Syahdan, akhirnya Gus Sholah, sapaan akrab K.H. Sholahuddin Munshiif As-Sayyidani, bisa kembali hadir secara langsung bertatap muka dengan para Mahasantri Salafiyah Syafi'iyah. Sebelumnya, hampir setahun beliau tidak bisa datang karena satu dan lain hal. Kedatangan beliau, tentu, disambut antusias oleh para Mahasantri, putra dan putri. Tujuannya jelas, mengaji dan mendulang barokah.
Kitab yang diampu beliau adalah al-Asybah al-Nadhair salah satu karangan yang munomental oleh Imam al-Suyuthi, salah satu ulama yang berpengaruh di kalangan Syafi'iyah. Dalam pengajian itu, Gus Sholah, tidak hanya menjelaskan teks-teks yang dikaji, namun juga menyinggung persoalan yang mencuat.
Di antaranya yang menarik yaitu memahami kembali syarat mutlak seorang dai/guru. Hal ini, lantaran di Indonesia mulai tumbuh berkembang para dai-dai dan ustad-ustad yang kreatif. Menurut beliau, seorang dai - termasuk guru - tidak boleh memiliki rasa (sifat) lebih baik terhadap jamaahnya atau murid/santrinya.
Sebab, terkadang Allah S.W.T. memberikan tempat nan derajat mulia kepada seorang murid atau jamaahnya, bukan kepada guru atau dai (ustad), begitulah tandas beliau sebagaimana mengutip kitab Tajul 'Arusy. Oleh sebab itu, guru ataupun dai tidak boleh memiliki rasa lebih bai, lebih bagus, dan afdhal, baik kepada orang lain maupun muridnya sendiri.
Gus Sholah juga menceritakan cuplikan kisah tentang anak yang diuji oleh ayahnya dalam rangka mengetahui kesiapan mental dalam berdakwah di jalan Tuhan. Ayah itu memerintahkan anaknya untuk mencarikan dan membawakan kepadanya orang yang paling buruk di antara mereka. Mendapat perintah sang ayah, pemuda itupun berangkat.
Setelah berikhtiar lontang-lanting ke sana-kemari mencari orang yang dimaksud sang ayah, pemuda tersebut akhirnya pulang tanpa membawa siapa-siapa, sendirian. Meliahat putranya dengan tangan kosong, sang ayah langsung mengintrograsi dan menanyakan gerangan apa yang terjadi sehingga pulang tanpa membawa orang yang dimaksud ayahnya.
Dengan tangkas, pemuda itu menjawab bahwa tiada manusia yang lebih buruk selama ia temui kecuali dirinya lebih buruk. Sontak sang ayah senang karena merasa berhasil ujian yang dijalani anaknya dan siap berdakwah dalam jalan kebenaran. Lantaran tidak ada sifat yang sombong dan merasa lebih baik.
memang, sejatinya, manusia tidak boleh mengkklaim dirinya lebih baik, apapun jabatannya. Lebih-lebih merasa sombong. Sombong tak layak disandang oleh manusia. karena kesombongan hanya layak disematkan kepada Tuhan Yang Maha Agung. Imam al-Suyuthi, sebagaimana dikutip oleh Gus Sholah, menandaskan, "Allah berselimut dengan sifat kesombongannya dan berselendang dengan keagungannya. Maka siapapun yang mencabut salah satu sifat itu dari Tuhan dialah orang yang binasa".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H