Lihat ke Halaman Asli

Solihin Agyl

Penulis dan peneliti bahasa

Rejeki dan Teori Maslow

Diperbarui: 12 Juli 2024   10:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Rejeki--seperti apapun konsep yang telah kita pahami dan yakini--adalah sesuatu yang sudah pasti takarannya dari Tuhan yang Maha Kuasa, Allah SWT. Rejeki bisa berbentuk materi, kesehatan, teman yang baik, keluarga yang mendukung, kedamaian, kebahagiaan, kesedihan, ujian, masalah, dll.

Tapi, yang paling penting dari itu semua adalah "rejeki" yang berbentuk rasa syukur, keinginan untuk berterima kasih dan mengabdi atas Kebesaran dan Anugerah Tuhan (Allah SWT), semangat pantang menyerah untuk terus berjuang (menjemput rejeki), dan komitmen untuk merawat dan menjaga harga diri, kehormatan, dan kebermanfaatan bagi keluarga, saudara, kerabat, dan masyarakat di sekitar kita.

Dan, bila dikaitkan dengan teori HIRARKI KEBUTUHAN dari Abraham Maslow, rejeki memang berkaitan erat dengan kebutuhan umat manusia. Atau dengan kata lain, rejeki adalah pemenuhan terhadap semua kebutuhan mendasar umat manusia yang dijelaskan oleh Maslow. Maka, rejeki memang pasti tentang kebutuhan manusia secara hakiki, bukan keinginannya. Mari kita lihat satu per satu seperti apa Maslow melihat kebutuhan manusia.

Pertama, kebutuhan FISIOLOGIS yang merupakan kebutuhan yang paling mendasar dan primitif. Rejeki yang berdasarkan kebutuhan ini bisa langsung dikaitkan dengan uang atau materi. Seperti kebutuhan makan, minum atau kebutuhan sandang, pangan, dan papan.

Dan, tentu saja, hal-hal yang terkait langsung maupun tak langsung dengan kebutuhan ini boleh dimasukkan dalam kebutuhan mendasar atau rejeki yang langsung berhubungan dengan UANG/MATERI. Misalnya: Listrik menjadi kebutuhan mendasar. Bagaimana kita bisa memasak (kebutuhan fisiologis) bila tak ada listrik?

Dalam konteks KEBUTUHAN, rejeki manusia untuk kepentingan ini sebenarnya pasti dipermudah oleh Allah SWT. Hanya saja, KEINGINAN manusia sering menginterupsinya sehingga dalam beberapa hal manusia seperti merasa rejekinya seret.

Kedua, kebutuhan akan RASA AMAN. Poin ini tak bisa langsung dihubungkan dengan rejeki dalam bentuk uang. Karena kenyataannya, rejeki rasa aman bisa kita upayakan sendiri relatif tanpa biaya; misalnya, melalui sistem sosial yang tepat. Selain itu, rasa aman juga bisa didapat dari sikap EMPATI (baik memberi atau menerimanya) bagi setiap kelompok atau antar pribadi.

Misalnya, kebaikan diri bisa berpotensi mendatangkan EMPATI itu sehingga kita bisa membangun rasa empati satu sama lain. Maka, EMPATI adalah rejeki, banyak teman adalah rejeki, berhubungan baik dengan banyak orang adalah rejeki, kesehatan adalah juga rejeki, kedamaian adalah rejeki, kebahagiaan adalah rejeki, bahkan kesedihan adalah juga rejeki.

Ketiga, Kebutuhan berupa SOCIAL NEEDS. Ini mengacu pada kebutuhan untuk diakui sebagai bagian dari komunitas di dalam masyarakat. Maka, kurang lebih sama dengan poin ke-2, berempati, banyak teman, kebiasaan memberi, dan tidak mudah berharap pada orang lain adalah bentuk rejeki juga, teman yang baik adalah rejeki, keluarga yang mendukung adalah rejeki, ujian adalah rejeki, masalah adalah rejeki. Dan, yang lebih penting lagi adalah ilmu atau pemahaman akan hal ini adalah juga rejeki yang amat besar dari Allah SWT.

Keempat, Kebutuhan akan PENGHARGAAN; harga diri, kehormatan, kemuliaan, kedigdayaan, dll meskipun pada praktiknya, hal ini bisa berbenturan dengan keinginan dipuji (jaga image)---ini keinginan, bukan kebutuhan. Maka, rejeki dari Allah SWT dalam konteks ini adalah sebenarnya amat mudah alias sudah ada pada diri kita (dari dalam) kita hanya perlu menjaganya dengan baik dengan cara menjadi orang baik dan mulia.

Kelima, Kebutuhan untuk AKTUALISASI DIRI. Ini kebutuhan paling tinggi menurut Maslow. Dan, untuk mendapatkan rejeki dengan model ini, pendapat Cak Nun rasanya tak berlebihan bahwa kita hanya tinggal berusaha, bekerja, dan berkegiatan terus, terutama sesuai kehebatan alami kita. Di sini, rejeki uang hanyalah sebagai dampak. Memang, lebih bagus bila kita sambil memikirkan untuk mendapatkan uang dari kegiatan-kegiatan yang konstruktif itu agar kebutuhan kita yang lebih mendasar dan primitif terpenuhi juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline