Lihat ke Halaman Asli

Solihin Agyl

Penulis dan Peneliti Bahasa

Memento Mori

Diperbarui: 16 Desember 2023   13:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Bayangkan, 7 hari ke depan adalah hari terakhir kita di dunia ini, dan kematian akan segera menjemput. Artinya, hari--hari yang akan datang adalah perjalanan dari satu detik ke detik lainnya yang sungguh berarti dalam hidup kita. Perenungan serta diskusi personal (dialektika) seperti ini memang sudah selayaknya kita lakukan. Harapannya cuma satu: agar ibadah kita semakin bermakna (meaningful) dan berkualitas; seperti apapun itu bentuknya---baik itu ritual amal ibadah sesuai tuntunan agama ataupun perbuatan baik lainnya.

Maka, anggap saja tulisan ini sebagai nasihat buat diri kita sendiri, juga keluarga besar kita, serta kawan dan handai taulan. Bukankah kematian adalah nasihat yang terbaik? dan kita semua sudah sangat mafhum bahwa kematian adalah sepasti-pastinya fenomena alam yang (bakal) terjadi. Lalu, apa saja yang hendak Anda lakukan bila kematian Anda akan datang 7 hari dari sekarang?  

Tulisan ini adalah semacam Memento Mori: ajakan untuk mengingat hari kematian kita, baik itu yang datang secara alami maupun yang datang karena sebab lain. Dalam sejarah perjalanan hidup manusia, Memento Mori sangat bermanfaat mendorong setiap pribadi untuk menggunakan waktu yang dimiliki; di saat sekarang dan 7 hari ke depan sebaik mungkin yang bisa diupayakan sehingga semuanya menjadi sangat berkesan dan berarti.

Dengan Memento Mori, umumnya kita akan mengajukan pertanyaan yang amat jujur pada diri sendiri, misalnya: Apa yang paling berharga/bernilai dalam hidupku? Hidup seperti apa yang memuaskan bathinku atau membuat jiwaku tenang? Bagaimana aku bisa mencintai diri sendiri, keluarga, dan orang lain dengan lebih baik? Kebaikan apa yang bisa aku pikirkan, katakan, dan lakukan hari-hari ini? Pendek kata, hal-hal apa yang akan kita lakukan dalam 7 hari ini? Dengan demikian, kita pasti tidak akan menyia-nyiakan waktu yang dianugerahkan pada kita setiap hari.

Sebagai simulasi saja (mengacu pada sebuah strategi "berfokus" oleh Christina Bengtsson), bila kita memandang kematian sebagai momen/target untuk pikiran, perkataan, dan tindakan agar hidup kita bisa lebih bermakna, maka kita akan hanya memikirkan sesuatu yang paling penting dan paling substansial saja dalam sisa hidup ini.   

Dan, sejak hari ini, kita tidak akan lagi berjibaku dengan masalah yang remeh-temeh, misalnya: marah-marah saat disalip kendaraan lain dari sebelah kiri di jalan. Atau, tersinggung dengan kata-kata kotor netizen di medsos. Juga, mudah terbakar emosi dengan pasangan atau anak-anak karena perbedaan pendapat yang kecil saja.

Memento Mori memberi peringatan bahwa semua orang menjadi obyek yang sama di hadapan kematian: tak ada yang tahu kapan ajal menjemputnya. Tak seorang pun memahami siapa (akan) berumur berapa; tua, muda, miskin, kaya, terkenal atau bahkan orang yang terkucil di sudut bumi tak secuilpun memiliki info yang pasti tentang kematiannya.

Kembali pada strategi Christina Bengtsson tentang "fokus" itu, mari kita anggap kematian kita sebagai fokus/target kita. Berarti kematian dalam keadaan islam dan baik adalah "tujuan utama" kita. Selain itu, kita harus menjauhkan diri dari penghalang-penghalang yang memungkinkan kita mati dalam keadaan non-islam dan tidak baik (Na'udzubillahi Min Dzaalik). Dan, amalan-amalan baik yang akan memastikan kita mati dalam keadaan islam---dalam 7 hari ke depan---harus selalu kita lakukan dari detik ke detik. Apa saja itu?

Pertama, kita harus berpikir ulang bahwa tujuan hidup setiap orang justru mestinya dimulai dari momen kematiannya masing-masing. Maksudnya, momen kematian dan/atau kehidupan sesudah kematian dijadikan tolok ukur utama bagi manusia untuk merancang tujuan hidupnya. Bukankah tak ada yang lebih pasti dari pada kematian? Bahkan, orang yang tak percaya pada Tuhan dan agama pun amat yakin bahwa kematian pasti akan menjadi titik akhir dari kehidupan mereka.

Sialnya, banyak sekali manusia yang mendasarkan tujuan hidupnya pada sebuah keinginan saja. Padahal keinginan itu, betapa pun amat yakinnya seorang manusia pada pencapaiannya, belum pasti terjadi. Ambil contoh saja, misalnya, seseorang yang ingin menjadi pebisnis sukses. Ia memulai sebuah perencanaan bisnis yang matang: ia mulai dari menabung dan berhemat, bersekolah khusus di jurusan bisnis, selepas sekolah ia masih aktif mengikuti training dan workshop ini-itu, ia juga mencoba menjalankan bisnis kecil-kecilan dan bekerja sama dengan orang-orang yang ia percaya, kemudian ia merambah ke bisnis yang lebih besar dan serius. Apakah ia akhirnya pasti menjadi pebisnis yang sukses? Belum pasti.

Atau, bila seseorang memiliki cita-cita menjadi presiden, dan dia sudah merancang semua jalan-nya dengan penuh keyakinan untuk menuju ke cita-cita itu, apakah ia, pada akhirnya, pasti menjadi presiden? Tidak pasti juga. Apalagi, untuk menjadi seorang presiden, bukankah seseorang membutuhkan perolehan suara yang cukup dari para pemilihnya? Dan suara pemilih sama sekali tak bisa pasti ia kontrol.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline