17 Agustus 2012
Dalam satu ruangan yang lengang, mereka masing-masing beriak tenang. Ada satu yang termangu di depan jendela, ada yang mengetik, ada juga yang sedang mengusutkan kening saat melihat Koran hari itu. Dirgahayu Indonesia Ke- 67.
Kartini menyengir santai, walau hatinya terasa terbahak puas. Indonesia masih hidup? "Kawan, Indonesia hari ini berulang tahun!"
Jemari Cut Dien berhenti bergerak. Mungkin, ia tersentak. Bersikap kalem, membenamkan matanya yang terbelalak. Ia memutar punggung, bertatap mata dengan Kartini. "Indonesia berulang tahun?"
Pattimura yang sedang duduk termenung pun terlonjak. "Benarkah? Indonesia masih bertahan?"
Kartini mengangguk lemas, tanpa daya.
"Apakah wajahku masih tertoreh di uang lima puluh ribu?" tanya Cut Dien mendesak, seiring dengan nada bicaranya yang hampir tersedak. Bergetar, juga gentar.
"Sayang, belum ada Koran khusus untukmu, ya. Sehingga kau tidak perlu ketinggalan zaman begitu," Kartini mendelik tajam ke arah Cut Dien, melipat tangan di dadanya. "Wajahmu sudah lama lenyap dari uang lima puluh ribu. Sekarang, uang Indonesia satu itu sudah berganti tokoh, sekaligus warna. I Gusti Ngurah Rai yang memantau di sana. Ingin mengadakan survei, katanya. Ia ingin mengecek, apakah ada kejujuran yang disekap jauh-jauh di depan hadapan uang lima puluh ribu?"
Cut Dien tertawa. Ia kembali meneruskan ritual mengetiknya. "Baguslah, kalau begitu. Sungguh, aku benar-benar tak nyaman bila wajahku ada di sana. Bukan begitu, Thomas?"
Pattimura melirik Cut Dien. Nama aslinya terselip dalam kalimat tersebut. "He? Ya, begitulah. Walau wajahku termasuk dalam uang seribu, tetapi tetap saja. Banyak juga kok, orang yang menyelewengkannya."
"Duh, sudah hentikan. Aku nggak tega mendengar perbincangan kalian. Indonesia pasti sekarang sudah ambruk, sudah sekarat. Tetapi lihat saja, Indonesia sudah di ujung ambang, masih saja ada yang menyambitnya berkali-kali. Bisa jadi, pecutan itu lebih perih dibandingkan malaikat pencabut nyawa," ujar Kartini, menundukkan wajahnya lesu.