Guru honorer, dari dulu hingga kini selalu menjadi isu hangat untuk diperjuangkan. Apa yang diperjuangkan? Ya, kesejahteraan dan pengakuan terhadap mereka.
Guru honorer, secara organisasi maupun individu terus berjuang. Status mereka tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan. Pengalaman empiris, menyatakan bahwa waktu bekerja guru honorer sama dengan ASN. Tanggungjawabpun sama. Namun kesejahteraan tidak setara.
Pada Puncak Hari Ulang Tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-76, Presiden Jokowi menyampaikan bahwa Pemerintah memperhatikan guru honorer melalui skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Hal tersebut diperkuat dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. Regulasi tersebut adalah bukti komitmen pemerintah dalam memperhatikan guru honorer.
Namun, apakah kebijakan tersebut cukup "sakti" untuk mengentaskan permasalahan guru honorer? Kita bisa melihat kenyataan. Rekrutmen P3K sudah menapaki tahap ke-2. Dan, akan ada lagi tahap ke-3. Sementara, tahap ke-1 sebagian daerah masih dalam proses penuntasan. Saya telah menelusuri situs https://data-sscasn.bkn.go.id/info, namun belum menemukan informasi hasil rekrutmen guru P3K (untuk daerah saya, Kabupaten Boalemo).
Di antara yang telah lulus P3K, masih banyak yang menunggu "giliran". Mereka sangat bersabar dan "menunggu antrian." Masih tetap dalam posisi siap sedia. Seperti dalam lomba lari atletik. Belum ada "gerbong" yang akan menghantarkan kepada terminal kesejahteraan. Berapa lama? Ya, kita berharap secepatnya. Secepat langkah kaki mereka menuju sekolah. Secepat kayuhan sepeda ontel menyusuri lereng dan bebukitan.
Kesejahteraan guru honorer berada pada jalur harapan dan kemampuan. Harapan bahwa gaji yang diterima sesuai dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Kabupaten/Kota. Kemampuan berkenaan dengan keadaan keuangan daerah.
Apabila kemampuan keuangan daerah berbanding lurus dengan harapan, maka mustahil UMP/UMK tidak terpenuhi. Demikian pula sebaliknya.
Di sisi lain, tuntutan terhadap peningkatan mutu pendidikan bagaikan corong yang tidak pernah berhenti. Kapan dan di manapun, tuntutan itu selalu menggema, baik dalam pertemuan formal maupun non formal. Dan yang disasar oleh gaung peningkatan mutu adalah guru, tidak dipisah guru ASN dan guru honorer. Guru, titik. He..he..
Padahal, regulasi yang mengatur kesejahteraan guru banyak bertebaran di dunia maya. Mudah di akses dan dicermati. Menjadi dasar oleh pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan.
Di antara regulasis tersebut adalah Pasal 14 ayat 1 (a) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berbunyi "dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial". Regulasi tersebut jelas dan penting. Regulasi tentang upah layak untuk penghargaan atas jasa profesi guru. Sebagai tindakan kompensasi atas kinerja mereka.
Ada Isu Sentral yang Penulis Tawarkan