Jumat, 3 Februari 2023, pria bertubuh jangkung itu terbangun dari tidur. Melihat jam pada ponselnya. Pukul 03.05. Segera ia ke kamar kecil di kos tempat tinggalnya. Tak berselang dua puluh tarikan nafas, ia keluar dari kamar kecil, dengan mendahulukan kaki kanan. Merebahkan tubuh pada kasur setebal sepuluh sentimeter.
Lima, sepuluh, lima belas menit, matanya tak mau dipejamkan. Berusaha fokus. Menghayati setiap tarikan dan hembusan nafas, sambil berdzikir. Berkali-kali ikhtiar tersebut dilaksanakan. Tetap saja, matanya tidak mau menghargai tubuhnya yang capai selepas kerja. Ia baru pulang dari kerja pukul 01.30.
Pria yang biasa disapa Ka One itu mulai tak nyaman. Ditambah lagi dengan perutnya yang berirama tak bernada. Bunyi aneh. Menusuk hingga lambung. Ia bangun,melihat isi dapur di kamar berukuran lima kali enam meter. Kosong. Lalu ke meja makan dekat tempat tidurnya, nihil. Seolah orang yang stres menghadapi hidup, ia memutar otak agar perutnya tidak lagi menggerutu.
Dibukanya tas jinjing berwarna ungu, Alhamdulillah, batinnya. Ia menemukan selembar uang lima ribuan. Segera ke luar kos, menyusuri Kota Tilamuta. sepajang perjalanannya sepi. Semoga aku tidak dianggap maling, kata hatinya. Lampu di sepanjang jalan menerangi bias embun. Tampak dedaunan mengkilap basah. Ia terus berjalan menabrak embun itu. Mungkin juga jatuh di kepalanya yang hampir botak. Namun ia tak merasakan keadaan itu. Lilitan perutnya mengalahkan embun. he..he..
Semoga masih ada lapak yang buka, batinnya berbicara. Aku yakin, ia berkata kepada hatinya. Belajar dari kisah Siti Maryam, isteri Nabi Ibrahim yang mendapatkan air di padang tandus tak berpohon, apalagi berawan pekat. Melalui ikhtiar, berlari dari Bukit Safa ke Bukit Marwah. Tujuh kali. Lalu kembali ke tempat anaknya, Ismail dan menemukan air yang keluar berpencar. Itu yang membuat Ka One yakin.
Melewati Pasar Minggu Tilamuta, keadaang lengang alias sepi tanpa orang. Semua lapak tertutup. Ia terus berjalan dengan keyakinan tinggi. Allah sedang menilaiku, apakah usahaku bersungguh-sungguh. Sepanjang jalan, ia berbicara dengan dirinya sendiri, karena tak ada teman berjalan bersamanya.
Di Kompleks Tugu Jagung, masih ada satu lapak yang terbuka. Alhamdulillah. Ka One tersenyum. "Terima kasih, Tuhan."
Seorang gadis belia, berambut lurus sehingga bahu. Hitam berkilau. Alisnya menggaris rapi di atas kulit wajahnya yang bersih. Gadis itu menebar senyum, menyambut Ka One. Lesung pipitnya tampak sedalam setengah sentimeter. Ka One sempat menatapnya. Terkesima, selama satu menit, tak mengedipkan mata. Astagfirullah, ia tersadar, bahwa yang di hadapannya bukan muhrim.
"Beli tahu, Nou."
"Belum ada isinya, Pak"
Lapak di Gorontalo, biasanya menjual tahu yang berisi sayuran. Penduduk lebih mengenalnya dengan tahu isi.