Lihat ke Halaman Asli

Peri Bahasa

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin panas memantik tawa di setiap bibir, menjentik suasana keruh menjadi jernih seketika. Cekikikan mungil bernada lugu bertebaran di setiap penjuru taman. Sinar matahari yang menyongsong, menyorot bibir-bibir itu–semakin membekaskan makna emotif dalam sebuah seni.

Tawa-tawa yang saling bersua, ternyata membungkusku dalam satu sekat penuh senyap. Aku tak ikut tertawa. Hanya keheningan menjalar di sekujur tubuh, membuat tanganku gemetar tak terkendali. Di bawah pohon, dalam pelukan buku sketsa, aku terpaku dalam putaran bayang-bayang hitam.

Aku tercenung. Diam. Menatap nanar gerak-gerik mereka, anak-anak kecil lainnya yang sedang merengkuh bahagia. Bagaimana mereka bermain, berlari, mengundang keindahan dalam satu titik yang selalu stagnan. Di sinilah aku, dalam kesendirian, menatap nyalang siluet-siluet mereka yang menggelayut dalam kanvas langit.

Aku kesepian. Bisuku membopong kepahitan yang tak bisa kutepis. Wajah ayah yang selalu benci saat melihat anak laki-laki menangis, menempel lekat dalam benakku yang miskin akan bahasa. Aku menunduk, merasakan desir haru yang menerpa seluruh darahku yang mengalir. Aku tahu, kesendirian lebih memedihkan dibanding tangis. Karena dalam kesendirian, sebuah perjanjian terjalin antara aku dan aku–hanya aku, yang tahu bahwa ada tangis yang tak tergambar, namun merembesi lereng hati.

Aku merogoh pensilku, menorehkan aksara, benar-benar sebuah huruf yang tercetak di selembar kertas putih.

Aku benci bahasa. Aku benci makna yang tersirat di setiap bahasa.

Aku menggigit bibir. Merasakan kesepian yang menyambit, keheningan yang mengikis waktu, yang meleburkan aku menjadi debu yang tak berarti.

Dan di saat itulah engkau datang, sebuah sinar yang terpercik dari nyala matahari, menembus awan, gemerlapan di mataku. Hingga aku tertarik, terisap, terjerat oleh sinarmu.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. Aku tahu, di saat itulah aku merasakan sebuah definisi yang merapuhkan segala sel-sel tubuh. Aku sadar, bahwa aku tak sendiri lagi. Bahwa aku tak lagi dilandas sepi. Karena aku, telah menemukan sinar kecil yang sangat berarti. Sinar yang menggilaskan cinta, pada setiap gersangnya sebuah hati.

***

Tiga puluh tahun kemudian...

Aku lebih suka memanggil ruangan ini dengan nama Scriptorium. Sebuah ruangan kecil yang sesak dengan buku-buku berbaris, tumpukan-tumpukan kertas yang bertebaran di lantai, dan yang tak pernah terlupakan–dekat dengan jendela, sebuah meja kecil yang terletak sendiri di pojok ruangan.

Di meja ini, terlahirlah sejumput ritual yang sudah membatu dalam kisah hidupku. Di meja inilah aku selalu berbincang dengan satu-satunya teman hidupku, teman pengusir senyapku, Peri Bahasa. Dengannya, tercipta sebuah aliran perbincangan yang mengalun indah. Menyejukkan telinga. Melegakan napas, sekaligus hati. Di saat waktu yang terus memantul cepat, aku selalu menyempatkan diriku untuk berdiam sendiri, menopang dagu di meja ini, mendengarkan bisik-bisik halus yang diucapkan oleh Peri Bahasa.

Tepat hari ini, hubunganku dengan Peri Bahasa sudah terjalin selama tiga puluh tahun. Tiga puluh tahun yang lalu, di mana aku sedang berdiri gamang dalam jembatan kehidupan, dia datang membawakan sinar yang sangat memesonakan indra. Sinar itu menerpa, menggelayut dalam senyumku, hingga merasuki setiap ketukan jantung dan denyut nadiku. Aku terpana, sekaligus bangga. Aku tak pernah sesetia ini sebelumnya dengan seseorang. Aku tak pernah secinta ini dengan sebuah makhluk. Bahkan, posisi orang tuaku tergeser oleh identitasnya.

Karena Peri Bahasa, adalah separuh dari napasku.

Menurut orang-orang yang rela menjadi budak sebuah bahasa, Peri Bahasa mungkin diklasifikasikan menjadi kumpulan ‘alter ego’. Ya, alter ego. Saat mendengar kalimat itu, aku langsung menyusutkan kening. Membiarkan waktu menyambitku berkali-kali. Alter ego? Tokoh fiksi yang kubuat sendiri? Persetan! Siapa manusia yang berani-beraninya menyebut Peri Bahasa hanya sebuah tokoh bualan yang mengada-ada? Peri Bahasa itu nyata! Peri Bahasa selalu mengisi hari-hariku selama tiga puluh tahun! Tetapi, mengapa... ah, tak sepatutnya aku percaya, karena aku benci setiap kata yang bertitel bahasa. Lebih-lebih, Bahasa Indonesia. Jadi, buat apa aku ikut tunduk kepada mekanisme yang tak adil itu?

“Sampai kapan kamu mau membenci sebuah bahasa?”

Aku menyengir, itu dia suara Peri Bahasa. Aku percaya dia ada. Walau wujudnya tak tampak, tetapi bisiknya selalu terdengar sampai segenap darahku. “Sampai aku dapat menciptakan bahasaku sendiri. Bahasa yang benar-benar berbeda. Tak mengandung syarat. Murni akan sebuah pengalaman panjang.”

Peri Bahasa menghela napas. Dia letih di awal perbincangan. “Sudah tiga puluh tahun aku ada, sudah tiga puluh tahun aku mendengar keluh kesahmu. Sampai sekarang, aku masih tidak mengerti. Aku tidak mengerti apa rencanamu di balik semua rangkaian hidupmu ini. Berbekal kekayaan orang tuamu yang menggunung, kamu menuntut ilmu di bidang bahasa. Sebuah gelar berhasil kamu dapatkan, dan... sepertinya kamu sudah bisa memegang semua tatanan bahasa. Pembendaharaan kata-kata. Tetapi, mengapa kamu masih saja memenjarakan dirimu dalam kungkungan yang miskin akan sebuah aksara? Ke mana saja ilmu bahasa yang sudah kamu cari?”

Aku tersenyum sinis, mengusap wajahku yang dilanda pening. Aku berceletuk bebas, “Kamu seperti baru mengenalku, ya. Dengar, hanya dengan cara itulah aku bisa merombak segala hukum Bahasa Indonesia yang sudah terpatri lama. Hanya dengan cara itulah aku bisa memegang teguh keadilan. Sekarang, aku berbalik tanya, memang apa saja fungsi yang diberikan Bahasa Indonesia untuk kita?”

Peri Bahasa tertegun sejenak. Tak lama, ia mendeham, sedikit kesal dengan sikap keras kepalaku. “Sampai sekarang, Bahasa Indonesia masih memegang simpul fungsi komunikatif bagi rakyatnya. Tak ada Bahasa Indonesia, hancursudah. Sistem pendidikan bisa runtuh, segala kebodohan bisa termuntahkan hingga ke akar-akarnya. Sekarang, tengok dirimu. Kamu bisa mendengar, bisa meraup pengetahuan, itu berdasarkan bahasa, bukan? Tak ada bahasa, tak akan tercetus idemu untuk menghapus semua kata yang tertoreh dalam kamus, dan menciptakan bahasa sendiri!”

“Aku sudah tahu itu sejak dulu, Peri Bahasa. Bahasa Indonesia menjadi penghantar makna untuk manusia-manusia yang normal. Lalu, apa lagi yang telah dilakukan Bahasa Indonesia untuk kita?”

“Tak sepantasnya sarjana bahasa melontarkan pertanyaan ini. Seharusnya kamu tahu, Bahasa Indonesia juga bersifat integratif. Dialah salah satu medan yang dapat menyatukan seluruh manusia, suku, budaya yang ada di wilayahnya. Coba pikirkan, wilayah Indonesia itu sangat luas, bukan? Dan betapa hebatnya Bahasa Indonesia mengikat semua manusia dalam satu simpul!” cetus Peri Bahasa mantap.

“Ya, itu dia masalahnya. Fungsi utama sebuah bahasa bukanlah penyatu segala kalangan. Fungsi bahasa hanya untuk komunikasi tok. Bukan penarik segala umat. Memangnya kita itu ikan, yang selalu patuh bila diberi makan? Bodohnya, pada tanggal 28 Oktober 1945 dulu, banyak pemuda-pemuda aneh yang mau...”

“Kamu yang bodoh.”

Aku tersentak. Posisi dudukku kini menegak. “Apa kamu bilang? Peri Bahasa, selama waktu berdetak, kamu tak pernah menentangku secara kasar seperti ini!”

“Sudah sepantasnya aku berkata begini. Aku sudah menemanimu selama tiga puluh tahun. Dan sudah sepantasnya kamu melebur dengan semua tatanan Bahasa Indonesia sepenuhnya.”

“Aku tidak mau. Tak akan pernah.” gertakku, dengan nada yang sedikit melonjak. “Peri Bahasa, jika aku tunduk kepada bahasa rumit yang bertele-tele itu, aku akan merasa tercekik. Aku tak akan lagi bisa...”

“Itu hanya alasan bodohmu. Kamu begitu, karena kamu merasa cacat. Kamu itu bisu. Kamu tak bisa bicara. Itu kan, yang membuatmu takut untuk menjelajahi dunia? Hal itu kan, yang membuatmu takut untuk mengungkapkan segalanya?” jelas Peri Bahasa tegas. Dia tak sungkan-sungkan membeberkan semuanya.

Sedangkan aku, hanya terdiam mematung. Napasku tercekat. Kelopak mataku memekar, terbeliak tak percaya.

“Dalam bahasa, tak ada istilah mencekik manusia. Selama ini, bisumu itulah yang mencekikmu perlahan. Menggerogoti kesadaranmu hingga retak satu per satu. Kamu harus ingat, kamu perlu tahu. Bahasa tak memandang siapa yang akan mengucapkan, siapa yang akan melontarkan. Tetapi, bahasa memandang kesungguhan makna, dan kedalaman arti saat pengucapannya, dalam cara apa pun.”

Aku menunduk, meremas wajahku. Tanganku gemetar. Kilatan gambar-gambar masa lalu terulang kembali. Kenangan masa kecil, teman-teman SMA-ku yang kasar, teman-teman kuliahku yang gigih, guruku, pelukis, Ayah, Ibu, semua seperti membalikkan wajah. Menolehkan batang hidungnya ke arah wajahku.

“Ternyata, memang tak ada makhluk di dunia ini yang menganggapku bisa bicara, ya,” desisku sambil menyudutkan sesimpul senyum kecut. “Makhluk-makhluk itu masih memandang aku dengan sebelah mata. Masih menyebutku dengan si Bisu yang tak tahu malu, yang sok gigih ingin merangkum dunia. Dengan bahasanya, mereka memakiku dengan pandangan mata. Aku sarjana bahasa, jadi aku tahu itu. Betapa makna yang tersirat di setiap gerak, napas, menjadi ilustrasi yang menyakitkan bagi manusia seperti aku. Bahkan, makhluk itu dirimu, bukan? Makhluk yang setiap hari kuajak bicara?”

Peri Bahasa berdecak, ia ikut berombak. “Aku bicara seperti ini, bukan karena aku membencimu. Bukan. Aku hanya merasa, kau telah melenceng terlalu jauh. Sekarang, kamu bukan seperti orang yang kudatangi tiga puluh tahun yang lalu. Kamu telah berubah. Berubah. Dan... aku merasakannya.” Ucap Peri Bahasa bersungguh, lirihnya menjelma menjadi bisik-bisik meluluhkan. “Mungkin kamu masih ingat, pertemuan kita di bawah pohon besar yang rimbun. Saat kamu hanya bisa menangis, menatap anak-anak lainnya yang tertawa bebas, sibuk berlari-larian ke sana-sini. Sedangkan kamu, hanya duduk sendiri dinaungi berkas bayang pohon, memeluk buku sketsamu erat-erat. Kamu tahu, di saat itulah aku...”

“Itu dulu, Peri Bahasa. Sekat dimensi itu sudah tertinggal di sela-sela jejakku. Aku sekarang hidup di zaman yang benar-benar tak kumengerti. Dan sudah saatnya aku beradaptasi, menyesuaikan segalanya dengan yang ada.”

“Terserah kamu mau bilang apa, yang jelas, aku rindu jiwa pemimpimu. Aku rindu kata-kata yang kamu tulis dalam buku sketsamu.

Aku tertegun, ludahku terasa menggumpal dan bertransformasi menjadi bola duri yang sangat menusuk. Aku meremaskan tangan, mengalihkan pandangan ke arah buku sketsaku yang sudah berdebu, memojok di sudut meja ritualku.

Berat, aku menjawab pasrah, “kalau kejujuran masih dicamkan, aku juga rindu jiwaku yang terselip dalam raga kecilku. Aku rindu saat aku masih mempunyai harap dan masih menggantungkan mimpi. Peri Bahasa, dulu, aku memang senang bermimpi. Aku bermimpi, aku ingin sekali bicara. Aku ingin sekali mengeluarkan patah-patah kata. Aku ingin sekali mengungkapkan segala perasaan yang ada. Berbagai reaksi rasa yang berkecamuk dalam jiwa. Bisuku waktu itu bukan membuatku tersuruk, tetapi membuatku terus berusaha. Walau aku cacat, walau aku bisu, aku tetap yakin, alam selalu menyisihkan celah bagi aku, untuk berbahasa. Bahasa Indonesia.”

Peri Bahasa terdiam. Mungkin dia sedang mencerna setiap kata yang kuracaukan. “Sekarang, apa yang membuatmu berubah? Apa yang membuatmu menanggalkan mimpi-mimpi itu?”

“Bahasa Indonesia bukanlah lagi mimpi yang aku kenal. Dulu, aku ingin berbahasa karena segalanya akan tergulung manis. Pikiran, cinta, gerak, semua terungkap dalam satu makna yang terdengar indah. Sekarang ... Bahasa Indonesia seolah terlindas oleh akal jahat pemakainya. Jika bahasa adalah unsur dunia, maka sudah runtuhlah fungsi komunikatif, fungsi afeksi, fungsi emotif menjadi satu.

“Bahasa Indonesia tetap ada, namun tersiksa. Fungsi komunikatif tetap menjadi siklus, namun terbebani dengan kejahatan yang membara. Bahasa Indonesia yang dulu sebagai pengungkap cinta, penjelas rasa, penguat fondasi mimpi, kini lengser menjadi medium gejolak amarah. Kata-kata yang dulu terdengar biasa, kini menjadi terlihat menjijikan. Anjing, babi, menjadi korbannya. Aku ikut iba, namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Selama ini aku hanyalah penonton dan pengagum Bahasa Indonesia. Aku bisu, sehingga aku tak bisa menyergah. Aku hanya bisa berdoa, berharap Tuhan mengizinkanku berbicara. Karena sungguh, aku lebih pantas berbahasa dibandingkan manusia keji yang melaknat tatanan bahasa!

“Fungsi-fungsi yang lain pun kena imbasnya. Bahasa Indonesia memang menjadi satu acuan kurikulum pendidikan di Indonesia, namun itu hanya sebatas mengguratkan teori dan mencuatkan nilai rapor masing-masing. Selepas itu, sudah. Kata-kata utusan amarah berkeliaran dengan bebasnya. Mungkin saja Freud di alam sana menangis, karena teorinya sedikit terbengkalai. Kini, manusia tak lagi bisa menahan amarah, tak bisa menarik garis antara kubu benar dan kubu salah. Manusia-manusia lebih memilih menjadikan bahasa sebagai umpan amarahnya. Dan itu benar-benar tidak terlihat logis. Bahasa bukan sebuah objek pelampiasan manusia!”

Terdengar isakan tangis Peri Bahasa dalam diriku. Membuatku ikut terseok, menghanyutkan diri dalam kebutaan dunia. “Maafkan aku...” lirih Peri Bahasa pelan.

“Bukan hanya itu. Peri Bahasa, kamu bisa melihat, kan? Bagaimana media massa pun merusak fondasi bahasa generasi bangsa? Aku tak habis pikir, mereka lebih memilih untuk menjualkan bahasa untuk hal-hal yang mengundang dosa! Peri Bahasa, kamu tahu, kan? Kamu lihat, kan? Betapa besarnya racun yang telah menginfeksi susunan bahasa kita? Betapa bahayanya sistem bahasa kita yang hampir rusak ini? Kamu bisa pikir, kamu pun bisa sadari, MASIH BANYAK ORANG YANG LEBIH PANTAS BERBICARA DIBANDINGKAN MEREKA! TERMASUK AKU! AKU, SI BISU YANG MENCINTAI MATI-MATIAN BANGSANYA!”

Aku berteriak keras. Napasku lama-lama terjepit. Aku tak lagi bisa menahan tangis. Rintik mataku tak menjadi tetesan mungil. Mendengar Peri Bahasa menangis lebih keras, aku pun juga tak bisa tetap diam. Aku menangis, kencang sekali. Seolah-olah, semua mimpiku yang tertampung sejak dulu, semua harapanku tentang susunan Bahasa Indonesia yang terlihat indah, ikut terjun melandasi jatuhnya butir-butir air mataku.

“Maafkan aku. Aku tahu kamu masih orang yang kukenal, sama persisnya seperti aku menemuimu tiga puluh tahun lalu. Tepat di bawah pohon rimbun ...”

Aku memejamkan mata, merasakan kata-katanya yang menyayat tubuhku perih.

“Jika kamu memimpikan bahasa, aku juga yakin bahwa bahasa pun pasti meletakkan mimpinya di pundakmu. Karena, semakin waktu terus berkontur, Bahasa Indonesia pun semakin rapuh. Dan kamulah satu-satunya manusia yang selalu menerimanya, memeluknya, walau dalam kondisi yang sudah hancur. Rapuh. Rusak ...” bisik Peri Bahasa seraya menderukan tangisnya. Tangisnya semakin meledak-ledak, membuyarkan konsentrasi kesadaranku. “Aku, sebuah jiwa yang tertanam dalam jiwamu, ingin berterima kasih ...

Karena kamulah Peri Bahasa, Ario. Kamulah peri kami. Peri di setiap kata, yang selalu mencium bibir huruf dengan syahdu. Terima kasih, Ario. Terima kasih banyak ...”

Aku tersenyum. Aku mengangkat kepala, menatap bintang yang bertebaran lewat jendela Scriptorium­­-ku. Aku menarik napas, merasakan semilir angin malam yang selalu membuatku takjub. Aku pun sadar, hanya alamlah yang masih sanggup menjaga Bahasa Indonesia. Hanya alamlah yang masih mempertahankan eksistensi tiga fungsi bahasa. Buktinya, tak perlu mereka bicara, namun maknanya, sanggup menembus segala celah di hati...

“Kita adalah satu. Jadi, aku dan kamu adalah Peri Bahasa, bukan?” tanyaku sambil tertawa, dibalas tawa panjang Peri Bahasa yang menghias kesunyian malam.

Dan pada malam itulah, aku kembali memeluk buku sketsaku. Memeluk semua mimpi-mimpi lamaku.

***

“Kakek, apakah Peri Bahasa benar-benar ada?” tanya cucuku yang sejak tadi menarik-narik mantel hangatku. Wajah polosnya merengek, nada gemasnya membuatku tak bisa menahan senyum. Namun, pertanyaan kecil itu sedikit membuatku bingung.

Mengapa, memang? aku berbalas tanya, dengan menuliskannya pada buku sketsaku yang sudah lapuk.

“Minggu kemarin, satu sinar terang mendatangi aku, Kek. Pertama kali, aku mengerjapkan mata berkali-kali. Dan aku tahu, di saat itulah aku merasakan sebuah definisi yang merapuhkan segala sel-sel tubuh. Aku sadar, bahwa aku tak sendiri lagi. Bahwa aku tak lagi dilandas sepi. Karena aku, telah menemukan sinar kecil yang sangat berarti. Sinar yang menggilaskan cinta, pada setiap gersangnya sebuah hati ...”

Tak lama setelah dia berbicara dengan mata yang menerawang, tiba-tiba dia berceletuk sendiri. “Ups... bahasaku terlalu dewasa ya, Kek?”

Detik pertama, aku mematung takjub. Detik ketiga, aku menyunggingkan senyum pada sudut bibirku. Aku tertawa. Cucuku juga, lebih keras. Dalam sela-sela tawanya, aku menuliskan segelintir kata di buku sketsaku. Sudah belajar banyak, ya, dari Peri Bahasa?

Membacanya, cucuku tertawa lebih keras. Ia berkali-kali berusaha ingin menghentikan tawanya–agar misteri tentang Peri Bahasa tak meluber ke mana-mana. Tetapi, setelah melihat tulisanku, ia tak bisa menenangkan gejolaknya. Ia tak bisa menghentikan ombak tawanya.

Aku tersenyum, kembali merengkuh erat buku sketsaku. Dan, ternyata rasa kehangatan masih menjalar ke seluruh tubuhku. Mungkin itulah makna di antara #bahasadankita. Menghangatkan.

Cucuku masih terus terkikik. Dalam hatiku, aku sedikit berkelakar: Baguslah. Berarti, Peri Bahasa tak hanya satu, bukan?

SELESAI

N.B. Dalam rangka mengikuti lomba pertamaku di Kompasiana, 'Bulan Bahasa' :D! Senang sekali, rasanya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline