Lihat ke Halaman Asli

Kebangkitan Nasional: Di Era Terbatas dan Tanpa Batas

Diperbarui: 17 Juni 2015   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


OLEH: SOLEMAN MONTORI.

Sejarah panjang keberanian dan ketulusan perjuangan bangsa Indonesia telah tertulis dengan tinta emas. Senjata konvensional bambu runcing sebagai simbol keberanian tercatat bisa mengimbangi kekuatan penjajah. Keberhasilan yang diraih melalui bambu runcing itu mendapatkan jutaan pujian yang menakjubkan. Para pejuang dari berbagai anak suku bangsa yang heterogen itu memberi pesan kuat kepada kita tentang harapan masa depan bangsa. Harapan mereka dalam perjuangan melampaui pengelompokan tradisional yang bersifat sukuisme, ras, golongan dan agama yang berbeda.

Pada saat kebangkitan nasional dicetuskan sampai awal kemerdekaan, bangsa Indonesia belum memiliki apa-apa. Semuanya serba terbatas. Satu-satunya yang dimiliki dan menjadi kekuatan mereka hanyalah hasrat untuk bersatu dan menjaga kehormatan bangsa. Saat itu semangat nasionalisme sangat kuat dan menyadarkan sebagian besar masyarakat untuk mencintai negerinya sendiri.

Mungkin kita tidak akan menikmati arti sebuah kemerdekan tanpa adanya perjuangan para tokoh bangsa yang tergabung dalam Boedi Oetomo, yang mengobarkan semangat kebangkitan nasional untuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

Para generasi muda pejuang yang menggelorakan semangat kebangkitan nasional adalah orang-orang yang tidak kaya. Mereka hanya memiliki potensi, semangat dan keberanianmenantang kecilnya kemungkinan.

Bagi mereka, kekuatan sejati bangsa Indonesia bukanlah semata-mata dari lengan atau kekayaan, tetapi dari kekuatan cita-cita, yaitu: demokrasi, kebebasan, kesempatan dan harapan yang pantang menyerah. Mereka adalah contoh orang-orang yang memiliki harapan saat menghadapi ketidakpastian, dan merupakan contoh orang-orang yang memiliki keberanian menggapai harapan.

Perjuangan mereka tidak berkiblat ke arah suku, ras, golongan atau agama tertentu. Mereka adalah pejuang murni yang bangga atas perbedaan yang telah mereka warisi, dan menolak mitos dari generasi mereka yang apatis. Mereka meninggalkan rumah dan keluarga demi Indonesia tetap jaya.

Sebagai generasi penerus, kebangkitan nasional adalah kesempatan untuk mewujudkan mimpi bersama di bumi Indonesia yang toleran, yang tidak ada hambatan bagi siapa pun untuk sukses.

Pada tahun 2015 ini sudah 107 tahun peristiwa kebangkitan nasional yang bersejarah itu berlalu. Hasilnya telah melahirkan kebangkitan stabilitas politik dan ekonomi di era orde baru pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an. Pada tahun 1986 telah terjadi swa sembada beras. TNI disegani, DPRD dan DPR dihormati, dan telah terjadi kemajuan teknologi. Namun pada tahun 1996, pertumbuhan ekonomi yang kuat menjadi rapuh. Nilai tukar rupiah terus berfluktuasi hingga saat ini.

Kebangkitan nasional adalah fakta sejarah, yang membangunkan kesadaran bangsa Indonesia untuk bersatu melawan dan mengusir penjajah. Tanpa kebangkitan nasional, mungkin bangsa Indonesia tidak ada, dan perjuangan para patriot bangsa hanyalah cerita tentang kekalahan dan kehancuran.

Tanpa kebangkitan nasional, harapan dan cita-cita untuk merdeka mungkin tidak terwujud, dan cerita kepahlawanan para patriot bangsa hanyalah cerita yang menyedihkan dan memalukan.

Kebangkitan nasional intinya adalah menggelorakan semangat perjuangan, yaitu semangat anak bangsa Indonesia yang tidak ingin dijajah, tetapi hidup bebas dalam tatanan dunia yang lebih adil dan damai. Bila nilai-nilai kebangkitan nasional tidak dihargai dan tidak dimaknai oleh generasi penerus, akan melahirkan kebangkitan baru yang kacau, yang menghancurleburkan bangsa Indonesia, karena masing-masing bangkit dengan caranya sendiri-sendiri.

Sebagai bangsa, kita tidak bisa berjalan sendirian. Kita harus sama-sama. Dalam kehidupan bersama sebagai bangsa, mungkin sebagian dari kita telah mengalami banyak hal seperti mendengar kata-kata kemarahan, atau dipaksa untuk menyerah pada ketakutan, atau frustasi karena harapan tidak terwujud dan impian tertunda. Namun, kita jangan menyerah dan meragukan bangsa sendiri sebagai tempat untuk semua hal yang baik terjadi.

Bangsa Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, tapi bukan itu yang membuat kita kaya. Kita memiliki TNI dan Polri, tapi bukan mereka yang membuat kita aman. Keberagaman etnis, budaya dan agama membuat banyak dunia mengagumi kita, tapi bukan itu mendorong mereka memuji-muji negara kita. Tetapi karena janji dan semangat untuk tetap bersatu yang membuat kita dihargai, dan mendorong kita terus maju serta terlepas dari semua perbedaan-perbedaan.

Namun di era tanpa batas ini, nampaknya sebagian dari kita lebih senang berbicara tentang penilaian yang subyektif. Pancasila, UUD 1945 dan kehidupan demokrasi, semuanya dinilai secara subjektif untuk alasan kehidupan berbangsa dan benegara yang lebih baik.

Demi memenuhi ekspektasi yang tinggi untuk bangkit, UDD 1945 diamandemen empat kali secara berturut-turut. Pada tahun 2006, Pancasila sebagai dasar negara dikeluarkan dari kurikulum pendidikan. Pada awal reformasi, sejumlah partai politik tidak lagi menggunakan Pancasila sebagai azasnya.

Namun hasil penilaian dan perubahan yang katanya baik itu tetap dikeluhkan. Ketidakadilan tetap terjadi. Politik jadi gadu. Ekonomi bergejolak. Oknum penegak hukum bermain-main dengan keadilan. Rakyat menjerit. Keluh dan derita ditahan sendiri. Walaupun telah ada hukuman mati, tapi kadang hukum tidak lagi dianggap, karena masing-masing cenderung mencari caranya sendiri.

Hukum sebagai panglima di era tanpa batas yang sepertinya sulit ditegakkan telah memperkuat sikap primordialisme dan memperlemah semangat kebhinnekaan. Akibatnya, bangsa kita di era tanpa batas ini cenderung tidak dewasa sosial. Ikatan kesetiakawanan sosial melemah, cohesiveness dalam kelompok makin menguat, dan cohesiveness antarkelompok melemah.

Sejarah manusia merekam berbagai bangsa dan suku yang mencoba menaklukkan satu sama lain demi kepentingan sendiri. Tapi di era tanpa batas ini, sikap seperti itu justru mengalahkan diri sendiri.

Di era tanpa batas ini, kita harus bangkit menghentikan penghancuran yang tidak berasal dari penyakit. Harapan patriot bangsa agar kita bersatu sebagaimana mereka telah teladankan, harus kita wujudnyatakan, bukan kita menggantinya dengan sinisme dan putus asa; atau menuding dan menyematkan kesalahan diri sendiri atau setiap masalah yang terjadi kepada orang lain atau pemerintah yang berkuasa.

Kita tidak mungkin bangkit bila selalu menunda kesempatan, tidak mau melihat ke depan dan tidak mampu mengimbangi perkembangan kemajuan, serta mengeksploitasi keluhan dan menebar rasa takut. Karena masa depan bangsa bukan milik ketakutan, tetapi milik pewaris ketabahan yang ditempa oleh perbuatan baik, bukan dengan kata-kata hampa tanpa makna. Hal ini terjadi karena kita mendefinisikan diri sebagai apa yang kita lawan, bukan apa yang menjadi tujuan bersama.

Di era tanpa batas ini, bangsa kita memiliki banyak identitas. Mulai dari suku, etnis, agama,bahasa, dan sejumlah identitas lainnya. Semuanya adalah sumber kekuatan untuk bangkit, bukan menjadi alasan untuk memisahkan diri. Kekuatan kebaikan yang dimiliki dua ratus juta lebih penduduk Indonesia jauh lebih besar daripada kebencian sempit sekelompok orang yang menghambat bangsa Indonesia bangkit. Untuk bangkit tidak hanya menjadi karya satu orang, satu kelompok, satu pihak, atau salah satu golongan, tetapi karya bersama.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline