"Pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Bagian-bagian itu tidak boleh dipisahkan agar kita dapat memajukan kesempurnaan hidup anak-anak kita."(Ki Hadjar Dewantara)
Pada tahun 2014 data UNDP mencatat bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang berhasil mengurangi angka buta huruf. Dan tingkat kemelekhurufan masyarakat Indonesia mencapai 92,8% untuk kelompok dewasa, dan 98,8% untuk kategori remaja.
Hal ini sangat berbanding terbalik dengan hasil studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada tahun 2016 lalu, yang menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 Negara soal minat membaca. Indonesia hanya berada di atas Bostwana yang berada di peringkat ke 61. UNESCO juga mengeluarkan hasil penelitiannya mengenai minat baca buku yang ada di Indonesia, yang hanya 0,001%.
Melihat fakta di atas, ada rasa keprihatinan cukup dalam yang mengusik benak saya untuk meperbincangkan permasalahan ini. Seolah -- olah Indonesia nyaris gagal melakukan proses pembudayaan literasi secara menyeluruh, meskipun tak henti-henti melakukan diskursus dalam menggairahkan minat baca kepada masyarakat.
Literasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai budaya membaca dan menulis, telah mengalami kemajuan secara progresif yaitu kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki daya berpikir kritis, dapat memecahkan masalah dalam berbagai konteks, berkomunikasi secara efektif dan mampu mengembangkan potensi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Geliat Literasi
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) pada tahun 2016 dengan membentuk kelompok kerja Gerakan Literasi Nasional agar melakukan koordinasi berbagai kegiatan literasi kepada seluruh leading sector di bawahnya.
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat (Ditjen PAUD Dikmas), melakukan gerakan literasi keluarga sebagai tindak lanjut atas keberhasilannya dalam program pemberantasan buta aksara yang sempat mendapatkan penghargaan UNESCO.
Di sisi lain Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah untuk meningkatkan daya baca siswa dengan menerapkan wajib baca 15 menit sebelum pembelajaran dimulai. Sementara itu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pengayaan sebagai pendukung bacaan bagi siswa agar lebih sensitif dalam memandang budaya kearifan lokal.
Tidak terhenti sampai di situ pada tahun 2017 lalu, Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca dan tulis. Sedemikian banyak upaya pemerintah untuk melakukan pembudayaan literasi kepada masyarakat dari berbagai sektor .
Guru dan Gerakan Literasi