Lihat ke Halaman Asli

KPK, Masyarakat dan Hukum

Diperbarui: 17 Juni 2015   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

OLEH: SOLEMAN MONTORI

Madu korupsi sangat mematikan, butuh banyak kelicikan bagi yang tergiur kenikmatannya, orang yang senang menikmatinya adalah bodoh. Selama puluhan tahun, aparat kepolisian dan kejaksaan tak mampu memberantasnya, malahan sebagiannya tergoda madu beracunnya. Sebagai tindakan penyelamatan dan untuk membantu aparat kepolisian dan kejaksaan lahirlah KPK sebagai lembaga anti korupsi.

Walaupun KPK hanya kecil bagai cicak karena hanya ada di pusat, namun oleh undang-undang diistimewakan dan diberi kekuatan yang luar biasa. Dalam waktu yang relatif singkat, banyak kasus korupsi diungkap dan para koruptor dibuat gemetar. Itulah sejumlah prestasi dan tindakan berani KPK yang melebihi aparat penegak hukum lainnya dalam memberantas korupsi.

Mengapa korupsi tumbuh subur di republik ini? Jawabannya walaupun orang menolak hedonisme, namun banyak orang lebih menyenangi kemewahan ketimbang hikmat; hanya sedikit orang yang menyadari bahwa kemewahan adalah pilihan paling lembek dan merugikan. Para koruptor adalah orang-orang yang senang bermewah-mewah; mereka mengutamakan nikmat ketimbang hikmat.

Ketika korupsi tumbuh subur, kesejahteraan rakyatikut dirugikan. Rakyat marah dan tidak ada satu pun yang menoleransinya. Lama rakyat tidak puas dengan pemberantasan korupsi yang hanya sebatas kata-kata. Harapan pemberantasan korupsi melalui tindakan nyata akhirnya datang, yang dipercayakan kepada KPK sebagai lembaga adhoc yang melakukan pemberantasan korupsi bukan karena pilihan, tapi melakukannya karena harus dan perlu.

Dari waktu ke waktu, kepercayaan masyarakat kepada KPK lebih tinggi daripada kepada para penegak hukum lainnya. Hal ini lambat-laun membuat para penegak hukum di KPK melupakan undang-undang sebagai kekuatannya. Dukungan masyarakat yang begitu luas dianggap oleh KPK sebagai kekuatannya. Implikasinya, lahirlah sejumlah keputusan buruk yang memunculkan perlawanan dan membuat KPK dibawa kepemimpinan Abraham Samad menjelang berakhirnya masa tugasnya semakinterpuruk.

Saat bangsa Indonesia terpuruk dan malu karena korupsi, memberantasnya adalah kewajiban yang diinginkan oleh semua pihak, namun tetap di dalam koridor undang-undang, bukan didasarkan pada besarnya ego para pemberantas korupsi di KPK. Seorang pemimpin tidak akan selamat oleh besarnya kuasa; seorang pahlawan tidak akan tertolong oleh besarnya kekuatan. Hanya hukum berkeadilan yang membuat penegak hukum kuat dan membuat hasil keputusannya adil.

KPK bukan hanya sekumpulan individu, tetapi lembaga. Menolak keberadaan KPK sebagai lembaga merupakan kemiskinan moral bagi bangsa Indonesia yang kaya korupsi. Namun memberikan kritik dan sumbang saran yang konstruktif, bahkan mendorong regenerasi pimpinan KPK sangat menolong KPK untuk melihat perbedaan antara apa yang berhasil dilakukan dan apa yang dilakukan tapi masih memiliki cacat hukum.

Pernyataan Hendy F. Kurniawan, mantan penyidik KPK yang mengundurkan diri pada tahun 2012 bahwa penetapan Miranda Swara Goeltom dan Angelina Patricia Pingkan Sondakh sebagai tersangka oleh Abraham Samad tidak melalui SOP, dan terakhir penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka tanpa diawali dengan pemeriksaan saksi dan proses hukum yang benar, adalah contoh pemberantasan korupsi yang tidak lagi didasarkan pada hukum sebagai panglima.

Pemberantasan korupsi bisa menimbulkan bencana bila penegak hukumnya membengkokan keadilan. Usul komisioner KPK, Adnan Pandu Praja agar KPK diberi kekebalan hukum (imunitas) adalah bentuk saran dan pemaafan yang tidak benar di negara yang menjadikan hukum sebagai panglima.

Pimpinan KPK hanyalah pekerja hukum dan harus patuh pada hukum, bukan berada di atas hukum. Jika sok berada di atas hukum, KPK sangat mudah menjadi korban godaan kesombongan. Kepemimpinan KPK harus demokratis, bukan dengan tangan besi. Pemimpin tangan besi mematikan nyali. Pemimpin demokratis mematikan niat jahat. Gaya kepemimpinan mana yang dimiliki Abraham Samad? Silakan masyarakat menilainya.

Menurut penulis, ketegangan KPK-Polri adalah akibat kesombongan dan gaya kepemimpinan yang tidak komunikatif. Para pimpinan KPK terlalu bangga menikmati pujian berlebihan dari masyarakat, sehingga membuat mereka begitu percaya diri dan mengabaikan hukum sebagai panglima.

Penyelesaian kisruh KPK-Polri harus berdasarkan hukum, bukan pada apa yang tidak berdasarkan hukum. Bila kisruh KPK-Polri tidak selesai, itu artinya keduanya telah berhenti pada suatu keadaan yang terus-menerus menyangkal dan tidak berdaya akibat kelumpuhan rasa bersalah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline