Lihat ke Halaman Asli

Naik Kereta

Diperbarui: 22 Maret 2019   18:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku enjoy aja saat panitia menunjukkan tiket kereta, bukan tiket pesawat. Sebab naik kereta pun menyenangkan, santai, dan pemandangannya seru.

Gimana gak nyantai coba, 9 jam duduk manis menunggu masinis membawa kereta hingga Jogyakarta.

Tapi beneran aku senang, sebab banyak pemandangan indah yang bisa dilihat. Terutama, ada waktu membaca buku lebih tenang.

Gak terasa, satu buku tamat. Gak semua dibaca sih, bagian teori aku lompat, fokus baca teknik yang dipaparkan.

Tapi itu rekor lho, biasanya gak pernah tamat. Punya ratusan buku, gak ada yang selesai kecuali bukunya Napoleon Hill (lupa judulnya apa).

Sekonyong-konyong aku gelisah saat membaca pesan wa, seorang ibu menunjukkan tanda tangan putrinya. Aku udah menduga anak ini mendapatkan tekanan, lalu si ibu menguatkan dengan cerita, "anakku gak mau pulang. Milih ikut ke tempat aku praktek."

Tuh kan bener.

Pertanyaanya, tekanan apa? Sehebat apa tekanan itu sampai anak gadis ini tak mau pulang?

Aku bisa ngerasain sih dari bentuk tanda tangannya, ada rasa ketakutan luar biasa. Tapi "luar biasa" itu gak bisa dipahami oleh orang lain, cuma aku yang paham. Atau mungkin peserta kelas online analisa tanda tangan.

Sayangnya si ibu ini gak belajar analisa tanda tangan, jadi dia gak paham kecuali apa yang ditunjukkan anaknya. Padahal, anak gak akan jujur dengan  apa yang dia rasakan. Malu pastinya. Aku pun gak enak buat jujur sebab khawatir menganggu pikiran si ibu.

"Bawa aja ke rumah aku ya Bu buat di terapi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline