Hujan masih belum reda dan genangan banjir mencapai lutut, bahkan di beberapa lokasi arus air cukup deras. Di saat itulah Pak Anies Baswedan datang mengunjungi daerah kami yang terkena banjir di RW 04, Cipinang Melayu Makasar, Jakarta Timur. Pak Anies Baswedan yang menggunakan jaket hujan warna merah dengan pasti menerjang banjir untuk menemui warga, mendengarkan keluh-kesah warga, dan tentu saja menawarkan bantuan.
Di daerah kami, debit genangan air memang cukup tinggi, merendam rumah-rumah warga. Di bawah guyuran hujan yang masih cukup deras dan aliran air keruh yang bercampur dengan air got rumahan, Pak Anies dengan gaya khas beliau yang simpatik memberikan kami semangat untuk melalui cobaan ini dengan sabar. Seketika, saya melihat Pak Anies begitu heroik. Ibarat seorang pemimpin perang yang terus memberikan semangat dan harapan bagi perajuritnya meski diterjang ribuan anak panah.
Kedatangan Pak Anies sungguh sangat berarti bagi kami. Sebab, para pemimpin yang selama ini mengklaim dekat dengan rakyat kecil, pengayom masyarakat, memperdulikan kesulitan rakyat, yang berjanji akan meringankan kesusahan dan beban warga, ternyata tak pernah memperlihatkan batang hidungnya. Sebenarnya kami merindukan kedatangan Pak Ahok dan Pak Djarot sebagai pemimpin di Jakarta, tapi harapan kami ibarat ditenggelamkan oleh banjir.
Mereka tak pernah mendatangi kami. Padalah, dalam situasi seperti ini kami membutuhkan kehadiran mereka untuk mengayomi, menyemangati, membantu, dan meringankan beban yang kami tanggung. Dalam berbagai kesempatan, Pak Ahok selalu mengibaratkan dirinya sebagai bapak bagi warga DKI Jakarta. Tapi, betulkan seperti itu perlakuan seorang bapak? Menghindari anak-anaknya yang tengah menghadapi bencana. Sungguh, pak Ahok adalah bapak yang durhaka kepada anak-anaknya. Jangan-jangan mereka takut pakaian mereka kotor terkena lumpur, karena itu tak sudi menerjang banjir seperti yang dilakukan pak Anies.
Yang membuat saya terharu dan terenyuh dari kedatangan Pak Anies adalah pelukan seorang ibu-ibu kepada beliau. Apa yang dilakukan ibu-ibu itu dan respon Pak Anies sangat menyentuh. Ibu-ibu itu memeluk pak Anies ibarat seorang anak yang merindukan bapaknya. Senyum kebahagiaan tersungging dari bibir ibu-ibu itu. Dengan memeluk Pak Anies, ibu-ibu itu mengadukan kondisi sulit yang ia dan seluruh warga hadapi. Dan, Pak Anies menerima pelukan ibu-ibu itu dengan tulus dan mendengarkan keluh-kesah mereka. Tidak seperti orang-orang besar lainnya yang alergi didekati apalagi dipeluk oleh warganya, apalagi dalam kondisi basah kuyup akibat genangan banjir.
Banjir adalah bencana langganan bagi warga Jakarta. Benaca ini mempengaruhi seluruh hajat hidup kami. Rumah kami tergenang banjir, sekolah harus diliburkan, aliran listrik harus diputus, intinya kami menghadapi tumpukan persoalan yang bermula dari banjir ini. Berat memang untuk dihadapi. Karena itu, kami sangat bahagia dengan kedatangan Pak Anies. Setidaknya, beliau berhasil membuat kami merasakan beban berat ini menjadi lebih ringan berkat kepedulian, perhatian, dan sikap beliau dalam menemui kami.
Saya tidak peduli dengan ucapan miring orang-orang yang menganggap kehadiran Pak Anies ditempat-tempat banjir hanya untuk mencari simpati warga korban banjir. Saya tak peduli dengan mereka yang menganggap Pak Anies telah memanfaatkan bencana banjir sebagai bancakan politik. Yang jelas, Pak Anies mau mendatangi kami dalam situasi seperti ini. Kedatangan Pak Anis adalah bentuk perhatian yang sangat kami butuhkan di tengah kesulitan hidup akibat banjir ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H