Lihat ke Halaman Asli

Bisu

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Diam tak selalu hangus tanpa makna. Ada kalanya bisumu memuarakan segala aksara. Pada sudut hatimu, kau pun banyak bersuara. Hingga kesadaranmu merangkum, lama-lama hatimu lebih banyak memberontak dibandingkan bibirmu.
Semilir rekaman gambar terus bergilir di depan mata. Semua tampak biasa, sehingga kau lebih memilih bungkam. Tetapi, ada saatnya... pemandangan orang yang kau cinta membuatmu ingin bicara, tetapi fenomena itu menjahit mulutmu rapat.
Kau membisu karena dibuat bisu.
Hatimu meringkuk, dan tak ada salahnya kamu mendengarkan resahnya. Tak apa kau berbaur dengan getah, bila semua desau itu membuatmu betah.
Hanya dirimulah yang tahu bahwa kau sedang bicara dalam diam. Dan, dirimulah yang tahu, suara siapa yang sedang beraksi dalam dirimu.
Asal kau tahu,
Suara itu bukan bisikmu. Itu jeritmu dalam lorong teramat sempit.
Itu bukan bahagiamu. Itu laramu.
Kau harus sadar, itulah dirimu yang terhimpit cinta.
Mungkin jika suara hatimu diizinkan bicara, ia akan berteriak lancang. Menembus segala dinding. Mengoyak segala spesies perasaan. Bahkan, kau pun berharap-harap...
Hatimu yang selalu memanggil namanya dapat menerobos perasaannya. Setidaknya.
Ini hanyalah masalah tampak dan tidak tampak. Ceracaumu yang hanya merambati lereng hati ternyata tak akan sanggup berkoar lewat udara. Kini, kau hanya bisa disebut penonton, walau sebenarnya kamu ingin beraksi. Kamu ingin keluar. Kamu ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya.
Kau ingin berdiri.
Kau ingin berteriak lebih keras, memanggil namanya.
Kau ingin berlari, menggapai dirinya, mengungkapkan segala kasih sayangmu yang sudah membatu.
Tapi...
Ya, sudahlah.
Biarlah itu menjadi misteri untukmu sendiri.
Bisumu mengembuskan napas berat. Kau kembali duduk, dengan lutut yang melemas. Matamu mulai bersuara, menimbunkan genangan air yang menyudut di kelopak mata.
Kau hanya bisa tersenyum, tertawa sekali-kali, dan menyeka air mata yang terkadang jatuh berlinang.
Siklus ekspresi itu terus berputar.
Kau tersenyum, saat dia bahagia.
Dan kau menangis, saat dia bahagia, padahal itu menyesakkan hatimu sendiri.
Dan, kapan saatnya kau tertawa?
Kau tertawa, karena dirimu itu lucu sekali.
Kau merelakan dia bahagia dengan cintanya, padahal kau sendiri pun tidak dengan cintamu.
Teruslah tersenyum, tertawa dan menangis.
Karena bisumu tak selalu mengungkap ekspresi,
Namun tertoreh dalam aksara yang mudah memudar.
Santai saja.
Tetapi,
Jangan biarkan bisumu mengikis dirimu perlahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline