SUATU sejarah akan lebih kuat kesohehannya ketika di dukung dengan bukti-bukti yang berkaitan dengan sejarah tersebut. Namun sayangnya, jangankan dirawat bangunan peninggalan Jepang di Kampung Pasirgeleng, Desa Cilangkahan, Kecamatan Malingping, Kabuapten Lebak, itu banyak yang tidak mengetahui keberadaannya.
Kondisi bangunan berukuran 6x6 meter itu masih berdiri kokoh, meski di sekelilingnya sudah tertutup tumbuhan rumput liar. Pada begian belakang bangunan ini ada pintu masuk dengan tinggi sekira dua meter dan lebar satu meter. Sementara pada bagian dinding bangunan sebelah selatan dan barat terdapat jendela dengan lebar satu meter dan tinggi hanya 15 centimeter, sehingga jika kita berada di dalam bangunan yang hanya cukup diisi sekitar lima orang ini, dengan jelas kita dapat melihat ke luar.
Dua bangunan ini, ditemukan warga setempat sekira pertengahan tahun 1970-an, oleh seorang petani yang tengah nyangkul, karena pada saat itu posisi bangunan sudah terkubur. Penemuan ini sempat membuat heboh warga setempat, sebab bangunan tersebut disangka merupakan harta karun yang ditinggalkan Jepang. Namun, setelah digali dan dibersihkan, nyatanya hanya bangunan dengan tembok yang memiliki tebal sekira setengah meteran.
Cukup sulit untuk mengetahui sejarah asal-usul keberadaan dua bangunan yang disebut-sebut sebagai pos pemantau keamanan tentara jepang itu. Selain sudah tidak ada pelaku sejarah, juga belum ada pihak yang mengabadikan sejarah bangunan ini ke dalam tulisan. Warga sekitar yang dimintai informasi pun banyak yang tidak mengetahui secara detil mengenai dua bangunan tersebut. Mereka sebatas tahu bangunan itu sebagai benteng pertahanan peninggalan tentara Jepang.
Kata sebagian warga setempat, dua bangunan itu merupakan pos pemantau untuk mengawasi para romusha (pekerja paksa) yang tengah membangun rel kereta. Sebab, dari bangunan yang berada diatas bukit ini, terlihat jelas rel kereta Bayah-Malingping-Saketi membentang. Sebagian lagi menyebutkan, bahwa dua bangunan tersebut, bekas benteng pertahanan ketika jepang dikabarkan akan diserang tentara sekutu dari laut samudra indonesia.
Hal itu diperkuat dengan goresan-goresan seperti bekas peluru pada dinding bangunan tersebut, ditambah menurut pihak yang mengaku pernah melakukan penelitian mengenai keberadaan romusha di Lebak Selatan, bahwa dua bangunan tersebut merupakan pos pemantau keamanan untuk mengawasi serangan sekutu yang diprediksi akan menyerang melalui jalur laut samudra indonesia, sebab dari lokasi ini dapat terlihat jelas hamparan laut lepas samudra hindia. Dan pada saat itu tentara Jepang memprediksi pasukan sekutu akan mendarat di Pantai Bagedur, Desa Sukamanah, Kecamatan Malingping.
Dua bangunan tersebut diprediksi dibangun bersamaan dengan rel kereta api tahun 1942. Pada saat itu Jepang tengah gencar-gencarnya menggali potensi alam di wilayah Kecamatan Bayah, dengan memperkerjakan para romusha. Sehingga di Bayah, hingga saat ini masih ada sisa-sisa kampung romusha, yang sekarang Kampung Pulo Manuk.
Dari bentuk bangunannya yang menghadap ke arah laut, seakan memberikan penjelasan bahwa banguan tersebut untuk mengawasi segala aktifitas yang terjadi di laut. Pada awalnya, bangunan ini tidak terlihat seperti sekarang yang jelas terlihat dari pinggir jalan Simpang-Malingping, sebab Jepang sengaja membangunnya dibawah tanah, yang terlihat itu hanya bagian jendela yang berukuran sangat kecil, tujuannya untuk menjulurkan senjata dan alat pemantau dari dalam ruangan pos tersebut.
Hingga saat ini, kejelasan artefak penjajahan Jepang ini masih simpang siur. Disamping itu, pemerintah juga tidak memelihara dan merawat saksi bisu sejarah yang terjadi di Lebak Selatan ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H