Lihat ke Halaman Asli

"Pembunuhan" Masal Petani Tebu PTPN XI

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Petani Tebu "Dilarang" Sejahtera

Menanam tebu, mungkin bukan suatu pilihan strategis bagi petani waktu itu. Bahkan jika boleh memilih, petani akan lari dan menghindari untuk menanam pohon penghasil gula tersebut. Namun, karena adanya ploting area kebun, petani pun tak bisa menolak permintaan pemerintah otoriter untuk menanamnya.

Kajian sederhananya pun bisa menjawab, bahwa menanam tebu tidak menjanjikan kesejahteraan bagi petaninya. Lagi-lagi, karena terpaksa dan dipaksa, waktu itu pun tebu tertanam di ribuan hektar lahan milik petani.

Manajerial sejumlah pabrik gula (PG) waktu itu, konon tidak pernah berpihak kepada petani tebu. Warisan sistem yang kental dengan cara-cara feodal, seperti negara pendiri sejumlah PG (Penjajah : Belanda), semakin memperparah dan menjepit para petani tebu 'paksaan'.

Namun, kondisi itu semua berbalik 360 derajat, saat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomer : 527/MPP/Kep/9/2004, Tentang Ketentuan Impor Gula, berani ditetapkan Menteri Rini M Sumarno Soewandi, pada tanggal 17 September 2004 lalu.

Keputusan sang Menteri era Presiden Megawati Soekarno Putri itu, bukan lahir karena sang Menteri baru menerima wangsit dari guru spritualnya. Atau, karena sang Menteri baru saja memperoleh bisikan gaib. Tetapi, proses panjang gerakan para aktivis petani tebu lah, yang mampu menekan pemerintah dan akhirnya pemerintah mengeluarkan kebijakan tersebut. Namun apa pun itu, SK sang Menteri Rini Soewandi sudah membuka masa depan kesejahteraan petani.

Sejumlah aksi demonstrasi pun, terpaksa dilakukan para aktivis petani tebu, untuk menuntut hak mereka. Terlebih sebelum SK sang Menteri Rini Soewandi turun, mereka tak mampu dengan kepungan dan gempuran gula impor yang dilakukan dengan sebebas-bebasnya. Karena waktu itu, masih berlaku sistem Importir Umum.

Regulasi produk Menteri Rini Soewandi, dinilai hingga saat ini masih berpihak kepada petani. Penilainya pun, bukan saya, bukan kamu dan bukan kita. Tetapi, penilai keperpihakan tersebut ialah petani yang bersentuhan langsung dengan SK sang Menteri tersebut. Kenapa demikian, karena SK sang Menteri itu berani mengatur utuh tentang katub pengamanan masa depan kesejahteraan petani tebu.

Bayangkan saja, dalam SK sang Menteri Rini Soewandi itu, tertuang aturan ketat tentang sistem impor gula. Bahkan, institusi atau perusahaan yang diperbolehkan mengimpor gula, ialah bagi mereka yang memiliki izin Importir Terdaftar (IT). Pemilik izin itu pun tidak diobral begitu saja, melainkan hanya berhak dimiliki perusahaan pengelola gula, dengan bahan baku tebu sedikitnya 75 persen bersumber dari petani.

Kenapa demikian?, agar permintaan dan ketersediaan tebu milik petani dapat terkontrol. Selain itu, SK sang Menteri Rini Soebandi juga berani menentukan kebijakan Harga Pokok Petani (HPP). Sederhananya, HPP itu lah yang nanti memberikan jaminan harga gula terendah milik petani. Bahkan bagi perusahaan yang memiliki izin IT, berkewajiban memberikan dana talangan (pengganti) kepada petani, jika harga gula milik petani terjual dibawah HPP.

Asumsi kalkulasi sederhananya, jika HPP gula kristal putih terbaru senilai Rp 8.500, seperti yang tertuang pada Permendag Nomor : 45/M-DAG/8/2014, dan hasil lelang gula hanya laku dengan harga Rp 8.300, maka selisih Rp 200 wajib ditanggung pemilik IT.

Ironi mulai muncul kembali, saat direksi PTPN XI yang juga tercatat sebagai pemilik IT, tidak lagi bersedia memberi dana talangan. Bahkan sekretaris PTPN XI Khoiri, terang-terangan mengatakan bahwa PTPN XI merasa tidak wajib memberikan dana talangan kepada petani. Sebab sejak Desamber 2011 lalu, perusahaan BUMN tersebut sudah tidak lagi bertindak sebagai Importir Terdaftar. (Surya : 16/10/2014).

Pernyataan direksi PTPN XI tersebut, mendapatkan kritikan keras Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Bahkan ketua harian APTRI Sunardi Edi Sukamto, menilai bahwa direksi PTPN XI "berulah" untuk lepas dari tanggung jawabnya memberikan dana talangan, sesuai amanah konstitusi. Perseteruan direksi PTPN XI dengan para aktivis petani tebu pun pecah.

Bagi saya, teriakan lantang para aktivis APTRI itu sangat wajar. Terlebih, upaya "cuci tangan" direksi PTPN XI yang acuh dan enggan memberi dana talangan, sangat tidak mencerminkan perusahaan BUMN yang menjadi instrumen negara. Padahal amanat konstitusi, negara hadir untuk mengkawal kesejahteraan rakyatnya.

Saya pun sebenarnya ragu. Nominal Rp 8.500 sesuai HPP, tidak mampu membuat petani tebu untung. Bahkan salah seorang petani bernama Ahmad Sani, masih mengaku rugi meski HPP Rp 8.500. Dia menyampaikan langsung saat bertemu dengan Jokowi di Padepokan tokoh petani tebu H.M. Arum Sabil di Tanggul Jember (7/10) lalu. (Jawa Pos Radar Jember : 8/10/2014).

Pernyataan Ahmad Sani itu pun bisa benar. Apalagi Dewan Gula Indonesia (DGI), pernah merekomendasikan agar HPP gula kristal tahun giling 2014 senilai Rp 9.500. Rekomendasi tersebut hasil kajian dan penelitian tim independen (Tak Memiliki Kepentingan Langsung) yang beranggotakan peneliti dan akademisi.

Namun, lagi-lagi petani seolah tidak diperbolehkan menerima haknya, untuk hidup sejahtera dari manisnya tebu mereka. Sunardi Edi Sukamto bersama aktivis APTRI lainnya, seolah kembali ditantang turun aksi dijalanan untuk menuntut hak mereka. Bahkan, Edi dan ribuan petani tebu mitra PTPN XI, kembali dipaksa merugi dan seolah dilarang sejahtera dari menanam tebu. Lantas, apakah ini bukti dari kemunduran kejayaan pertebuan nasional?. Semoga saja tidak. (rully efendi, 17/10/2014)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline