Politik. Belakangan ini kata "politik" terdengar sangat menjijikkan disebagian kalangan masyarakat, kemungkinan persepsi itu ada karena memang yang sering terjadi dan terlihat dari politik adalah ketidakadilan.
Apalagi jika kita mengingat sejarah kekejaman politik yang dilakukan oleh Adolf Hitler, Mao Zedong, Josef Stalin, Pol-Pot dan masih banyak lainnya, tentu saja kita akan mengutuk keras perihal politik.
Kendati demikian, namun tetap tidak bisa mengubah makna dari politik yang sesungguhnya , karena ada yang suci dari polotik yaitu justice(keadilan). Maka setiap orang yang berpolitik seharusnya tujuan agungnya adalah mengaktifkan dan mendistribusikan keadilan.
Politik itu seperti angin, tak bisa kita hindari, maka buatlah agar angin itu tetap segar. Setiap manusia punya potensi untuk menjadi manusia politik, maka jadilah politikus yang sehat.
Dan politik hari-hari ini benar-benar tak bisa kita hindari karena memang ini tahun politik, tahun pemilihan umum calon presiden dan calon legislatif secara serentak.
Ada yang memilih untuk bertahan dijalur netral, ada yang konsisten untuk golput dan ada yang menunjukan dukungannya secara frontal. Secara etis tentu semuanya itu sehat, namun ada juga yang terkena dampak dari mendukung capresnya secara frontal.
Seperti yang diberitakan baru-baru ini, bahwa ada 6 guru honorer dipecat akibat mendukung capresnya secara terang-terangan. Kendati pemecatan itu konstitusional, tapi itu sangat berdampak bagi mereka.
Ditengah kebingungannya mencari pekerjaan, mereka yang bekerja sebagai guru honorer kini bernasib malang karena masuk ke zona politik.
Dampak dari itu kini berkelanjutan, karena para guru-guru ataupun ASN harus menyembunyikan sikap politiknya, batin mereka berdebat sedemikian panjang, karena ingin mengungkapkan sedemikian keluhan akibat dari program dan kebijakan pemerintah tapi harus dibungkam oleh peraturan, dituntut harus pasrah menerima keadaan.
Dan dampak yang selanjutnya adalah perpecahan diantara para pendukung.
Kontestasi pemilu harusnya disambut dengan riang gembira, bukan dengan permusuhan.
Kendati, memang setiap kontestan dan para pendukung kontestan selalu ingin yang jagoannya itu menang. Tak ada soal, selama itu tidak menimbulkan pertumpahan darah sesama anak bangsa.
Maka solusinya adalah berperang dengan argumen, bukan dengan sentimen.
Sejatinya Pilpres memang kontestasi politik, karena siapapun pemenangnya kelak, ia harus bertanggung jawab atas rakyatnya, tentang bagaimana ia harus mampu mendistribusikan keadilan. Misalnya dari hal yang sederhana, tentang kebijakan harga cabai, dengan menaikan harga cabai.