Lihat ke Halaman Asli

Sofwan Ardyanto

Pernah kuliah di jurusan planologi, pernah jadi wartawan, pernah bekerja sebagai copywriter tetapi kini mengelola sebuah bisnis pemrosesan kopi dan kedai kopi di jabodetabek.

Catatan dari Pesta Blogger 2009

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pesta-blogger-2009-logo-300x182

SMESCO riuh oleh manusia-manusia narablog--istilah blogger yang telah diindonesiakan. Tua muda. Laki-laki juga perempuan. Mereka hilir mudik, kemudian duduk teratur. Mereka hening, kemudian tak terkendali. Sebagian mencari jati diri, sebagian lagi tak peduli dengan jati diri.

Di sana ada Tifatul Sembiring, meski hanya sejenak, mengutip pantun Raja Ali Haji. Ada Prita Mulyasari, yang sempat berkaca-kaca matanya, bak etalase kepedihan yang terbagi. Ada Panji Pragiwaksono, yang dengan giras nge-rap lalu berbicara tentang kesaktian: kata, kalimat, dan bahasa. Ada narablog mancanegara, yang diperkenalkan ke sana-kemari. Ada selebritas blogger, yang sibuk menjadi panitia, juga yang menjadi undangan: sebagian menjadi orang biasa, sebagian menikmati keselebritasannya. Ada kebhinnekaan di sana...

Sebagai blogger jelata, di antara riuh rendah itu, saya teringat kalimat Mas Goenawan Mohamad, tentang gotong royong postmodernisme yang diperankan para manusia internet, khususnya para blogger. Mas Goen bahkan merasa terbantu ketika ia perburuannya atas sebuah skrip sajak Toto Sudarto Bachtiar menemui jalan buntu; tapi justru ia temukan di internet. Sajak itu diunggah oleh seorang narablog.  Tak berlebihan jika kemudian ia abadikan peristiwa itu dalam sebuah catatan pinggirnya: Berbagi. Di sana, ia menulis begini:

... saat itu pula terpikir oleh saya: seseorang telah berbuat baik dengan mengunggah sajak itu ke alam maya... (GM)

Dalam catatan pinggir itu, ia juga menulis:

.... ada semacam gotong-royong postmodern: tak ada yang memerintahkan, tak ada pusat komando, tak ada pusat, dan tak ada perbatasan yang membentuk lingkungannya. Masing-masing orang memberi sesuai dengan kemampuannya. Yang diberikan adalah informasi, yang didapat juga informasi.... (GM)

Saya tertarik dengan ungkapan tentang kutipan kedua. Dan itu saya saksikan ketika birokrasi protokoler tumpul ketika Tifatul Sembiring dengan mudah dijangkau para narablog hari itu. Tak ada orang-orang berseragam safari yang mencoba menghalau kerumunan blogger di depan Tifatul yang duduk di barisan VIP. Mereka asyik memotret sang Menteri. Bahkan, ada yang supernarsis mendekat sehingga bisa terabadikan oleh rekan-rekan sesama blog. Persis seperti kutipan Mas Goen. Komando tak berlaku di sana. Ada kemerdekaan di sana. Padahal, dalam sebuah program kunjungan, seorang Menteri biasanya terlindungi serentetan aturan protokoler.

***

Saya juga terkesan dengan Panji. Presenter yang naik daun setelah menjadi host tayangan "Kena Deh" ini belakangan asyik menjalani peran barunya sebagai rapper. Tapi bukan lagunya yang membuat saya terkesan. Tapi justru ketika ia berceloteh tentang 'kesaktian' kata, kalimat, dan bahasa. Ketiga hal itu adalah amunisi para blogger dalam beraktualisasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline