Lihat ke Halaman Asli

Lomba Penulisan Bahasa dan Kita

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

MEMAHAMI BAHASA DAN KITA

Oleh : Solikhatun Isnaini

Pertengahan bulan Maret 2011, universitas negeri tempat saya menempa diri dan menimba ilmumengadakan kegiatan tahunan yaitu Pemilihan Mahasiswa Berprestasi yang melibatkan 8 fakultas. Dengan persyaratan bahwa perwakilan setiap fakultas harus mengirimkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan, melewati berbagai tes beserta pengumpulan karya ilmiah, kemudian karya ilmiah tersebut akan dipresentasikan oleh masing-masing delegasi. Selanjutnya akan dipilih satu orang yang terbaik untuk mewakili universitas dalam kompetisi serupa di tingkat nasional. Saya merupakan orang yang terpilih sebagai wakil dari Fakultas Hukum untuk berkompetisi di tingkat universitas, tiba giliran saya untuk mempresentasikan hasil karya ilmiah saya. Perasaan gugup, cemas namun berusaha untuk tetap fokus menyelimuti saya ketika menuju meja presentasi yang sudah disiapkan dihadapan semua perwakilan dari fakultas lain beserta pendukungnya dan 3 orang juri yang mempunyai kompetensi yang tidak diragukan lagi.

15 menit sudah saya lewati dengan bercucuran keringat karena tatapan tajam setiap juri seakan-akan melumat saya hidup-hidup. Pertanyaan dari juri pertama dan kedua seputar karya ilmiah dapat saya atasi dengan baik walaupun terdapat keresahanterhadap jawaban yang sudah saya sampaikan. Juri ketiga adalah Profesor dari Fakultas Pertanian yang membuat saya tiba-tiba terdiam dan tidak dapat menemukan jawabannya. Pertanyaan yang sangat sederhana dan diluar dari prediksi saya, beliau hanya bertanya, “Apakah padanan kata dari kata-kata efektif dan efisien dalam bahasa Indonesia yang sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)? Karena saya melihat dalam karya ilmiah ini, saudari banyak menggunakan kata-kata serapan tersebut?”.

Sejenak saya berfikir, berusaha mengingat dan mencari dalam lembaran-lembaran memori otak. Saya menghabiskan beberapa menit untuk mencari padanan kata yang setiap hari saya gunakan dalam berbagai kegiatan yang saya lakukan seperti kuliah, diskusi, membuat tugas kuliah, keorganisasian, kepanitiaan dan karya ilmiah. Ironis, kata-kata yang sering saya gunakan dalam setiap kegiatan bersosialisasi maupun penulisan ilmiah dan dianggap sudah benar berdasarkan pemahaman khalayak ramai sehingga saya mengabaikan penggunaan kata-kata tersebut dalam bahasa Indonesia yang disempurnakan. Akhirnya saya menjawab, “maaf saya tidak tahu pak”. Sang profesor pun tersenyum dengan bijaksana mengatakan, “padanan kata efektif dan efisien adalah mangkus dan sangkil, semoga kamu tidak melupakan dari mana kamu berasal”.

Kata-kata yang sederhana membuat saya tertunduk malu, karena sebagai seorang mahasiswa yang menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Bab IV bagian ke empat pasal 19 bahwasanya mahasiswa hanya sebutan akademis untuk siswa atau murid yang telah sampai pada jenjang pendidikan tertentu dalam masa pembelajarannya. Secara harfiyah terbagi menjadi dua kata yaitu “maha” diartikan sebagai tinggi, sedangkan “siswa” sendiri adalah pelajar atau seorang yang menunutut ilmu. Jadi arti mahasiswa menurut arti katanya sendiri yaitu, pelajar yang tinggi atau seorang yang belajar di perguruan tinggi atau universitas, yang diharapkan mempunyai pemahaman lebih terhadap ilmu pengetahuan apalagi pengetahuan mengenai bahasa negara sendiri.

Sangat tidak sesuai dengan tulisan besar yang terpampang di pintu masuk gedung rektorat yaitu Pemilihan Mahasiswa Berprestasi. Sebagai mahasiswa yang berprestasi di masing-masing fakultas, sebutan sebagai mahasiswa berprestasi sangat bertentangan dengan realita bahwa seorang mahasiswa berprestasi tidak paham bahkan tidak tahu bahasa baku kata-kata sederhana yang sering digunakan berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari.Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.

Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Seperti yang disampaikan oleh Gorys Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa simbol bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Pada saat dituntut untuk berbahasa bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Sebagai orang Indonesia menjaga kelestarian budaya merupakan hal yang wajib dilakukan setiap orang yang secara legal tercatat sebagai Warga Negara Indonesia (WNI). Dan bahasa merupakan deskripsi yang nyata mengenai jati diri seseorang, semoga kita tidak termasuk dalam kategori orang yang kehilangan jati diri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline