Lihat ke Halaman Asli

Toleransi

Diperbarui: 18 Juni 2016   13:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Toleransi bisa diartikan, pemaafan, keterbukaan, penerimaan, pengertian, tenggang rasa. Saat sekolah di SD dulu, atau di SMP saat mengikuti penataran P4 ( Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ) kami sering diberi pengertian tentang toleransi dan contoh berperilaku toleransi. Kemudian berkembanglah arti toleransi di kepala setiap orang menurut penafsiran yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh pola pikir, wawasan, lingkungan bertempat tinggal, tokoh idola, agama, kepercayaan dan keyakinan.  Penekanan untuk bertoleransi karena perbedaan perilaku setiap orang dalam bersikap dan berreaksi dalam menghadapi setiap kejadian berbeda dalam berbagai situasi. Maka jika seseorang berbuat sesuatu dan menganggap perbuatannya masih ditoleransi oleh orang lain, sedangkan orang yang menjadi obyek toleransi, merasa orang tersebut tidak bertoleransi, akan terjadi gesekan emosi. Dan bila gesekan emosi itu sama-sama di pupuk amarah, bisa jadi terjadi sebuah kekerasan dalam mempertahankan ego dan kepuasannya masing-masing. Persepsi toleransi yang berbeda-beda terhadap sesuatu tindakan ini menjadi sebuah kerawanan dalam kehidupan sosial.

Kita sudah terbiasa ‘bertoleransi’ dengan para pelanggar. Seorang yang melanggar peraturan lalu lintas di jalan raya, seolah-olah kita harus pada posisi memakluminya, menganggap wajar dan jika Polantas menilangnya, Polantas itu yang sudah masuk perangkap ‘bahwa polisi itu menyebalkan’ dan disalahkan. Bahkan jika ada operasi lalu lintas di jalan raya, pengendara yang berpapasan atau orang yang berada di pnggir jalan memberi kode bahwa ada operasi lalu lintas. Sepertinya mereka menyetujui melanggar lalu lintas itu wajar dan mesti maklum dan petugas atau person yang mempermasalahkan itu tidak baik dan intoleran. Atau jika kita melihat ada orang mencuri kayu di hutan negara, orang-orang di sekitar atau yang melihat, seperti memaklumi dan membiarkannya. Dan menegurnya akan menjadi perdebatan penuh emosi yang mendidih. Seolah mencuri hak negara itu ‘wajar’ karena para pejabat negara juga melakukan pencurian (korupsi) dan melakukan pelanggaran yang kecil itu harus dimaklumi.

Saya pernah membaca status seseorang dalam media sosialnya, ‘polantas musuh besarku’. Saya hanya lihat sekilas dan tak mencermati berapa banyak yang me’like’ status itu. Dari sekilas membaca itu saya langsung berkesimpulan, Ia seorang pelanggar besar dalam berlalulintas. Mungkin bagi sebagian banyak orang, menulis status seperti itu sebagai hal yang wajar juga termaklumi dan lupa berpikir kalau bisa timbul rasa ‘benci’ itu karena apa. Kalau Ia selalu berkendaraan dengan benar dan berkelengkapan sesuai dengan aturan yang berlaku, Ia tak akan merasa terganggu dengan semua peraturan yang diterapkan oleh Polisi. Kasus lain; membuang sampah di kali atau membuang sampah sembarang tempat yang penting jauh dari rumahnya sendiri. Seorang yang membuang sampah di kali  dan kebetulan ada orang yang peduli dan berani menegurnya, bisa saja Ia mendapat jawaban dengan nada ketus dan kasar; “memangya harus di buang kemana lagi?! Sok lo.”, sambil matanya memerah menahan amarah. Kita sering melihat pengendara motor ataupun mobil yang dengan tanpa dosa membuang sampah seolah jalan raya sebagai tempat sampah yang setiap orang bebas membuang sampah. Dan kita dipaksa harus bertoleransi dengan keadaan seperti itu. ‘Menghormati’ suatu tindakan yang samasekali tak terhormat.

Kita menjadi terbiasa melanggar peraturan dan orang-orang di sekelilingnya juga merasa harus memaklumi pelanggaran kecil. Menegur orang yang melanggar peraturan sedangkan si penegur itu orang biasa atau bukan petugas, akan menjadi masalah sosial baru di antara mereka. Dan mengambil sikap membiarkan orang berbuat pelanggaran menjadi lebih aman ketibang melakukan kepedulian. Kebiasaan-kebiasaan kecil yang telah terbiasa menjadi beranjak ke pelanggaran besar yang juga kemudian menjadi terbiasa. Menjadi merasa tidak berbuat salah karena telah terbiasa. Menjadilah sebuah kebudayaan. Kebudayaan melanggar. Kebudayaan yang untuk menghapusnya perlu waktu lama dan ada upaya terus menerus, berkesinambungan dengan semua pihak.

Juni 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline