringat yang membasahi tubuh, rasa letih yang membelenggu, dan pengorbanan yang tulus. Minimnya perekonomian keluarga tak menghalangi langkah mereka. Dengan tekad yang bulat, mereka sepakat untuk berjualan es oreo dan jagung susu keju (jasuke) demi mendaftar di event langka yang diadakan oleh Saka Bhayangkara, sekaligus meraih brevet wing tapak merah sebuah simbol pengabdian dan semangat pramuka.
Ibu Solehati, pembina mereka, menjadi pendorong utama. "Rintangan bukan akhir dari segalanya. Setiap niat baik pasti ada jalan keluar," ujarnya penuh keyakinan.
Dengan dukungan dan bimbingannya, jalan untuk mendaftar yang tadinya tampak buntu perlahan mulai terbuka. Mereka lebih memilih tidak membebani kedua orang tuanya melainkan berjualan di sekolah dan di luar sekolah, demi mengumpulkan uang untuk biaya pendaftaran serta uang saku selama perjalanan mengikuti tapak tilas.
Di balik tawa dan kebersamaan, tersimpan kisah haru. Setiap tetes keringat yang mengalir adalah lambang harapan mereka untuk mengubah nasib. Dalam setiap es yang mereka jual, ada impian dan tekad untuk tidak menyerah. Rintangan yang mereka hadapi adalah bagian dari proses. Izzah, salah satu perwakilan, menyatakan, "Meskipun lelah sudah berjalan kaki sejauh 25 km, saya bangga dan bisa memiliki teman serta pengalaman baru."
Perjalanan tapak tilas itu tidaklah mudah. Mereka harus menaklukkan medan berat di bawah terik matahari, menempuh rute panjang yang dimulai dari Polres Probolinggo menuju Desa Genggong, Desa Sologudik, Desa Patemon, Krejengan, dan Semampir sebelum kembali lagi ke halaman Polres. Setiap langkah adalah perjuangan, tetapi semangat kebersamaan dan saling mendukung membuat mereka tak merasa sendiri.
Akhirnya, setelah melewati segala rintangan, mereka berhasil meraih brevet wing tapak merah yang disematkan dibaju pramuka kebanggaannya. Lambang ini tidak hanya sekadar penghargaan, tetapi juga representasi dari kekuatan, kesanggupan, dan kemauan untuk terus berkembang. Filosofi dari wings tapak merah mengajarkan pentingnya kekuatan, kesanggupan, dinamika, keberanian untuk menghadapi tantangan hingga pendirian yang kokoh.
Kisah ini adalah pelajaran berharga bagi generasi mendatang. Perjuangan mereka menjadi cermin bahwa setiap langkah menuju sukses adalah perjalanan yang tak ternilai, penuh makna dan pelajaran yang mendalam. Seperti sayap yang mengangkat mereka tinggi, setiap pengalaman yang mereka lalui akan membimbing adik-adik mereka untuk menggapai cita-cita dengan semangat dan kerja keras.
Kisah heroik ini mengingatkan kita semua bahwa kesuksesan bukanlah hasil instan, melainkan buah dari ketekunan dan semangat juang. Dalam perjalanan yang penuh lika-liku ini, 12 anggota Pramuka SMAN 1 Paiton tidak hanya meraih brevet, tetapi juga membangun karakter dan persahabatan yang tak tergantikan warisan yang akan terus dikenang dan menginspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H