Pernikahan dalam perspektif hukum Islam adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan ghalizha) untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Hal itu berarti pernikahan bukan hanya sebagai kontrak keperdataan biasa melainkan juga sebagai tindakan yang bernilai ibadah. Karena itu, pernikahan merupakan sunnatullah yang harus dilaksanakan dengan benar sesuai hukum syari’ah dan memenuhi ketentuan yang diatur oleh negara.
Dalam kaitan ini negara harus hadir dan terlibat pada masalah pernikahan, dan salah satu bentuk keterlibatan negara adalah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 dan merupakan undang-undang pertama yang mencakup seluruh unsur dalam perkawinan dan perceraian, sebagai upaya penertiban dan meminimalisir praktik perkawinan sirri di Indonesia.
Sebagai bagian dari upaya tersebut, pemerintah mensyaratkan dua persyaratan perkawinan, syarat materil dan syarat admistratif. Syarat materil adalah syarat yang melekat pada rukun nikah, baik yang diatur dalm fikih maupun yang diatur dalam perundang-undangan. Sedangkan syarat adminstratif adalah syarat yang berhubungan dengan pencatatan perkawinan. Adanya penambahan pencatatan perkawinan sebagai syarat sebuah perkawinan menjadi kontroversi tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia, disebabkan oleh penafsiran terhadap Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sebagian kalangan ulama tradisional mengartikan bahwa pencatatan perkawinan bukan menjadi penentu sah tidaknya suatu perkawinan. Jika merujuk pada pasal 2 (1) yaitu Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini yang kemudian menjadi faktor yang mengakibatkan banyak orang tidak melakukan pencatatan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama (KUA) bagi orang Muslim. Terlihat dari pemahaman masyarakat Muslim tentang ketentuan pernikahan lebih menekankan syarat dan rukun fikihnya terpenuhi, tanpa perlu ‘pencatatan’. Kondisi semacam ini dipraktikkan sebagian masyarakat dengan praktik ‘nikah sirri’. Pencatatan belum dipandang sesuatu yang sangat urgen sekaligus belum dijadikan alat bukti otentik (resmi) untuk sebuah pernikahan.
Sejalan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus berubah, banyak terjadi perubahan pada masyarakat yang bersifat kompleks dan penuh dengan hal-hal yang bersifat formal seperti sekarang. Ini ditandai dengan pergeseran dari kultur lisan kepada kultur tulisan. Seseorang yang jadi saksi hidup dalam suatu peristiwa, misalnya, tidak lagi bias diandalkan sepenuhnya karena hal ini bisa hilang dengan sebab kematian atau juga mengalami kelupaan dan kesilapan. Atas dasar ini maka diperlukan sebuah bukti otentik dan tertulis yang disebut dengan akta.
Aturan-aturan tentang pencatatan nikah khususnya di Indonesia telah diformulasikan sejak lama, bahkan hampir dipastikan telah diketahui secara umum dan disadari oleh masyarakat muslim. Namun kenyataannya masih banyak yang menganggap bahwa pencatatan nikah tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan dengan alasan bahwa pencatatan nikah tidak termasuk salah satu syarat atau pun rukun. Persoalan ini cukup menarik ditelisik, karena selain berkaitan dengan kehidupan masyarakat Muslim saat ini, juga untuk mengkaji eksistensi pencatatan nikah yang sangat memungkinkan dapat menjadi penentu sah tidaknya pernikahan,apabila dikaji melalui pendekatan maslahah mursalah dan pendekatan kontekstual dengan cara menggali ‘illat, semangat, dan tujuan serta prinsip umum yang terkandung baik dalam al-Qur’an ataupun aturan perundang-undangan.
Berkaitan dengan pencatatan nikah, hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan nikah. Pernikahan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Agar diketahui masyarakat, pernikahan diumumkan melalui media walimatul ‘ursy, sebagaimana hadis yang diriwayatkan mam Muslim dari sahabat Anas bin Malik ra:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ فَقَالَ مَا هَذَا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ فَبَارَكَ اللَّهُ لَكَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“...bahwasannya Nabi saw melihat bekas kuning pada Abdurrahman bin Auf, maka beliau bersabda: "Apa ini?" Dia menjawab; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya baru menikahi wanita dengan maskawin seberat biji kurma." Lalu beliau bersabda: "Semoga Allah memberkati perkawinanmu, adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing."
Pernyataan Nabi saw “adakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing”, merupakan sebuah seruan ke arah tradisi baik ‘i’lan al-nikah’, dan sebagai salah satu bentuk i’lan al-nikah adalah walimah al-`ursy yang diperintahkan meskipun dilaksanakan secara sederhana.
Sementara ‘pencatatan nikah’ memang dapat dipahami sebagai bentuk baru dari perintah Nabi Muhammad saw agar mengumumkan pernikahan meskipun hanya sekedar memotong seekor kambing. Dalam masyarakat kecil dan tertutup terdahulu, dengan pesta pemotongan hewan memang sudah dapat dikatakan sebagai pengumuman secara resmi dan saksi syar’i terhadap sebuah pernikahan.
Dari sini, tampak bahwa pencatatan pernikahan belum dilakukan pada masa itu. Namun, spirit dan substansi yang ingin dicapai dari pencatatan pernikahan telah dimanifestasikan,sehingga pencatatan pernikahan yang dilakukan saat ini harus dilihat sebagai bentuk baru cara mengumumkan pernikahan yang lebih maslahah terutama bagi perempuan dan anak-anak.